35. Mendung di Matanya

3K 226 1
                                    

Revan menghilang.

Maksudku, Revan benar-benar pergi, menepati janji untuk tidak lagi menggangguku. Dia bahkan tidak ada saat ayah sudah diberikan ijin untuk pulang dari rumah sakit. Sampai sekarang, dua Minggu setelah kepulangan ayah, dia sama sekali tidak muncul di hadapanku.

Aku.. aku baik-baik saja. Aku terus menanamkan pada diriku sendiri bahwa kepergiannya tidak berarti apa-apa. Sekuat tenaga aku berjuang untuk menekan rasa apa pun yang muncul setelah dia pergi. Dan aku harap, aku mampu.

Aku sudah memilih, dan tidak ingin apa pun menggoyahkan pilihanku. Aku sudah bertekad untuk benar-benar membuka hati pada Mas Reyhan, dan aku ingin itu berhasil.

"Kok ngelamun, sih?" Suara dibarengi dengan tepukan di kepalaku itu cukup mengagetkan, membuatku kembali fokus pada keadaan sekitar.

Aku sedang berada di kantin SMA Harapan Bangsa, berdua dengan Mas Reyhan. Yep, mencuri waktu di sela-sela jam pelajaran seperti yang sudah-sudah.

"Ngelamunin apa?" Tanyanya.

"Aku nggak ngelamun, cuma lagi mikir aja." Aku memicingkan mata, "Kamu tuh yang akhir-akhir ini jadi sering," todongku. Akhir-akhir ini dia memang sering melamun, seperti hanya raganya yang sedang bersamaku, tidak dengan pikirannya.

"Masa, sih?" Bantahnya.

"Iyaaaa.. kamu sering tiba-tiba nggak fokus gitu. Kenapa, sih? Lagi banyak pikiran, ya?" Tembakku.

Dia tampak berpikir, lalu senyum aneh muncul di wajahnya. "Ah, ngarang kamu! Ngapain pakai ngelamun kalau objek lamunanku ada di depanku."

Aku menimpuknya dengan tisu gulung yang kutemukan di meja, gemas mendengar gombalan recehnya. Dia hanya tertawa tanpa berusaha menghindar, membiarkanku puas melakukan aksiku.

"Permisi, Pak, Bu, ini pesanannya." Suara itu membuatku berhenti, pipiku panas karena malu menyadari sudah bertingkah seperti bocah di depan orang lain. Parahnya, ini di kantin sekolah, tempatku mengajar.

Melihatku hanya diam sambil berusaha menyembunyikan wajah, Mas Reyhan cepat tanggap, "Makasih, Bu Marni," ujarnya. Dia bahkan tidak bisa menyamarkan kegelian dari suaranya.

"Malu banget aku," aduku begitu Bu Marni menjauh.

Dia terkekeh, "Nggak usah di pikirin."

Nggak usah dipikirin, tapi di ketawain!

Dengan perasaan malu setengah dongkol, aku memilih menyantap nasi goreng buatan Bu Marni yang terkenal seantero sekolah. Rasanya memang enak, dan jangan lupakan tambahan daun selada yang boleh request sepuasnya.

"Jadi, mikirin apa tadi?" Pertanyaan itu sontak membuatku tersedak. Kenapa sih Mas Reyhan mendadak jadi kepo begitu? Biasanya dia langsung mengalihkan pembicaraan kalau tau aku nggak mau menjawab pertanyaannya.

Laki-laki di sebelahku buru-buru menyodorkan air putih, dia menepuk halus punggungku sembari menungguku menghabiskan minuman.

Aku menatapnya sebal saat dadaku tidak lagi perih, "Mana bisa sih aku mikir kalau objek pikiranku ada di depan mukaku begini!" Sentakku.

Dia mengerjap bingung, sebelum tawanya menggema, "Itu kamu lagi gombal?"

Aku menundukkan kepala, ingin menenggelamkan wajah ke dalam nasi goreng yang tinggal setengah. Kenapa mulut suka nggak sinkron gitu sih sama otak?

Tadi aku ingin memarahinya karena mengajukan pertanyaan nggak penting saat aku sedang makan. Tapi setelah kupikir-pikir, dari pada mengamuk, lebih baik ku balas saja pertanyaannya dengan gombalan yang tadi dia berikan. Tapi.. sepertinya aku tidak benar-benar berpikir. Ngapain juga membalas gombalan receh manusia satu ini.

"Belajar lagi ya.. Sedikit lagi so sweet," godanya sambil menepuk pelan kepalaku. Aish, dia pasti senang sekali menemukan bahan untuk mengejekku.

"Terserah, deh. Aku mau balik ke kantor." Ujarku meninggalkannya. Dia tidak menyusulku, memilih melanjutkan tawa sambil menghabiskan sisa nasi goreng di piringnya, juga di piringku.

****

"Kok masih di sini?" Tanyaku setengah kaget. Aku baru saja mengganti pakaian mengajarku dengan seragam dinas teko Kenanga.

Kupikir, setelah memastikan aku masuk ke dalam mess dia akan langsung pulang, nyatanya Mas Reyhan malah sedang duduk manis di ruang depan, tempat yang sering dijadikan beskem gosip warga Kenanga saat sedang ada waktu luang.

Dia menatapku dengan senyum tipis, "Mumpung lagi free, Ra. Akhir-akhir ini kita jarang banget bisa berduaan." Keluhnya.

Mas Reyhan memang sangat sibuk belakangan ini, kami jadi jarang ada waktu berdua, dan kalau ada kesempatan bertemu denganku dia malah sering melamun seperti terlalu banyak pikiran. Jadi, kesibukannya pasti sangat parah.

"Okaay, kebetulan aku masih ada waktu setengah jam sebelum ganti shift sama Mbak Sesil." Aku duduk di sebelahnya, dan dia buru-buru meletakkan kepala di pundakku.

"Kayak bocah aja, sih, Mas!" Ledekku sambil mengacak rambutnya. Dia tidak protes, hanya menggerakkan tangan untuk merengkuh tubuhku. Dan jantungku langsung berdetak tidak karuan.

Anggap aku berlebihan, tapi jantungku memang berdebar sangat kencang. Ini adalah kali pertama Mas Reyhan membuat gestur seintim ini. Dengan kepala yang bertengger nyaman di lekukan leherku dan kedua tangan yang semakin erat mendekap tubuhku. Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak mendorongnya, berusaha mencari kenyamanan dalam posisi ini.

Mungkin.. dia sedang sangat lelah dan butuh tempat untuk mencurahkan beban tanpa harus bercerita. Entahlah, hanya saja, instingku berkata bahwa pikirannya bukan hanya sedang disibukkan dengan urusan pekerjaan, tapi ada hal lain juga yang tidak bisa dia ceritakan.

"I love you, Ra." Bisiknya tiba-tiba, tepat di cerukan leherku.

Aku kaget jujur saja, tapi lebih kaget dengan reaksi tubuhku yang seketika meremang. Dengan kaku, aku menggerakkan tangan yang sejak tadi hanya diam, membelai kepalanya. "Is everything okay?" Tanyaku.

Mas Reyhan tidak menjawab, hanya bergerak untuk mengeratkan pelukannya. Membuatku semakin yakin bahwa masalah yang berat sedang menimpa dirinya.

Aku jadi merasa jahat. Biasanya, saat aku dalam masalah, dia selalu bisa menemukan cara untuk menghiburku. Sedangkan sekarang, saat dia yang membutuhkan hiburan, aku malah bingung harus melakukan apa.

Akhirnya, aku memilih untuk balas memeluknya, meyakinkan dia bahwa aku ada bersamanya. "It's okay, Mas. Apa pun yang sedang terjadi, everything's gonna be okay."

***

Terima kasih sudah mampiir :)

Lajur Rasa - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang