BAB 38

1.1K 55 5
                                    

Seperti api, jika kecil akan berteman, jika besar akan melawan. Sebesar itu cemburu Sakti, saat melihat Luna berdua dengan lelaki lain.

###

Luna masih menyiapkan hidangan makanan di dapur. Hari ini dia tidak ingin telat masuk sekolah, walaupun dia tau Sakti akan menjemputnya, tetap saja rasa khawatir akan ancaman sekolahnya yang bisa saja putus terus menghantui dirinya.

Semua hidangan sudah tersaji di atas meja, kini giliran Luna memanghil semua anggota keluarganya untuk sarapan.

Luna berjalan ke arah kamar Deo. Mengetuk pelan pintu kamarnya sebanyak 3 kali berturut-turut.

"Kak Deo, sarapan sudah siap, ayo turun Kak." Luna menempelkan telinga di permukaan pintu kamar itu, namun tidak terdengar jawaban ataupun suara lainnya.

"Kak De-"

Ceklek....

Pintu terbuka. Sosok tampan Deo berada di hadapannya. Matanya yang dingin menatap wajah sang adik.

Kening Deo berkerut, bersamaan dengan sebuah lontaran pertanyaan ia tujukan untuk adiknya.

"Ngapain lo di sini? Ada perlu apa?" tanya Deo datar.

Luna langsung menunduk, dia menjawab, "Itu kak... sarapannya udah siap di bawah."

"Wajah gue di depan, bukan di bawah. Lain kali, ngomong sama orang gak usah nunduk, gak ada aturan dari pemerintah begitu kan!"

"Gue gak sarapan dulu, males ketemu bokap. Lo aja yang sarapan sana, jangan sampe pingsan di sekolah, entar repotin guru lo."

Deo mengunci pintu kamarnya. Berbalik badan menghadap Luna semula. Kini Luna mengangkat kepalanya, menatap langsung kedua bola mata milik kakaknya.

"Gue berangkat dulu," pamit Deo menggendong tas sekolahnya.

Kepergian Deo membuat Luna terdiam dengan segala perasaan yang terpendam. Sebuah perasaan bingung akan sikap Deo yang semakin hari semakin berubah, membuat Luna agak merasa heran.

"Kak Deo... Luna tau, kakak sayang Luna. Hari ini, hari bahagia Luna kak. Jarang banget kakak ingetin Luna makan, makasih untuk perhatian singkat itu kak," lirih Luna memandang sendu kepergian Deo.

Luna memutuskan untuk berjalan kembali ke bawah, di sana Luna melihat kedua orang tuanya berjalan terburu-buru. Secepatnya Luna menyusul mereka sebelum keluar dari ambang pintu.

"Ayah! Bunda!"

Keduanya menengok, dengan wajah sangar Lana memicingkan mata dan mulai bertanya, "Kenapa kamu? Apa yang kamu ingin hah!"

Luna dengan cepat menggelengkan kepala. "Luna gak mau apa-apa kok Bunda, Luna cuman mau--"

"Iya cepetan ngomong, lambat banget sih!" Wajah Lana sudah terlihat menahan amarah.

"B-bunda sama Ayah sarapan dulu, Luna udah siapin, takutnya kalian nanti--"

"GAK USAH NGATUR-NGATUR KAMU! UDAH SANA MINGGIR!" Lana mendorong tubuh Luna. Dia dan Wito langsung pergi meninggalkan rumah tanpa ada niat menolong Luna sedikitpun.

Luna Areva | Selesai✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang