ㅡmelebur semesta.

40 3 0
                                    

Suara denting yang nyaring memecah keheningan kamar studio berhiaskan foto-foto manis sepasang insan. Seorang lelaki, yang sedari tadi duduk sambil menopangkan dagu pada tangannya, beranjak dari tempat duduknya untuk menghampiri sumber suara yang menyadarkannya dari lamunannya. Diambilnya segelas coklat panas dari dalam microwave, meniupnya sejenak sebelum meneguknya.

Lelaki bersurai biru kehijauan itu menggenggam gelas hangat tersebut sambil memandang ke arah jendela. Rintik-rintik hujan mulai memenuhi kaca, membuat pandangannya ke luar memburam. Tatapannya kosong, khawatir karena seseorang yang ditunggunya tak kunjung hadir. Sebuah napas panjang keluar dari mulut lelaki tersebut. Hari ini dingin—dan yang ia butuhkan saat ini adalah kehangatan lain selain coklat panas yang diminumnya.

Waktu demi waktu berlalu, hanya suara hujan yang terus mengisi indera pendengaran lelaki bertubuh mungil yang dibalut sweater kebesaran itu. Namun tak lama, sebuah suara yang menandakan kedatangan seseorang menunjukkan bunyinya.

Lelaki itu segera berlari kecil ke arah pintu, ke arah lelaki yang akan menghangatkannya—cepat atau lambat.

Sesaat setelah pintu terbuka, lelaki berpakaian kebesaran itu sudah menempatkan dirinya di dalam dekapan lelaki yang baru saja sampai. "Lama banget, San."

"Young-ah," balas lelaki yang dipanggil San itu, membalas pelukannya. "Ada apa nih? Tumben banget kamu clingy gini."

Young-ah, atau lengkapnya Wooyoung, mengangkat kepalanya, memperlihatkan ekspresi kesal nan lucunya. "Kenapa? Gak boleh?"

Untuk sesaat, San menutupi wajahnya dengan satu telapak tangannya, menyembunyikan serinya—tidak kuat melihat belahan hatinya yang tampak sangat menggemaskan. "Eh... Ya, masa gak boleh," ujarnya sambil mengeratkan pelukannya.

Wooyoung pun tersenyum puas. Dirinya memejamkan matanya, kembali hanyut di dalam dekapan lelaki yang lebih tinggi darinya itu.

"Maaf aku baru pulang." San mengecup pucuk kepala milik Wooyoung, wangi helaian rambutnya bak bunga yang mengeluarkan aromanya untuk mengundang siapapun yang menghirupnya.

"Hm-mh." Laki-laki mungil itu memperlihatkan wajahnya, lebih tepatnya senyumannya kepada lelaki bermarga Choi itu. "Gak apa-apa, aku tau kamu sibuk."

Lagi, Wooyoung membuat San tersenyum. Bukan sekadar senyuman selewat, tapi senyuman yang benar-benar tulus. Lelaki bersurai hitam itu semakin tahu bahwa ia harus bersyukur karena memiliki si kecil sebagai semestanya.

"Um... San..."

"Hmm?"

"Boleh biasa aja gak meluknya? Lumayan sakit, nih."

"Ehh? EHH, IYA, YOUNG-AH." San tampak panik. "Maaf-maaf." Ia mengusap-usap pelan punggung milik Wooyoung.

Ya. Saking bahagianya San sampai tidak sadar kalau dirinya sudah terlalu kencang memeluk orang kesayangannya itu.

"Um... By the way, ini aku gak boleh masuk, nih? Dicegat di depan pintu gini."

Wooyoung yang baru menyadarinya tersenyum lebar, malu. "Hehe... Yuk, masuk."

Sesaat setelah keduanya duduk bersebelahan di sebuah sofa yang pas untuk dua orang, San menyandarkan kepalanya di pundak milik Wooyoung. "Young-ah..."

"Um?"

"Kamu kenapa hari ini, Young?" San meraih tangan Wooyoung, menggenggamnya sambil sesekali memainkan jemari lentiknya.

Terdiam sejenak, Wooyoung menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. "Lagi pengen aja. Hari ini dingin."

"Beneran?"

"Hm-mh."

Senyuman lembut San berubah menjadi senyuman jahil. "Ya udah, mau aku bikin hangat?"

ㅡmelebur semesta.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang