P E R F E C T
14.
"Sempurna"
Kakiku berdiri tepat dibelakang garis penyebrangan di persimpangan Shibuya itu. Setelah sebulan menenangkan diri dan akhirnya kembali ke Tokyo aku merasa lebih baik. Namun, semua pesan dan telepon dari Shun belum kubalas. Bagaimana kabarnya ya... Aku merindukannya...
Aku menghembuskan napas dan mendongak, mataku tepat bertatapan dengan seorang lelaki diseberang sana yang mengenakan kacamata dan masker, tidak lupa topi yang menutupi rambutnya. Shun...? Aku melangkah kala lampu lalu lintas untuk pejalan kaki kembali menyala biru. Aku mencoba menghindari debaran jantung yang semakin cepat kala aku semakin dekat akan berpapasan dengan sosok jangkung yang mengenakan topi dan masker tersebut. Begitu kami saling melewati, aku sudah nyaris bernapas lega dan berpikir bahwa ternyata dia bukanlah Shun, namun, urung kala seseorang menarik tanganku dan membuatku berbalik badan. Sosok yang kukenal baik sebagai tower dari Naniwa Danshi ini langsung menarikku ke dalam dekapannya. Kedua mataku terbuka lebar. Terkejut karena ini bukan di tempat yang memiliki privasi. Kami tepat berada di tengah penyebrangan di Shibuya.
Aku mencoba mendorong Shun dari hadapanku tapi tidak berhasil, dia mendekapku erat dan enggan untuk melepaskannya. Dadaku sesak. Mataku memanas dan napasku agak tersengal. Kubisa merasakan sesuatu yang bening keluar dari mataku. Aku mencoba sekuat tenaga untuk menahan sesak dan isak yang bisa keluar kapanpun. Lelaki berusia 21 tahun ini melepaskan dekapannya. Aku tidak sanggup untuk mendongak dan melihat kedua matanya.
"Ayo pulang. Banyak yang ingin kubicarakan denganmu, Kei..."
Aku juga, Shun...
Aku memutar kunci di dalam slot pintu tersebut dan membukanya. Kulepas sepatu dan juga syalku. Ternyata di luar sangat dingin. Yah, tidak heran karena bulan Desember selalu identik dengan salju dan temperatur yang renda. Selesai aku meletakan koperku di pinggir genkan, aku mendapatkan satu pelukan hangat lagi dari sosok lelaki yang sedari tadi mengikutiku sampai ke unit apartemen ini. Dia mendekapku dari belakang sembari menenggelamkan wajahnya di balik leherku. "Ughh... Aku kangen banget..." Bisiknya. Dieratkannya dekapannya padaku. Aku tersenyum tipis dan membalas pelukannya. "Akan semakin hangat kalo kita masuk ke dalam, Shun." Kataku sembari terkekeh. Kulirik dia malah mengerucutkan bibirnya dan mendorongku masuk. "Oke. Ayo masuk." Dasar.
Aku memaksanya melepaskan pelukannya dan menghadapnya. Dia tidak terlihat baik dengan tubuhnya yang agak kurus. "Bentar lagi Kouhaku sama JCD, kenapa kamu gak banyak makan?" Aku tahu Johnnys selalu sibuk setiap akhir tahun. Talent mereka tidak bisa sakit saat akhir tahun. Shun menunduk, menatap dirinya sendiri. "Hee... Kelihatan ya?" tanyanya sembari menatapku lagi. Aku mengangguk. "Mau karaage?" tawarku. Shun melebarkan senyumnya dan mengangguk dengan semangat. "Aku gak akan nolak." Katanya. Aku terkekeh. "Kalo gitu, sini bantu nyiapin. Tadi karaagenya udah kubeli." Aku mengeluarkan sekotak makanan dari salah satu tas yang kubawa. Diperjalanan pulang dari Fukuoka tadi, aku tidak sengaja membeli karaage karena teringat Shun. Siapa yang menyangka kalau ternyata karaagenya juga akan dimakan oleh lelaki bermarga Michieda ini?
15 menit kami habiskan untuk mengobrol ringan tentang hal-hal yang tidak kami lewatkan bersama sembari memakan karaage yang sudah kuhangatkan tadi. "Kenapa kamu liburan gak bilang-bilang?" tanya Shun sembari menatapku kesal. Aku tertawa melihat wajahnya. Kami saat ini duduk bersebelahan diatas sofa. Aku menaikkan kedua kakiku dan bertopang dagu di kedua lutut yang kurapatkan. "Itu bohong, kok. Aku gak liburan. Lagi diskorsing sama Johnnys." Kataku sembari menerawang, kembali mengingat kegiatanku selama di Fukuoka. Kurasakan Shun menatapku terkejut. "Di... skorsing? Kenapa?" Aku menoleh kearahnya dan tersenyum. "Hubungan kita ketahuan paparazzi dan Julie-shachou. Untung saja Johnnys mau membayar paparazzi itu asalkan aku menjalani skorsingku. Coba kalau tidak? Aku mungkin akan merasa bersalah seumur hidup karena sudah menghancurkan karir Naniwa Danshi. Dan lagi, mungkin aku tidak akan bisa bekerja lagi di Johnnys dan bantu idola-idolaku." Entah kudapatkan suaraku dari mana yang bisa berbicara sepanjang ini. Aku menarik napas dan menghembuskannya. Aku tersenyum kearah Shun yang menatapku sedih. "Syukurlah kamu baik-baik saja." Ucapku. Hening. Shun tidak membalas ocehanku sama sekali. Dia malah semakin menatapku, tatapannya berubah-ubah dan aku tidak bisa menggambarkan ekspresi seperti apa yang sedang dia buat.
"Keiko punya perasaan yang sama kayak aku, 'kan...?" Shun bersuara dengan tercekat. Aku terdiam mendengarnya. Kenapa topiknya jadi berubah? "perasaanku ini gak cuma sepihak, 'kan?" Kenapa Shun tiba-tiba menanyakan ini... Aku mengerjap. Untuk beberapa saat tidak bisa bersuara. "Keiko..." panggilnya. "Ke-Kenapa kamu tiba-tiba tanya ini?" gumamku pelan. Shun menghembuskan napas. "Habisnya aku baru ingat, selama kita jadian, kamu gak pernah bilang suka atau sayang secara terang-terangan." Gerutu Shun.
Aku melongo menatapnya. Sialan kau, Shun. Aku memukulnya pelan. "Kau! Berhenti membuat jantungku berhenti! Bisa-bisanya kau mengira aku tidak serius?! Kau pikir aku tidak nyaris gila saat disuruh memilih antara putus denganmu atau diskorsing?! Shunsuke, yang benar sajaa!" Aku memalingkan wajahku dan mengusapnya kasar. Menyadari kalau pipiku basah oleh air mata yang ternyata sudah jatuh saat aku mengomel padanya. Napasku tersengal karena emosi yang bercampur. Kurasakan Shun memelukku dari samping, menempelkan keningnya pada puncak kepalaku. "Maaf... Aku tidak bermaksud meragukanmu," katanya. "aku takut kalau aku tidak bertemu denganmu lagi." Lanjutnya, mengeratkan pelukannya. "Aku jadi tidak bisa melindungimu lagi." Bisiknya.
Aku menggigit bibirku. "Aku sudah lama jatuh cinta padamu, Shun," kataku membalas pelukannya. "bahkan sebelum kita benar-benar bertemu." Awalnya kukira rasa suka yang kurasakan sejak bertemu dengan Shun lewat layar laptopku hanya sekedar rasa suka fans pada idolnya. Tapi, entah keberuntungan seperti apa yang membawaku pada masa dimana rasa itu semakin tumbuh menjadi rasa suka wanita kepada lelaki.
"Aku juga jatuh cinta sama Keiko." Wajahku meranum dan memanas mendengar ucapan Shun. Aku berdecak. "Ngalus mulu lo, kelamaan main sama Daigo-san, sih." Gerutuku pelan sembari tersenyum tipis. "Ah, soal Daigo, aku berantem sama dia soal Keiko." Aku terkejut mendengarnya. "Kenapa? Nanti minta maaf loh! Apa-apaan sih berantemnya soal perempuan!" ujarku sebal. Aku benar-benar benci orang yang berantem hanya karena pasangan apalagi kalau urusannya sepele yang seharusnya bisa dibicarakan baik-baik. Shun mengerucutkan bibirnya. "Abisnya dia ngomong pernah ngobrol sama Keiko dan tahu soal hubungan kita, kukira dia ngancam Keiko untuk putus dari aku." Astaga, anak ini.
"Aku gak akan putus hanya karena teman-temanmu, Shun."
"Syukurlah." Katanya santai, masih asyik menempelkan keningnya pada puncak kepalaku. Aku menggerakkan kepalaku dan mendongak, memandangi Shun yang tersenyum. "Hei," Aku membalas panggilannya dengan gumaman pelan. "can i kiss you?"
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] • P e r f e c t •
FanfictionKisah cinta di dunia hiburan memang tidak selalu berjalan mulus. Dia mungkin bukan lelaki yang bisa kukenalkan pada ibu dan ayahku. Bukan lelaki yang bisa leluasa membuat janji temu dengan kesayangannya tanpa takut dilihat orang-orang. Michieda Shu...