TITIK || AKHIR
Akhir dari sebuah cerita memang tidak terprediksi, terkesan dipaksakan dan sulit diterima kenyataan. Karena sejatinya... seperti itulah kehidupan.
{, & .}
Meira duduk berhadapan dengan Lian, saat ini mereka tengah berada di ruang kerja milik Lian.
"Bangunkan aku dari mimpi panjang ini."
Kedua alis Lian menukik mendengar kalimat itu.
"Bukankah ini yang kau inginkan?" tanya Lian mencoba tetap tenang.
Meira yang sedari tadi menunduk, kini mendongak. "Maksudnya?"
"Bukankah dunia seperti ini yang selama ini kau impikan? Aku sudah mengabulkannya untukmu."
Meira terperangah. "B-bagaimana kau bisa tahu?"
"Aku tahu segalanya tentang dirimu."
"Jangan bercanda! Jangan membuat pikiranku semakin kalut. Pikiran-pikiran ini hanya akan membunuhku."
"Apa yang ingin kau tahu? Aku akan menjawabnya. Aku tak akan membiarkan mate-ku terbunuh oleh pikirannya sendiri."
"Ini... bukan mimpi?" tanya Meira menatap Lian yang sedari tadi tak lepas menatapnya.
Lian menghela nafas kasar. "Akhirnya kau bertanya tentang itu padaku."
"Ini bukan mimpi, apalagi angan-anganmu semata. Ini nyata, mate," tegas Lian.
"Tentang diriku yang bisa berada di sini?"
Lian tampak menengang, tapi hanya sebentar. "Berjanjilah padaku bahwa kau tak akan marah?"
Giliran Meira yang mengerutkan kening. "Ya, baiklah," putusnya.
"Maaf aku sudah berbohong tentang dirimu. Kau datang ke dunia ini karena kalung itu." Lian menunjuk kalung yang bertengger manis di leher jenjang milik Meira.
Kalung yang Meira temukan di samping tempat sampah.
"Kedatanganmu sudah direncanakan dengan baik. Kau berada di padang Ainsley kemudian ditemukan oleh Marvin, yang sebenarnya bernama Emilia."
"E-emilia?" tanya Meira memotong ucapan Lian dengan raut terkejut.
"Ya, dia merupakan seorang wanita yang memang suka menyamar karena dia berasal dari kaum penyihir. Aku tak sebodoh itu membiarkanmu disentuh oleh laki-laki lain."
Meira tertegun mendengar perkataan Lian. Dan, bodohnya ia sempat terpesona oleh wanita itu!
"Aku sampai membutuhkan waktu dua minggu lebih untuk membuat alasan logis jika kau bertanya tentang dirimu sendiri padaku."
"Raga ini benar milikku?"
"Tentu saja. Ragamu, jiwamu, namamu."
Meira teringat akan perkataan Lian tentang pertunangan mereka.
"Jadi, pertunangan yang pernah kau ceritakan itu tak pernah terjadi? Maksudku... semua yang kau katakan waktu itu adalah bualan belaka?"
"Sayangnya, bagian itu adalah fakta."
"Huh? Bagaimana bisa?" Meira terkejut.
"Kalung itu. Saat kau menemukannya, kau hendak meletakkannya kembali. Itu berarti kau menolakku."
"Bagaimana bisa disimpulkan begitu?" protes Meira tanpa sadar.
Lian tersenyum miring. "Berarti kau menerimanya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Koma, Spasi, dan Titik. [END]
Fantasy[PART LENGKAP || CERPEN FANTASI] Meira Dysdti merupakan anak panti asuhan yang sangat berhalu agar dapat menghilang dari bumi dan pindah ke dimensi lain. Pindah dimensi, bertemu mate, menjadi Luna, hidup bahagia dengan sang Alpha. Setidaknya itulah...