Pria paruh baya yang mengendarai motor matic berwarna hitam, memarkirkan kendaraannya dengan asal. Ia segera berlari masuk ke dalam rumahnya.
"Ya Allah, Ya Allah. Gimana kalau aku dipenjara? Gimana kalau Pak Polisinya nggak mau damai? Ya Allah, Arin gimana ya Gusti?"
Kalimat itu berulang-ulang ia ucapkan sembari mondar mandir di kamar. Tak ada siapapun di rumah karena istri dan putrinya tengah berada di rumah sebelah, rumah mendiang adiknya, yang tak lain adalah orang tua Arin.
Pria itu menimbang-nimbang, apakah ia harus memberitahukan pada Harun soal Arin yang dibawa polisi? Namun, ia takut Harun marah. Ya, bagaimanapun juga ia segan dengan Harun. Sekalipun misal bukan seorang prajurit, tubuh Harun yang sebesar itu bisa meremukkan tubuh kering kerontang miliknya dalam sekejap mata. Apalagi jika Harun sudah berseragam dan menunjukkan bintang berjajar di bagde lengan kanan kirinya, kaki lemas membayangkan jika bermasalah dengan pria itu.
Lima belas, hampir dua puluh menit sejak kepulangannya pria itu masih saja mondar mandir dan panik.
"Pak! Bapak! Arin mana? Dicari Bang Harun. Kok belum pulang."
Suara sang istri terdengar nyaring memanggilnya.
"Ya Allah, mati aku!"
Tangan pria itu bergetar hebat. Nyawanya seoalah hampir minggat dari raga seketika itu juga. Mau tidak mau ia keluar dan pasrah. Matanya memerah dan hampir menangis.
"Pakde, Arin mana? Kok Pakde pulang sendiri?" Suara Harun terdengar seeperi auman harimau di telinganya.
Pria berumur lima puluh tujuh tahun itu perlahan berjalan ke arah pekarangan rumah Arin yang hanya berbatas pagar kayu lima puluh senti dengan pekarangannya.
"Arin ... Arin ... Di ... Dibawa polisi."
Harun yang tengah duduk di teras sembari mencecap kopi bersama sang putra menatap pakde Ipul tajam.
"Dibawa polisi gimana?"
"Ta-tadi tadi pas pulang ada polisi. Terus Arin dibawa Aㅡ"
Deru motor trail terdengar. Gadis bercelana jeans dengan blouse pink dan jilbab senada itu melompat turun dari motor. Sementara sang pria berseragam mengikutinya.
Atina yang baru keluar dari dalam rumah membawa cemilan untuk sang putra dan suami menatap ke arah Arin. Harun dan Pakde Ipul pun sama.
"Ya Allah, Pak Polisinya tahu rumahku! Aku mau digelandang ke kantor pasti?! Ya Allah!" Pakde Ipul hampir terkencing di celana.
"Assalamualaikum, Bang, Kak, Pakde."
"Wa alaikum salam."
Pakde Ipul tiba-tiba hilang kesadaran.
"Eh! Pakde! Pakde!"
Riko dengan sigap membantu pria itu dan membawanya ke tempat yang Arin perintahkan. Setelah digosok minyak angin, pria itu kembali sadar.
"Nduk, Nduk! Polisinya dimana?" lirih sang pakde.
"Ada di depan Pakde. Pakde, dia ngelamar aku. Pakde ijinin ya? Pakde belain aku ya misal Bang Harun nggak setuju, ya? Dari pada dia nggak mau damai sama Pakde loh."
Arin setengah berbisik. Ya, dia memanfaatkan kesempatan dengan baik. Selagi sang bude tengah di dapur untuk membuatkan teh untuk pakde, sementara Aina belum selesai mandi.
"Iyo iyo beres. Tak restui. Tapi kamu yakin?"
"Insyaallah Pakde. Dia aparat. Dia polisi, apa yang harus Arin raguin? Misal dia neko-neko ya tinggal lapor ke kantornya biar dipecat. Aman kan? Lagian, Mas Riko itu baik. Sedikit soleh kok. Nggak semua polisi serem pakde. Cuman para pelanggar hukum aja yang bilang polisi serem. Cuma para orang picik aja yang bilang polisi nggak bener. Ya, kali nggak bener, nggak mungkin jadi penegak hukum. Tindakan beberapa oknum, nggak bisa jadi patokan generalisasi label buruk bagi instansi kepolisian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Green or Pink (END)
Romance"Bu, besok aku mau punya seragam hijau. Foto cantik, sama Abang." "Kenapa hijau?" "Karena Abang seragamnya hijau. Kata Abang, seragam istrinya juga hijau. Kan Arin besok gede jadi istri Abang." "Arin, Arin. Jangan suka warna hanya karena seseorang...