✈ SEI

29 6 1
                                    

Taman Kota, Bandung.

Udara paginya yang sejuk membuat Zelia tak ingin lepas dari dekapan kota kelahirannya itu. Setiap pergantian harinya pun memiliki beragam cerita yang unik, selalu ada beberapa benih kemungkinan menunggu untuk tumbuh, meski tanpa kebahagiaan.

"Eh, Kak Radit?," Zelia menghentikan aktivitas berlarinya saat berpapasan dengan seseorang.

Radit Mahendra. Pria yang yang ia yakini adalah kakak kelasnya sewaktu SMP dulu.

Radit terlihat bingung, ia seperti sedang mengingat kembali wajah wanita didepannya itu.

"Gue Zelia Zezzy, yang dulu jadi panitia konsumsi pas acara KOCONA bareng Kak Lea."

"Oh, Zeze! Ya ampun, pikun juga gue. Ehm, kayanya lo lagi kurang sehat ya, Ze." ucap Radit menyimpulkan saat melihat Zelia yang menggunakan masker medis.

"Gue gak papa kok, cuma gak kuat aja sama asep rokok." alibinya.

Radit menganggukkan kepalanya ragu.

"Udah lama gak ketemu, Kak Radit apa kabar? Masih sama Kak Alice kan?,"

Radit tersenyum kecut. "Apasi, lo ketinggalan jaman banget kali. Gue udah lama putus sama dia."

Mata Zelia membulat sempurna. "Hah?! Kok bisa? Perasaan dulu paling bucin."

"Karena beberapa alasan yang gak bisa gue jelasin. Lagian itu udah lewat, lupain aja. Btw, lo sendirian kesini?," Radit melihat sekitar, mencari orang yang mungkin saja datang bersama Zelia.

"Iya. Kak Radit juga?,"

"Engga, gue bareng temen. Tadi dia abis jatoh gara-gara kakinya nabrak akar pohon, makanya gak ikut lari lagi. Noh orangnya." jelas Radit sambil menunjuk ke arah bangku taman yang tak jauh dari tempat ia berdiri.

Zelia memperjelas penglihatannya. "Itu Kak Deva?,"

"Lah, lo kenal ama Deva?,"

Zelia mengangguk, "Dia kakak kelas gue."

"Anjir, sumpah? Gila si, dunia berasa sempit banget."

Zelia hanya tersenyum kecil.

"Kalo gitu kita ngobrol-ngobrol dulu aja, yuk! Sambil duduk, lo pasti cape kan?,"

Sepertinya dengan waktu 45 menit sudah cukup untuk Zelia berlari mengelilingi taman ini, ia pun mengangguk dan mengikuti arah langkah Radit.

"Dev--"

"Cabut." Deva menyampirkan tas ranselnya dan beranjak dari duduknya.

"Lah, kok balik? Kaki lo ka--"

"Cabut."

"Lo kenapa si? Lagian ada ade kelas lo, nih. Ngobrol-ngobrol dulu kek, ngapain kek, kaku amat lo."

"Gue tunggu diparkiran, lima menit gak dateng, perjanjian kita batal." kata Deva, lalu melenggang pergi begitu saja.

"Dih, anjir banget tu bocah. Eh, sorry banget nih, Ze.. gue harus cabut duluan. Gue minta nomer lo, deh." Radit memberikan ponselnya, lalu Zelia mulai mengetikkan nomornya.

Pesawat Kertas [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang