0.1 Kamu

9 7 0
                                    

Eza menatap wajah itu. Lagi. Dengan gamang dan ekspresi yang sulit diartikan. Tapi jauh sebelum siapapun berasumsi bahwa mimik wajah Eza garang serta terlalu datar, Sagara jauh lebih tahu bahwa mata jernih milik Eza kini sedang sendu. Terluka karena dirinya lagi.

Eza menyadari, bahwa luka di dalam hatinya kembali terbuka. Perih sekali. Tubunya sedari ia datang ke tempat ini sudah tremor. Tanganya basah, sekuat tenaga untuk tidak berlari memeluk tubuh jangkung itu. Tanpa sadar, akhirnya air matanya meluruh, tetapi tatapan tajamnya tetap ia arahkan kepada pemuda brengsek itu yang terpaksa harus ia tinggalkan di kota istimewa ini, beserta kenangan istimewanya.

"Buat apa kamu kesini, aku pulang bukan buat nemuin kamu" Tanpa terisak, tidak juga tegas ia kian menatap nyalang pemuda itu.

Saga hanya menatap datar gadis di depanya itu, perasaanya kian carut marut melihat tatapan yang dilayangkan wanita di depanya.

Saga menunjukan room chatnya dengan Ningsih, mama Eza. Tetapi belum sempat Eza membaca satu katapun, buru-buru Saga menarik kembali HPnya "Beliau yang suruh aku jemput kamu. Ayo."

"Aku mau pulang sendiri" Eza kian mengeratkan kepalan tangan kananya pada tali tasnya yang berisi pakaian.

Jauh di relung hati masing-masing, ada banyak hal yang ingin disuarakan setelah sekian lama. Entah Eza yang 3 tahun meninggalkan Jogja tanpa pamit, atau Saga yang menunggu sesuatu yang bahkan dirinya bingung entah apa yang ia tunggu sebenarnya.

Benar, semu.

Pertemuan yang beralibi dengan sang Mama Eza, maupun tentang roomchat yang sebenarnya adalah topiknya bukan mengarah pada Eza melainkan chat yang entah kapan, padahal Sagara jauh-jauh hari sudah mengetahui bahwa gadis ini akan pulang. Entah ke rumahnya, atau jika Saga beruntung, Eza akan pulang lagi ke hatinya.

Eza mengusap kasar air mata sialan yang terus mengalir di sepanjang pipi tirusnya, wanita kelahiran Yogyakarta ini makin kurus dari terakhir sebelum ia kabur ke Belanda, di pundak kanan di dekat lehernya mencuat sedikit gambaran tato. Ia kabur ke tempat kakek dari ayahnya. Bukan tanpa alasan ia minggat ke luar negri, Eza benar-benar malas jika harus mengungkit banyak kenangan buruk dirinya maupun dengan Saga.

Sagara hanya terus berdiri menatap wanita itu hingga Eza puas mengintimidasi dengan tatapnya.

Ia menghembuskan napas. Jengah. "Ayo pulang, aku buru-buru mau ke kantor. Kamu juga udah ditungguin di rumah."

Saga menarik koper ukuran besar di samping kiri Eza. Sebelum membalikan badan, Eza menarik kembali kopernya dari tangan Saga.

"Aku enggak pernah minta kamu buat jemput atau nemuin aku. Aku juga enggak minat di jemput kamu, silahkan pulang dan urus keperluanmu"

Eza merebut kopernya dan berjalan cepat di koridor, ke arah pintu keluar Airport.

Sagara mengusap kasar wajahnya, ia lelah. Hampir 2 hari ia sama sekali tidak memejamkan mata barang semenit. Tetapi, keputusanya sudah jauh-jauh datang dari rumah untuk menjemput gadis itu, jelas tidak akan ia biarkan sia-sia. Ia tidak berbohong perihal banyaknya urusan di kantor yang harus ia urus. Tapi sekali lagi, Nindya Eza adalah gadis yang berhasil memporak-porandakan perasaanya selama bertahun-tahun, bahkan ketika gadis itu memilih kabur meninggalkanya ke Negri Kincir Angin selama 3 tahun.

Perasaanya tidak semudah itu untuk dimatikan, hanya untuk Nindya Eza.

Ia berjalan cepat menyusul Eza. Sagara berdecak agak kesal, pasalnya selama 3 tahun itu, tinggi badan Eza mungkin hampir setara dengan dirinya. Tentu langkah yang agak panjang itu cepat menjauh dan Saga harus agak berlari.

"Nindya!" Saga berteriak, walaupun tidak terlalu nyaring, mampu membuat langkah gadis cantik itu berhenti.

Tanpa mengucapkan kata apapun, setelah gadis itu berbalik Sagara merebut koper besar di tangan kirinya dan membawanya kabur berjalan di depan terlebih dahulu.

"Sagara sialan" Umpat Eza setengah berbisik. Geram.

******

Tidak ada pilihan lain, akhirnya Eza harus pulang bersama pemuda sialan ini, kopernya sudah terlanjur masuk ke dalam bagasi dengan sang pemilik mobil yang menatap dengan menaikan sebelah alisnya. Mengejek.

Sekali lagi, "Sagara sialan, bajingan, biadab" disuarakan di batin Eza. Tanpa kata lagi, ia menaiki Pajero Sport Dakar Ultimate Sagara.

Dalam perjalanan menuju rumah Eza, mereka hanya di lingkupi keheningan. Padahal isi kepala dan hati mereka amat berisik, tidak Eza maupun Saga yang sama-sama menutupi gengsi dan berlomba agar ego masing-masing tidak terluka.

Eza, yang kerap dipanggil 'Eja atau Nindi' oleh orang-orang terdekatnya kecuali laki-laki di sebelahnya itu karena Saga paten memanggilnya 'Eza' atau paling mentok 'Nindya'. Memiliki darah campuran Belanda-Jawa, 3 tahun sebelum ke Negri Kincir Angin ia masih memiliki kulit sawo matang, rambut lurus panjang, juga tubuh yang bersih.

Ya, tubuh yang bersih dalam artian tidak ternoda oleh tatto. Bukan seperti sekarang. Kulitnya kini putih bersih, tampak dari sedikit bahu dan lehernya yang terekspos dari kemeja berkerahnya, rambutnya lurus sebahu dengan cat warna ungu kemerah-merahan.

Sebenarnya, apapun perubahan yang melekat pada Nindya Eza, di mata Sagara tetaplah Nindya Eza yang tidak berubah. Ia tetap gadis pemarah, pemilik mimik wajah antagonis, tukang ngeluh, penggila buku-buku fiksi dan tentunya, dia masih Nindya Eza yang mencintai Sagara.

Eza memalingkan wajahnya keluar jendela, menelisik tiap sudut kota Istimewa yang lama ia tinggalkan. Jalanan kota ini, teramat meninggalkan banyak kenangan sekaligus luka yang terasa masih baru bagi Eza. Apakah 3 tahun tidak cukup untuk pulih? Apakah 3 tahun tidak cukup untuk membuat Eza kembali Utuh?

Jawabanya, tidak.

Entah karena isi kota ini yang tidak banyak berubah, atau isi hati dan kepalanya yang bahkan 'tidak pernah berubah.'

Bersambung...

Kita | Sagara PanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang