11. Jangan Bicarakan Masa Lalu

11.7K 1.3K 50
                                    

Absen dulu yuk ♡

*

11. Jangan Bicarakan Masa Lalu

Weekend, kami benar-benar makan bersama. Hampir jam sepuluh malam baru selesai karena waktu dihabiskan sambil mengobrol. Sayangnya, hujan turun dengan derasnya. Tidak satu pun orderan taksi online-ku diterima. Mas Damar yang kuandalkan juga kebetulan malah nebeng Mas Tio yang searah dengannya.

"Udah, sama Wisnu aja, tuh." Selly berbisik tepat di telingaku. "Turunin keras kepala lo sekali ini aja."

Aku menghela napas, melirik Wisnu yang masih berdiri tak jauh dariku. Dari tadi dia menawarkan diri untuk mengantarku tapi kutolak. Sedangkan di sini tinggal aku, Selly dan dia. Yang lain sudah pulang semua.

"Sayang."

Kami serentak menoleh, di mana ada Mas Herman—suami Selly—yang muncul dengan payung di tangannya.

"Gue pulang dulu, Kai." Selly mengedipkan sebelah mata dan memelukku sekilas. "Pulang sama Wisnu aja, okay?" Lalu dia menoleh ke arah Wisnu. "Nu, tolong anter si bontot dengan selamat, ya."

"Pasti," jawab Wisnu.

Mendengarnya, aku mendesah dalam hati. Apalagi ketika Selly dan Mas Herman sudah benar-benar pergi, aku tidak tahu harus bagaimana. Maksudku, menebeng Wisnu memang akan lebih nyaman, tapi berdekatan dengannya dan hanya berdua, akan membuatku teringat tentang masa lalu. Dan itu yang aku hindari.

"Ayo, Kai." Wisnu akhirnya buka suara.

"Aku—"

"Please, Kaia." Tatapannya yang tegas membuatku bungkam. "Sekarang bukan waktunya keras kepala. Pulang bareng aku dan kamu bisa cepat-cepat istirahat di apartemen. Okay?"

Sedikit mencebikkan bibir, aku mengangguk. Dan yang membuatku kaget selanjutnya adalah Wisnu tiba-tiba membuka jaket, merapatkan berdiri denganku, lalu menggunakan benda itu untuk memayungi kepala kami.

"Ayo."

Padahal jarak tempat ini dengan mobilnya hanya beberapa meter. Kami tidak akan terlalu basah kuyup, walaupun tetap akan terkena air. Namun aku memilih diam dan menurut. Dia langsung membukakan pintu untukku dan baru berlari memutar setelah aku duduk di dalam. Dan yang menyebalkan adalah, mataku mendadak tidak fokus hanya karena melihatnya menyugar dan menggosok-gosok rambut yang sedikit basah itu. Sebuah gerakan biasa, tapi jika Wisnu yang melakukannya, kenapa terlihat begitu keren? Ah, sadar, Kai!

"Sabuk pengaman, Kai."

Mataku mengerjap. "A-ah, iya."

Mobil Wisnu melaju perlahan setelahnya. Dan keheningan mengambil alih. Aku hanya memandangi jalanan yang masih diguyur hujan dengan pikiran mengembara, sementara Wisnu? Entahlah. Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.

Berada semobil dengan Wisnu dan hanya berdua, mengingatkanku akan masa-masa di mana aku mengejarnya. Saat itu, beberapa kali aku pernah minta nebeng dan diiyakan olehnya. Seringnya itu terjadi ketika hujan seperti ini dan aku tidak mendapatkan ojek online.

Ada satu kejadian yang sekarang tiba-tiba muncul di kepala. Saat itu juga hujan deras. Wisnu mengantarku pulang. Sempat ada kejadian Wisnu kesal karena aku mengumpat kepada seseorang yang menabrak hingga menjatuhkan buku harian yang kubawa. Lalu Wisnu meminjamkan sebuah sapu tangan untuk kugunakan mengeringkan sampul buku yang basah dan kotor. Namun aku harus menelan rasa cemburu karena sapu tangan itu bertuliskan nama Dian.

"K-kamu ... ada hubungan sama Dian?" Dan mulut lancangku menanyakan hal yang sudah jelas jawabannya.

Rasa sedihku bertambah ketika Wisnu justru buang muka, alih-alih menjawab. Sisa perjalanan diisi dengan keheningan. Aku sendiri malas untuk mengoceh seperti biasa. Sejujurnya dulu aku malu dan sedikit tersinggung, bahkan mengumpati Giri dalam hati. Jika bukan karena ancamannya, saat itu mungkin aku tidak akan pernah mengalami hal semenyakitkan itu.

Way Back To You (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang