Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟
Abigail mengangkat satu kakinya ke atas ranjang. Kedua tangan memegangi betisnya. Dengan posisi ini ia lebih dapat melihat Hagia dan memahami maksud dari ucapannya.
"Memang apalagi alasan sedih kalau bukan itu? I mean, waktu sahabat lo nikah memangnya lo nggak sedih? Feel left out itu hal yang pasti bakalan terjadi." Abigail menjelaskan dengan tangan kanannya yang terangkat sepanjang ia berbicara. Hagia membuat wajah yang Abigail selalu benci jika itu muncul. "Kan, lo bikin wajah kayak gitu lagi."
"Wajah apa?"
Jari telunjuk Abigail mengarah pada wajah Hagia yang tadi menarik bibirnya ke bawah dengan kedua alisnya terangkat dengan kepala yang sedikit meneleng ke kiri. Hanya sejenak memang, tetapi itu selalu dikeluarkan oleh Hagia jika ia tidak setuju dengan ucapannya atau adiknya itu tidak percaya dengan apa yang keluar dari mulut Abigail.
Hagia mengerang pelan, "I do feel left out when one of my best friends get married, tapi gue juga ngerasain hal lain. Misalnya, bahagia. Apa lo ngerasain hal itu atau hanya sedih aja?"
Abigail tercenung. Setelah mendengar ucapan Elan, ia belum sempat menggali perasaan lain yang di hatinya. Apakah ada sebersit senang yang muncul di sela-sela kesedihannya ditinggal sendiri? Ia hanya fokus pada perasaannya yang akan sendirian setelah ini. Benar-benar sendirian karena tidak dapat lari ke tempat Elan lagi jika memerlukan tempat untuk menenangkan diri. Perubahan yang tiba-tiba selalu berhasil membuat Abigail kelimpungan, dan kini setelah bertahun-tahun terbiasa bergantung pada Elan untuk menenangkannya, Abigail harus memberikan jarak di hubungan mereka. Ia harus menghormati pasangan Elan.
Apalagi memangnya yang harus dipikirkannya selain sedih? Wajarkan kalau seseorang lebih memikirkan nasibnya dulu dibanding memikirkan orang lain? Abigail mengernyit, bahkan dikepalanya sendiri, kalimat itu terdengar luar biasa egois. Bagaimana kalau keluar dari mulutnya dan didengar oleh orang lain?
"Gu-gue senang kok dia mau nikah," kilahnya saat tatapan Hagia semakin intens, seakan mencari tahu sesuatu yang tersembunyi di matanya. Siapa sih yang mengatakan mata itu jendela hati? Hagia tergila-gila dengan kalimat itu sehingga sejak dulu adiknya itu pasti menatap lurus mata lawan bicaranya, seolah tengah menyelami perasaan yang muncul di balik dua bola mata.
Mata Hagia memicing mendengar jawabannya. Bahkan di tengah sakit saja, Hagia masih dapat mewawancarainya dengan gestur tubuh yang menyebalkan. Tidak terbayang jika ia bercerita ketika Hagia sedang sehat, akan separah apa cecaran yang diterimanya.
Hagia memutus tatapannya dan memejamkan mata. Serangan pusing yang datang tanpa diundang membuatnya meringis kesakitan. Abigail menggunakan kesempatan ini untuk memaksa Hagia kembali berbaring dan istirahat.
"Lo tidur aja, deh. Kalau pusing enaknya tidur," Abigail menarik comforter Hagia hingga menutupi sampai ke bahu adiknya itu. "gue yang jagain Hanna aja. Ijah juga perlu tidur kayaknya."
"Lo bisa memangnya? Lo ganti popok aja kayak lagi mau persiapan perang."
Abigail menyengir lebar. Mengganti popok Hanna adalah bentuk nyata cintanya untuk bocah itu. Meskipun dengan masker dan face shield yang selalu terpasang di wajahnya. Abigail mudah sekali jijik dan sebelum ini tidak pernah ada dalam kamusnya ia memiliki niat untuk mengganti popok. Pertama kali melakukannya saat Hagia dan Elijah pergi untuk mengecek jahitan di perut adiknya itu, Abigail langsung diliputi perasaan bangga. Dan juga muntah setelahnya. Namun, seiring Hanna bertambah besar, ia semakin ahli mengganti popok dan tanpa muntah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Every Nook And Cranny [FIN]
ChickLit[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan pacarnya yang kurang ajar. Tempatnya meminjam kaos, sweater serta hoodie yang nyaman tanpa perlu di...