Happy ReadingSuasana menjadi kikuk seketika di kamar Badrun. Dua insan yang duduk bersebelahan itu seperti orang baru kenal. Diam, saling melirik, tersenyum, dan bingung. Ada hela nafas panjang saja yang terdengar dari tadi. Mirza bingung mau mulai bicara dari mana, sebab ia juga tidak tahu kata yang pantas untuk memulainya.
Setiap hari Mirza hanya bisa melihat Chika dari tempat duduknya di kelas, tanpa bisa mengajaknya bicara. Dekat tapi serasa berjarak. Memandanginya tertawa, senyum, dan cemberut. Kali ini, Chika begitu cantik. Seperti bukan gadis yang ia sukai. Meski ber-make up tipis, tapi bagi Mirza itu sudah lebih dari cukup. Menunjukkan kecantikan Chika yang amat memesona.
"Woy, diem aja kek patung!" tegur Badrun dari belakang. Keduanya menoleh dan terkekeh.
"Sana lo! Ngeliatin aja kek satpol!" usir Mirza.
"Tangannya ya dijaga, tangannya!" seloroh Badrun sambil berlalu dan menutup pintu kamarnya.
"Makasih udah mau dateng," gumam Chika setelah Badrun keluar.
"Makasih juga udah nyuruh aku dateng." Mirza menggaruk - garuk kepalanya yang tidak gatal. Ia sangat gugup.
"Chika minta maaf."
"Maaf soal apa?" Mirza mengubah arah duduknya menghadap Chika. Aneh saja kedengarannya. Seingatnya Chika tak pernah berbuat salah.
Kali ini Chika yang menarik dan menghela nafasnya yang terdengar lembut, "Seharusnya aku dengerin dulu alasan kamu waktu itu kenapa kamu ikut lomba. Aku kebawa emosi."
Mirza seolah tak percaya apa yang dikatakan Chika barusan. Jauh berbeda dengan Chika yang ia kenal. Kali ini entah kenapa Chika jauh lebih kalem dan tenang.
"Aku juga minta maaf ya. Seharusnya malah aku yang ngga bikin kamu emosi dan kita masih tetap temenan." Mirza menarik sudut bibirnya.
"Mir, apapun alasan dan keputusan kamu, aku hargai. Semuanya yang udah lewat. Jangan dibahas lagi ya? Aku udah ikhlas soal lomba itu," papar Chika, terdengar sangat dewasa di telinga Mirza. Sampai Mirza mikir, ini Chika beneran atau pakai teks waktu mau ngomongnya.
"Lama ngga ngobrol, kamu sekarang berubah drastis ya?" Mirza menyunggingkan senyum.
"Ih, apanya yang berubah deh. Aneh. Perasaan masih sama aja. Kamu kali," Chika mencibir.
"Emosi kamu, jadi lebih tenang. Seneng liat perubahan kamu. Serius."
Chika malah menunduk, wajahnya merona merah. Selalu begitu setiap habis dipuji.
"Si Om....apa...kabar?" Mirza berhati - hati bicara. Takut salah.
"Jeff?"
"Ooh, itu namanya. Dia baik. Tadi nganterin aku ke sini. Eve gimana?" Chika malah bertanya balik.
"Dia ngga seperti yang kamu pikirin selama ini, Chik. Aku ngga pacaran sama dia," Mirza mempercepat nada bicaranya, takut disela Chika.
"Ooh." Chika meng-O.
"Maaf, kalau aku salah ngomong."
Chika masih menunggu Mirza melanjutkan.
"Aku masih sayang banget sama kamu." Mirza seperti melepaskan sesuatu yang sangat melegakan seluruh isi hatinya. Yang selama ini tertimbun dalam berbagai beban masalah yang menumpuk di kepalanya. Tanpa Chika tahu, emosi dan pikiran Mirza terkuras penuh harap untuk dapat berbicara lagi dengan Chika dalam keadaan tenang dan tidak terburu - buru.
°°°
Mirza dan Chika duduk berdua lantai paling atas rumah Badrun. Ditemani dua kaleng minuman ringan dan cemilan. Badrun memilih membiarkan mereka berdua berbicara banyak tanpa perlu dirinya ikutan. Ia sudah hafal luar dalam Chika.