2. "Kenapa sejak hari itu.."

4 0 0
                                    

Hana pun menyatukan kedua tangannya, mengangkat dan menariknya ke atas. Rupanya Hana tengah mengolet. Tugas yang dia kerjakan akhirnya selesai. Sudah hampir enam jam dia menatap layar monitor. Semoga saja kantung matanya masih menunjukkan bahwa dia adalah seorang gadis yang masih berusia 22  tahun.

“Haahh...”, suaranya menghela napas.

Dilihatnya jam dinding miliknya, sekarang menunjukkan pukul 23:09. Hana pun menyandarkan punggungnya dan membiarkan kepalanya berbaring di dudukan sofa, melihat langit-langit ruangan. Dia ingin melepaskan lelahnya sejenak, dan membiarkan dirinya terlelap, sambil memijit-mijit kedua pelipisnya dengan lembut. Bebannya terasa lebih ringan, meski tak sepenuhnya bisa ia lepaskan. Ia berhenti memijit pelipisnya, lalu memejamkan kedua matanya.

“Hm.. untuk pertanyaan sudah ku persiapkan. Besok aku hanya perlu bertemu dengan pak pelukis di acara pameran.. untuk mewawancarainya”, gumamnya.

Hana pun membuka matanya, lalu memindahkan posisi kakinya yang mulai kesemutan.

“Aduh..”, suaranya terdengar lirih, karena lututnya tentu saja masih terasa nyeri.

Sembari memindahkan posisi kakinya, ada sesuatu yang menarik perhatian matanya. Ya.. si perban. Perlahan-lahan tangan Hana meraih, dan.. dirabanya perban itu.

Hana menghela napas lagi.

Haa. Apa dia sudah tidak waras? Kenapa tiba-tiba sekali sih dia berbicara seperti itu? Haha. Benar-benar keterlaluan dia.

Sudah susah payah aku berhasil move on, dan sekarang dia dengan seenak jidat datang begitu saja. Dia yang pergi seenaknya, dia juga yang datang seenaknya.

Apa katanya? Kangen padanya? Haha.

Hh.. sudahlah.. dibanding kangen, aku sudah tidak peduli lagi denganmu. Setitik pun, tidak ada.

Aku lebih peduli dengan americano ku.. hiks :”)

“Baiklah.. aku minum air putih saja”, ucap Hana sembari berdiri, menuju kulkasnya yang ada di dapur.

Glek glek glek. Diminumnya segelas air penuh, lalu habis dalam sekejap.

“Fuh.. rasanya kerongkonganku lebih baik”, ucap Hana.

Pandangannya kini teralihkan pada sleeding door di balkon rumahnya yang terbuat dari kaca transparan. Ingin sekali bagi Hana untuk melihat dengan jelas hal menarik apa yang ada di luar sana. Seperti sebuah gelombang magnet yang senantiasa menarik pandangan mata Hana menuju ke balkon.

Langkahnya melambat, menghampiri balkon tersebut. Ia pun menggeser sleding door itu, lalu berjalan perlahan. Kedua tangannya menyentuh pagar besi balkon yang dingin.

Angin sepoi-sepoi berhembus dan mengibarkan rambutnya yang panjang terurai. Ia memandangi kota Seongnam dari atas rumahnya. Rasa kagum terlihat dari wajahnya.

Seindah inikah kota Seongnam sejak dulu?

Entahlah tapi, semuanya tampak berkilauan. Lampu jalan. Lampu lalu lintas. Lampu mobil. Sinarnya memperindah kota. Terlebih lagi saat ini hujan kembali, hmm.. pantas saja berkilauan. Melihat pemandangan yang seperti ini, perasaan Hana pun jadi jauh lebih baik. Hehe.

Hana pun termenung. Tiba-tiba ia tengah memfokuskan pandangannya pada sebuah tanaman nan jauh di sana.

Udara yang dingin berhembus dan menerpa tanaman-tanaman itu, membuat tubuh mereka yang ringan melambai dengan tenang, seolah mengisyaratkan bahwa keadaan akan selalu tenang dan damai, berjalan selalu seperti begini adanya. Segalanya akan baik-baik saja, bagaimana pun itu.

Seperti saat hari ini, akan selalu terlihat awan gelap di malam hari, lalu lalang kendaraan, genangan air di jalan, atau lampu lalu lintas yang setia berjaga menyalakan lampu merah dan hijaunya untuk menertibkan kota. Akan selalu terdengar suara rerintihan hujan, decit bis yang berhenti di depan halte, suara keramaian, orang-orang...

Begitukah? Entahlah, tapi.. udaranya semakin dingin. Tubuhnya mulai menggigil. Hana pun masuk ke dalam lalu menggeser pintu balkonnya, menutup dan menguncinya.

°°°°

Bip bip. Bip bip. Klik.

Alarm berbunyi menunjukkan pukul 06.00 am. Tangan kanannya meraba-raba asal suara itu, berharap tombol yang ia tekan membuat si alarm berhenti bersuara.

“Ahh... lima menit lagi”, kata Hana dengan nada mengantuk.

Ia mengubah posisi tidurnya agar terasa lebih nyaman, sembari menaikkan selimutnya.

“Hari ini mengapa terasa dingin sekali?”, gumamnya, yang masih memejamkan mata.

Jam menunjukkan pukul 06.02 pagi hari, dan kota Seongnam masih saja meninggalkan hawa dingin karena sisa hujan semalam.

Bisa rasakan bukan betapa nyamannya posisi Hana sekarang dengan hawa yang seperti itu, masih terbungkus dengan selimut tebalnya yang hangat, wangi, dan begitu lembut?

“Baiklah.. saatnya bangun”, katanya meyakinkan diri agar segera berpindah dari kasurnya yang posesif itu.

Mendadak ia membuka matanya, memaksa agar kantuk tak menutup matanya. Bergegas ia membawa handuk lalu menuju ke kamar mandi.

Lagi-lagi hal yang sama mengganggu pikirannya saat ini.

“Ayolah Hana.. jernihkan pikiranmu. Kenapa sejak hari itu Hyun Jae jadi memenuhi isi otakmu? Sekarang ini dia tidak lebih dari kata masa lalu”, ucap Hana dalam hati, sembari mengarahkan wajahnya pada shower, berharap air yang terpancur dan membasahi wajahnya dapat mendinginkan kepalanya.

RetrouvailessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang