Tempat ini menyerupai sebuah lintasan cahaya. Warna neon seakan-akan tengah berpijar nyalang, menantang garang, dan sepenuhnya mengintimidasi. Menatap bagaimana sorot lampu seolah menggelinjang, membaur menjadi satu, gadis tersebut menahan napas setengah tak percaya. Jika Yoongi berkata ia hendak datang untuk mengantarkan pakaian ke tempat di mana ibunya berada, maka ini ... tempatnya?
"Ayo, turun."
Kanna melirik kakaknya yang kemudian membuka pintu taksi, mengeluarkan dua tas besar dari dalam bagasi mobil sebelum menawarkan diri untuk membawa satu. Mendesah perlahan dan membiarkan Kanna menenteng yang berukuran lebih kecil, pemuda tersebut lantas menggamit jemari adiknya, menyusup lincah melewati hiruk-pikuk semua orang menuju gang kecil yang nyaris tak terlihat di sisi salah satu bar.
Queens, huh. Kanna menaikkan satu alis, menemukan ada sekurangnya dua puluh orang berbaris menanti di depan pintu masuk. Ibu ... berada di sini?
Kanna memandang punggung kakaknya. Genggamannya masih terasa sama, hanya saja terasa lebih dingin, sedikit diisi sekelumit canggung. Ia mendadak mengingat masa-masa lampau tatkala Yoongi akan sesekali mengajaknya pergi di akhir pekan, entah untuk menikmati pizza atau sekedar membeli milkshake untuk dinikmati berdua di teras-teras cafe. Namun sekarang, semuanya jelas sudah berubah. Terlalu jauh berubah.
Berhenti di sisi pintu samping di mana seorang pria berbadan besar berada di sana, Yoongi memalingkan wajah memandang Kanna lurus, berkata serius, "Jangan melepaskan genggaman tanganku. Apa pun yang terjadi," katanya. "Kita hanya datang untuk mengantarkan baju lalu pulang ke rumah. Kau mengerti, Kanna?"
Si gadis seketika mengangguk patuh. Alih-alih melepaskan, Kanna lantas mengeratkan genggaman tangan, tak ingin terlepas, tak ingin mengambil resiko. Mereka berbicara sejenak pada penjaga pintu, membiarkan Yoongi menunjukkan pesan di ponselnya yang kemudian sukses mengirimkan keduanya melewati penjagaan begitu saja. Kanna jadi yakin sekali kalau ia nekat pergi kemari seorang diri, kemungkinan besar yang terjadi adalah dirinya yang ditendang keluar hidup-hidup tanpa pertimbangan.
Pintu masuk yang ia lewati nyatanya menjorok langsung ke bagian dalam bar, sejenak mengerutkan kening sebab dentum musik dan aroma alkohol yang menyengat mendadak menyambar kelewat cepat. Kanna sontak mengerti mengapa Yoongi dan ibunya melarang keras agar ia mengetahui apa-apa. Mengapa, pikirnya. Peduli? Cemas? Mungkinkah? Namun serius, tempat ini benar-benar mengerikan. Terlepas akan para pengunjung yang dibalut gaun mahal, setelan terkenal, dan berbagai perhiasan berkilau, semuanya tetap tergulung pikat iblis yang membara selayaknya api.
Menyadari adiknya sibuk menjelajahi sekitar, Yoongi segera menarik tangan Kanna lebih gesit, menatap sebuah pintu kulit sewarna darah lalu melangkah dengan cekatan. Tepat tatkala keduanya meloloskan diri ke dalam, suara musik dan aroma alkohol berangsur-angsur memudar. Ruangan yang keduanya tempati sekarang sama luasnya dengan lantai dansa di depan sana, hanya saja interiornya jauh lebih menawan─sangat berkelas namun masih meninggalkan kesan menakutkan. Tetapi belum sempat Kanna melangkah lebih jauh saat melewati deret sofa mahal, seseorang menepuk bahu Yoongi dan keduanya spontan membeku.
"Kenapa kau membawa Kanna kemari?"
Tatkala Kanna memalingkan wajah dan menemukan presensi wanita tersebut, kalimat seolah mendadak meninggalkan kerongkongannya. Gadis itu bahkan tanpa sadar berbisik lirih sekali, "Ibu?"
Nyonya Min jelas terlihat kelewat luar biasa. Gaun yang berpendar gemerlap, make-up yang dipoles sempurna—dalam kapasitas penuh terlihat begitu hidup dalam satu waktu. Tidak ada lagi wanita depresi yang sering menampakkan diri frustasi, tidak ada lagi wanita setengah gila yang akan memukulmu dengan benda keras kalau dia sedang mabuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifted & Fracted
FanfictionPada musim panas kali itu, Min Kanna mengenal Kim Taehyung dengan seribu satu rahasia, obsesi, serta rencana gila. Pada musim panas kali itu, Min Kanna tak tahu bahwa seberkas cahaya dari neraka baru saja dibidikkan tepat pada kepala. Ah, memang sia...