X

4 0 0
                                    

Pernahkah kalian berseteru dengan langit perihal siapa yang paling patut disalahkan mengenai takdir? Atau justru insan-insan ciptaan Tuhan saja yang melebih-lebihkan cobaan. Mereka digariskan kuat menghadapi ringtangan-sebab Tuhan mengelak segala sesuatu yang bekerja diluar batas. Ia selalu percaya bahwasannya manusia paling kuat, sejatinya manusia yang masih berdiri tegak meski jenjang kaki mereka berlumuran darah.

Netra hitam kelam bagai jelaga itu mengatup perlahan-membiarkan bias cahaya putih menyilaukan menerobos tanpa permisi dan dicerna otak. Daksa ringkih dengan corak putih bersih terasa raib. Entah sudah berapa juta detik ruhnya dengan bahagia mengelilingi mimpi. Tak sampai berusaha jauh, gadis manis yang sekarang telah terjaga itu hanya mampu menggerakkan telunjuk dan ibu jari. Berharap sosok pulas di atas kursi yang merebahkan kepala mampu menangkap sinyal. "Bun... da..." Ia ujarkan huruf merupa kata itu dengan parau dan penuh hati-hati.

Merasa kegiatan hibernasinya diganggu telak, sosok wanita yang tertidur pulas menemani Sang Putri membuka mata perlahan. "Aruna? Aruna?! Kamu bangun?! Bunda panggil dokter dulu ya..." Lantas wanita paruh baya itu hilang eksistensinya dari sana. Meninggalkan belia pucat yang kesulitan melakukan apapun sendiri di dalam ruang serba putih dan bau khas obat-obatan.

Lalu ketika seorang pria dengan surai yang didominasi warna putih menjelaskan berbagai hal yang Aruna tak tahu menahu apa maksudnya, wanita paruh baya yang ia sebut bunda itu meneteskan bulir air dari netranya yang tengah memerah. Sejauh ini, hanya dua kata yang berhasil Aruna serap. Operasinya berhasil.

Dan ketika bumantara mulai lelah, senja menjemput. Kemudian langit berubah menjadi hitam kelam dan angin dinginnya setia menusuk kulit di penghujung tahun. Malam itu bunda menjelaskan lagi bagaimana Aruna dan kehidupannya. Bercengkrama hingga ia menemukan satu titik dimana hidupnya terasa dipertaruhkan.

"Di dalam sini jantung siapa, Bun?" Aruna bertanya sembari menunjuk dada.

"Satria Atmaraja. Bunda cuma tau namanya. Tadi sempat ditunjukkan foto kartu pendonor. Tapi bunda nggak begitu menguaskan karena bunda panik bukan kepalang."

Dan di detik Aruna merasa jantungnya berdetak. Disaat itu pula kenangan-kenangan indah akan pertemuan tak terduga Satria Atmaraja dan dirinya kembali berputar bak proyektor lama. Cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Tapi pemuda baik hati itu takkan lagi bisa ia peluk erat. Tak akan ada lagi eksistensinya di semesta. Tak bisa lagi ia kecup belah bibirnya yang lembut nan manis. Habis dilalap serakahnya Tuhan karena lebih sayang. Pula semesta yang ingkar akan menjaga lebih baik.

Raga mereka berpisah namun tidak dengan detak keduanya.


END

END

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Eksistensimu bagai api melahap kayu yang menjadikanku abu. Seberkas debu yang menyesakkan insan. Bak bulu halus sayap merpati, lakumu serupa. Katakan pada semesta bahwa saya adalah makhluk-Nya yang masih sulit menerima akan kepulangan raga."

Aruna Gantari

Six Feet Under | Jeno ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang