Pada dasarnya, manusia selalu memiliki insting untuk tetap bertahan hidup, menarik diri dari situasi yang dianggap sebagai ancaman, serta mencoba sebisa mungkin menjauhkan segala macam kontak dari hal tersebut jika mereka mampu. Namun dalam beberapa kesempatan menyebalkan, melarikan diri bahkan bukan salah satu dari sekian banyak opsi.
Kanna mengayunkan langkah kaki secepat dan sebisa mungkin, membiarkan jarak terbentang, mengabaikan Jimin yang sesekali tertawa lalu menegurnya sebab si gadis berjalan terlalu gesit. Pemuda itu melangkah dengan lambat, tak terburu-buru, tak mencegah, hanya bersenandung santai menggumamkan lagu-lagu terbaru yang sedang naik daun—hampir sepenuhnya terlihat tak berbahaya.
Namun Kanna jelas takkan mampu mengesampingkan apa yang sudah terjadi belakangan ini. Ia sungguh tak tidak bisa lagi memandangnya dengan cara yang sama, melihatnya hanya sebagai pemuda biasa. Apalagi, tidak. Kanna juga tidak menginginkan rahasia baru terkuak di depan wajahnya hanya untuk mengirimkan episode kegilaan lain.
"Ya ampun, serius? Bisakah kau menikmati momen dan melangkah sedikit lebih lambat, Kanna?" Jimin akhirnya terdengar setengah membujuk, kembali melanjutkan, "Kau berjalan cepat sekali. Kita bahkan sudah melewatkan mereka yang bersembunyi untuk menakut-nakuti. Untuk apa berjalan secepat ini, sih?"
Kanna mengarahkan senter di tangannya, memastikan jalanan yang hendak ia lewati tak terjal atau berlumut. "Aku ingin cepat kembali ke penginapan dan tidur."
"Melewatkan malam spesial ini begitu saja?"
"Terdengar seperti rencana sempurna untukku."
"Tidak seru."
Si gadis mendengus getir. "Kehidupan yang membosankan daripada yang menantang nyawa tidak buruk juga."
Kali ini Jimin tertawa lebih keras. Suaranya bergaung mengisi hutan—membuat ngengat yang sempat menderik mendadak senyap dalam beberapa detik. "Begitu?" Ia terkekeh-kekeh puas. "Tetapi kenapa aku malah berpikir kau sebenarnya sedang menghindari sebab takut padaku, ya?"
Hampir selama sepersekian sekon di sana, Kanna bisa merasakan tubuhnya kaku. Kerongkongan si gadis mendadak tercekat dan ia meremas senter lebih erat sementara yang baru saja melemparkan kalimat malah tertawa lebih keras—seolah ucapannya merupakan sebuah lelucon paling hebat sepanjang masa.
Kanna mengatupkan bibir, tak bisa tertawa. Menelan saliva saja kesulitan.
Gadis itu mendadak berharap ada Han Jinsung yang diam-diam bersembunyi di antara semak belukar—mengenakan selembar kain putih serta rambut palsu beraroma apak guna menakut-nakuti. Semata-mata memastikan ia tak tinggal berdua saja dengan pemuda di belakang punggungnya. Tetapi satu-satunya hal yang eksis di sini hanyalah keheningan. Gadis itu mengepalkan tangan, berharap semuanya selesai lebih cepat, meminta izin pada Hyeonri untuk kembali ke dalam penginapan lebih awal, lalu memotong garis akhir.
Kanna akan berbicara dengan Taehyung—nanti—sebelum sepenuhnya menutup semua pintu dengan rapat. Kini, hanya mencoba fokus pada senter dalam genggaman serta mengikuti tali putih yang digunakan sebagai petunjuk jalan menuju garis akhir, gadis itu mendengar Jimin kembali menggerutu di belakang sana, "Kanna, ayolah?"
"Tidak."
Kanna mendesah lirih. Ia seharusnya tidak menyerahkan ponselnya pada Hyeonri sebelum acara bodoh ini dimulai. Seharusnya ia menyembunyikannya dan berkata melupakan benda tersebut di dalam kamar. Tak memperbaiki kegelisahannya yang kian membesar bak badai, Kanna tersadar ia juga bahkan belum membalas satu pun pesan yang Yoongi kirimkan.
Jimin mendecakkan lidah.
"Kau mengabaikanku," ujarnya, terdengar kesal. Pemuda itu diam sejenak sebelum tertawa pelan. "Katakan. Apa Jungkook sudah melakukan sesuatu padamu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifted & Fracted
FanfictionPada musim panas kali itu, Min Kanna mengenal Kim Taehyung dengan seribu satu rahasia, obsesi, serta rencana gila. Pada musim panas kali itu, Min Kanna tak tahu bahwa seberkas cahaya dari neraka baru saja dibidikkan tepat pada kepala. Ah, memang sia...