Untuk beberapa alasan, Kanna yakin sekali kalau Kim Taehyung sudah terlajur menganggap bahwa dunia ini merupakan sebuah panggung pertunjukkan yang dibangun untuk dipermainkan, dihidupkan, dan ditaklukkan. Tak kurang dan tak lebih. Malah, rasanya jadi lumayan menggelikan bahwa ketidakmampuan, ketidakberdayaan, dan penyerahan yang ia miliki sukses ditepis kelewat cepat oleh pemuda di hadapannya—pemuda yang sudah mendudukkan diri di sisi ranjang, meraih pinggang si gadis, dan memposisikan Kanna untuk berada di dalam pangkuannya.
"Tak apa," bisiknya. "Aku takkan menyakitimu. Kau tahu itu."
Tidak akan? Sungguh?
Merasakan bagaimana Taehyung meraih jemari, menyatukan mereka dengan hangat, dan mengecup pipi Kanna perlahan, keraguan seolah berubah menjadi kepingan harapan tipis yang sukses mengirim gadis tersebut untuk melebur ke dalam dekapan hangat. Rengkuhan manis yang selalu ia inginkan. Taehyung di sini, bersamanya. Taehyung di sini, takkan menyakitinya.
Aroma yang menyeruak lembut, senyumnya yang menawan, suhu tubuh yang terasa panas pada permukaan kulit pucat sang lawan, Kanna memiringkan kepala guna menyelami sepasang mata si pemuda. Ini sinting. Ini terasa tak benar. Ini terasa menantang. Menikmati rasa takut dalam kepala yang terasa asing namun memukau, Taehyung tersenyum tipis. Ekspresi tersebut bahkan tak berubah barang segaris pun saat ia mengeluarkan sebuah cutter berukuran kecil dari dalam kantung hoodie miliknya, berbisik perlahan, "Aku tidak membawa kotak spesial kemarin bersamaku sekarang," katanya. "Aku bahkan tak menduga kalau akan mendapatkan sebuah kesempatan. Jadi kau harus menahan diri hanya dengan ini saja untuk sekarang."
Genggaman Kanna seolah bergetar. Sensasi yang membakar isi perutnya tersebut masih belum lenyap—barangkali tidak akan pernah. Jadi di sana, menggenggam tangan lawannya, Taehyung mengangguk saat Kanna bertanya ragu, "Kau ... yakin?"
"Tentu saja."
"Taehyung, mungkin lebih baik—"
"Tidak ada yang lebih baik daripada ini, kau tahu? Lagipula, kira-kira apa, ya, yang dikatakan psikiater kalau kita sedang menjalani sesi terapi?" Si Kim mendadak tertawa pelan sejenak, menyeringai tipis sebelum melanjutkan dengan nada dibuat-buat, "Nah, sekarang, mari keluarkan amarahmu dan menjadi manusia yang lebih baik lagi."
Kanna bisa merasakan seluruh tubuhnya yang membeku. "Kau tahu, aku tidak merasa kita harus melakukan ini sekarang," ujar si gadis, dengan kaku menggigit bibir bawah. "Ingat perjanjian kita? Aku hanya akan melakukan ini saat aku merasa ... marah, tapi sekarang—"
"Apa kau tahu kalau kau itu pembohong yang payah, Kanna? Payah sekali." Taehyung menaikkan satu alis. "Siapa, sih, yang sedang kau coba bohongi dengan penjelasanmu itu?"
"Aku tidak sedang berbohong."
Taehyung bergumam—barangkali setengah menyelidik, tersenyum miring sesaat kemudian. Ia semerta-merta membalikkan tangan kanan lawan bicaranya, menemukan bekas kuku yang menancap dalam di sana. Kanna meremang saat Taehyung tahu-tahu menundukkan wajah, mengecup bekas lukanya sebab ia mengepalkan tangan terlalu keras.
"Kau bahkan terluka seperti ini," bisiknya. Menempelkan telapak tangan si gadis pada pipinya, Taehyung menatap dengan sepasang netra meredup. "Kau terluka dan kau selalu berkata kau baik-baik saja. Aku benar-benar tidak mengerti mengapa bisa begitu."
Ah, sial. Ini aneh. Bahkan lebih aneh daripada biasanya. Dia bukan Kim Taehyung yang ada di sekolah, dia juga bukan Kim Taehyung yang Kanna temui pada malam saat si gadis memainkan jarum padanya kemarin. Dia berbeda. Sangat berbeda. Lebih ... intens, menuntut, dan menakutkan.
"Kanna? Waktu terus berjalan, Sayang. Kita tidak punya semalam penuh untuk menunggu. Bahkan kurasa sekarang Jimin dan Jungkook sudah menunggu di tempat yang sudah dijanjikan," ujarnya, tersenyum tipis sementara Kanna sibuk menahan napas. "Lakukan. Kau tahu kau menginginkannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifted & Fracted
FanfictionPada musim panas kali itu, Min Kanna mengenal Kim Taehyung dengan seribu satu rahasia, obsesi, serta rencana gila. Pada musim panas kali itu, Min Kanna tak tahu bahwa seberkas cahaya dari neraka baru saja dibidikkan tepat pada kepala. Ah, memang sia...