Hallo, terima kasih sudah menunggu setelah hampir dua bulan aku gak update cerita Malik. Semoga suka dan selamat menikmati.
"And if the old woman missed her dear Thumbelina, she would go to her window and see a bird perched on a tree, chirping Thumbelina's song," Nadine mengakhiri ceritanya. Ia menutup buku di hadapannya. Buku dengan sambil bergambar kelopak bunga yang mekar. Di tengah kelopak itu, ada seorang anak perempuan kecil yang tertidur. Di atasnya, muncul sebuah tulisan besar, Thumbelina. Sebuah cerita karya Hans Christian Andersen, seorang penulis asal Denmark.
Mataku beralih pada sosok kecil di samping Nadine. Ibra dan Hanum yang ternyata sudah tertidur dengan beralaskan karpet di ruang tengah. Tangan keduanya saling menggenggam, yang terasa begitu lucu bagiku.
Tidak pernah terbayangkan bisa dalam posisi seperti ini. Berdamai dengan Nadine dan hidup berdampingan dengannya lagi, meski bukan sebagai suaminya. Itu sudah cukup. Karena aku tahu, itulah yang diinginkan perempuan yang kucintai itu. Kini, ia bisa menerima Hanum, setidaknya itulah yang kupikirkan. Melihatnya tidak lagi terganggu dengan kehadiran putri kecilku.
Bagiku, penerimaan Nadine akan Hanum di rumah ini sudah cukup. Tidak perlu mengharapkan ia bisa dengan mudah menggendong atau bercanda dengan gadis kecil itu. Cukup Nadine tidak lagi memandang penuh kebencian pada Hanum. Aku tidak lagi mengharapkan hal lain.
"Kayaknya mereka kecapekan," Nadine bersuara pelan memandang dua anak kecil di sampingnya. "Enggak ada habisnya lari-larian terus," katanya lagi.
Aku yang duduk di kursi bar mengangguk. Memang apa lagi hal yang membuat anak-anak bergembira selain aktivitas fisik? Main ponsel? Of course, no. Aku lebih suka anak-anakku dikatakan gaptek dibanding kecanduan ponsel. Jadi, lebih baik aku lelah karena berlarian bersama mereka dibanding duduk nyaman memandang mereka menatap layar datar.
"Biar aku bawa ke kamar," kataku seraya meninggalkan kursi bar dan berjalan menuju Nadine.
"Iya, Malik," balas Nadine.
Perkiraanku salah. Ia lantas membawa Ibra ke dalam gendongannya dan melangkah menuju kamar anak laki-lakiku. Aku mengikutinya dengan membawa Hanum dalam gendonganku. Membawa ke kamar Ibra dan meletakkannya ke kasur milik Zidane yang terletak di samping kasur Ibra. Lantas menyalakan AC dan menutup jendela kamar. Ikut melangkah ke luar dan menutup pintu kamar dengan perlahan.
"Mau kubuati es?" tawar Nadine saat kami sudah berada di ruang tengah yang terhubung dengan ruang makan dan dapur bersih.
"Boleh, banyakin esnya, ya," pintaku.
Nadine mengangguk dan membuatkan es yang kupinta. Ia lantas berkata, "Malik, tolong bantu bawain ini." Ia menunjuk piring yang berisi brownies. "Bawa ke gazebo belakang, ya."
"Lho, kita mau makan di sana?" tanyaku. "Enggak panas? Masih jam 2 ini," aku melirik jam dinding di dekatku. Lebih enak juga di sini, tinggal menyalakan pendingin udara.
"Enggak, mendung gitu di luar," balasnya. Ia langsung melangkah membawakan dua gelas es jeruk ke belakang. Aku tidak memiliki pilihan selain mengikutinya.
Beberapa bulan lalu, aku merombak sedikit taman belakang ini. Ada lahan sedikit yang dialihfungsikan menjadi kolam ikan dengan waterfall mini. Ide yang terinspirasi dari acara memancing di televisi. Aku tidak mungkin mengajak Ibra dan Zidane ke tempat pemancingan yang jauh. Jadi, selama mereka belum terlalu paham dengan konsep memancing, aku membuatkan ini. Mereka jadi senang memancing ala anak kecil dengan pancingan mainan. Atau, seperti yang Hanum lakukan. Ia memasukkan ikan-ikanan miliknya ke dalam kolam.
KAMU SEDANG MEMBACA
After Divorce-Cerita Malik
RomantiekCerita ini melanjutkan kisah Nadine dan Malik dengan point of view tokoh Malik. Ada banyak hal yang diceritakan Malik mengenai kehidupannya pasca perceraiannya dengan Nadine. Bagian 1-7 menceritakan kehidupan sebelum perceraian terjadi. Kalian bisa...