23. Lifted

347 66 3
                                    

Sisa malam tersebut terasa mengabur. Pekat. Membuat gelegak mual datang dan pergi dalam repetisi panjang. Rasanya benar-benar seperti tengah mencoba melihat melalui jendela mobil yang diguyur hujan badai—separuh bertaruh bahwa ia akan baik-baik saja kendati tak mampu memprediksi dan terus melaju dengan kecepatan tinggi. Kanna yakin ia tak terlelap barang satu menit sekalipun. Tidak dengan semua yang terjadi dan puluhan asumsi yang berdesakan di dalam kepala. Semua kondisi ini sama sekali tidak membantu. Rasa sakit pada tangannya yang mulai kebas, sekujur tubuh nyeri, juga Taehyung yang mendekap tubuhnya di belakang punggung—melingkari pinggul, bernapas, dan terlelap begitu tenang.

Rasanya lucu sekaligus memuakkan.

Kanna bisa merasakan kerongkongan kembali tercekat tatkala si pemuda bergerak. Taehyung mengeratkan dekapan, membetulkan posisi, tanpa malu lantas menenggelamkan wajah pada punggung si gadis yang membeku stagnan. Suhu tubuhnya sama seperti Kim Taehyung yang selalu Kanna ingat. Hangat. Lembut. Kelewat mengayomi seolah ia tak pernah membiarkan kedua kawannya memukul lalu menculiknya pergi.

Namun kini, dengan jelas, tak ada lagi getaran dalam dada atau gelitikan pada perut. Kupu-kupunya lenyap. Terbakar amarah. Rasa dingin berhasil mencabut fungsi kerongkongan dan yang bisa Kanna lakukan hanyalah berdiam, mendadak menutup mata tatkala sosok di belakang punggungnya terjaga, mengecup telinganya lalu berbisik tenang, "Aku pergi dulu. Akan kukunjungi lagi nanti."

Taehyung kemudian bangkit, menelusuri profil wajah gadis di hadapannya dengan perlahan sebelum melangkah pergi. Suara kenop yang dikunci mengisi ruangan, menjadi satu-satunya hal yang membuat Kanna mengatupkan bibir dan membuka mata lagi dengan perasaan nyeri. Semalam sia-sia. Ia tidak menghasilkan apa-apa. Tidak peduli seberapa keras atau banyaknya ia mencoba untuk membujuk Taehyung guna membantu si gadis melepaskan diri, pemuda tersebut memberikan satu gelengan penuh sesal. Ia juga hanya membalas dengan mengatakan dua kalimat diisi senyum hangat, "Kau akan baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan."

Kanna mengusap wajah, melirik satu tangannya yang masih terborgol pada headboard ranjang. Aku tidak tahu bagian mana dari diriku yang terlihat begitu di matanya.

Menghela napas, Kanna lantas bergerak perlahan. Ia membutuhkan lebih banyak waktu untuk memposisikan diri pada borgol, memperhatikan permukaan kulitnya yang kini sudah berubah selayaknya daging salmon mentah. Tarikan paksa yang gadis itu lakukan berulang kali meninggalkan sayatan melingkar. Kulitnya sobek. Titik-titik darah terbayang samar. Tiap kali Kanna bergerak, borgol akan menggesek dagingnya untuk semakin terbuka, sukses mengirimkan perih tanpa jeda. Hal terakhir yang merupakan fakta memualkan, mereka bertiga rupanya kelewat berhati-hati. Tak ada apa-apa di dalam laci nakas yang bisa digunakan. Pintu selalu dikunci. Jendela tak pernah dibuka.

Sepenuhnya frustasi, nyaris nekat menggoyangkan pergelangan tangannya, sebuah suara mendadak menyambar—dingin, "Jika aku jadi kau, aku tidak akan melakukan itu."

Memalingkan wajah secepat yang Kanna bisa dan menemukan sosok yang tahu-tahu sudah berdiri di ambang pintu yang terbuka, Jungkook lantas menghela napas. "Satu-satunya cara yang bisa kau lakukan untuk melepaskan diri adalah memotong tanganmu. Kau bukan James Bond yang bisa membuka borgol tanpa kunci."

Si gadis tak buru-buru menyahut, namun agaknya sang lawan bicara juga tak menunggu jawaban. Lanjutnya ringan, "Tahu, tidak, kalau kau bisa membeli borgol di toko mainan seks? Kualitasnya beragam." Pemuda itu menutup kembali pintu di belakang punggung, mendesis menahan tawa. "Tempat itu seperti dunia lain yang luar biasa. Kau harus datang mengunjunginya dengan Taehyung." Jungkook menjeda, mengendikkan bahu. "Itu juga kalau kau berhasil keluar, sih."

Mengatupkan bibir dan melirik kotak obat yang Jungkook bawa, Kanna mati-matian berusaha mengendalikan diri sendiri. Tenaganya benar-benar menipis, jadi ia juga tak berencana untuk kehilangan kontrol seperti yang terjadi semalam. Jatuh terduduk di atas ranjang, menyerah dengan borgol, si gadis lebih memilih menyahut tenang, "Campfire sudah berakhir."

Lifted & FractedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang