0.2 Sagara Pandu

6 7 0
                                    

Pandangan Eza Terhadap Sagara Pandu masih sama, candu. Laki-laki bertubuh jangkung yang sedikit lebih tinggi darinya, mempunyai wajah datar sedatar es balok, dengan sikap dan sifatnya yang tidak bisa Eza ejakan satu persatu.

Karena terlihat semembosankan apapun Sagar Pandu, bagi Eza Saga adalah candu yang tidak bisa ia lewati begitu saja. Melebihi buku-buku fiksi yang selama ini ia jelajahi, tidak ada yang bisa membuat semelambung tinggi itu.

Makanan seenak apapun yang pernah ia cicipi seumur hidupnya, tetap Sagara Pandu adalah yang paling nikmat untuk dicintai.

Seindah apapun pemandangan yang pernah memanjakan matanya, tetap bingkai wajah datar Sagara Pandu yang mampu menjadi hipnotis bagi Eza sejauh ini.

Seperti sekarang, ia terus-terusan mengutuk Saga selepas penjemputan 2 hari yang lalu di bandara itu. Entah apa  yang ada di otak laki-laki itu.

Pasalnya, sebelum ia meninggalkan pekarangan rumahnya, ia menceramahi Eza terlebih dahulu.

"Kamu jangan keluyuran kemana-mana Za, aku enggak bakal izinin kamu keluar rumah sampai lusa. Masuk, mandi, makan tidur. Istirahat. Aku juga udah bilang sama mama kamu buat awasin ka—"

"Kamu kenapa sih Ga? Ini urusan aku. Mau aku langsung keliling Jogja tiga hari tiga malem juga urusan aku. Sibuk banget sih, lagian kalau aku langsung tidur, siapa yang ber—"

Eza bungkam hanya dengan tatapan tajam bak elang dari Sagara. Laki-laki itu masih sangat moodyan ternyata.

"Urusan barang-barang kamu nanti ada yang ngurus. Tolong jangan ngebangkang kalau diomongin.Tante Ningsih sebentar lagi mungkin sampe sini. Aku pamit."

Sagara berlalu tanpa mengucapkan apapun lagi selain wangi parfumnya yang tertinggal. Eza hanya terdiam di tempat. Memandangi Pajero Sport milik Saga yang semakin menjauh.

Jika kalian pikir Nindya Eza akan pulang ke rumah orang tuanya, jawabnya tidak.

Nindya Eza dengan Mama Ningsih tidak sedekat itu. Hanya sebatas Ibu dan anak. Ia bukan gadis yang sepulang dari bandara akan merengek manja dan tidak berhenti memeluk mamanya. Big no!

Silsilah keluarga Eza merupakan bukan topik yang menarik untuk dibahas.
Mama dan Ayahnya cerai sejak ia kelas 2 SMP. Bukan karena kurangnya nafkah, perselingkuhan, ataupun orang ketiga. Semua karena ketidakcocokan masing-masing.

Ga cocok tapi gue sampe brojol!

Ayahnya dan Mamanya sama-sama orang karir. Bertemu untuk 3 hari sekali saja jarang, jangankan setiap hari. Akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai dengan cara baik-baik.

Sebaik cara apapun, perpisahan tetap tidak ada yang terbaik.

Parahnya, Eza adalah anak tunggal. Sebagian hidupnya diisi kosong, hampa dan kesepian. Miris sekali.

Itu sebelum Sagara Pandu datang dan menyelamatkan hidupnya, mengisi hidupnya dengan keberadaanya, menemani Eza menggantikan semu selama itu.

Sagara Pandu harus terjebak dengan gadis kesepian, berawal dari paket online yang kesasar, paket buku fiksi 1 kerdus Indomie penuh yang mampir ke rumahnya dan jaket levis navy yang sampai ke rumah Eza adalah awal pertemuan keduanya, hingga akhirnya Saga menemui Eza lewat alamat yang tertera di kardus paket tersebut.

Eza tidak tahu, bahwa ketidaksengajaan itu sampai sejauh ini, sampai akhirnya ketika Eza memutuskan untuk jatuh cinta terlebih dahulu kepada Sagara Pandu dengan hampir setiap hari melewati rumah Saga yang hanya terpisah beberapa blok saja.

Itu rumah mama Ningsih dulu, sebelum Eza memutuskan pisah rumah dengan dalih 'Biar deket sama kampus.'

Padahal hanya akal-akalanya saja, kesepianya biar tidak tanggung-tanggung, toh di rumah mama ataupun di rumah sekarang ini, rasanya sama saja.

Jaket navy yang kesasar dahulu, sekarang bahkan menggantung di depan kaca lemarinya. Wanginya tidak pernah berubah, bahkan di Belanda pun Eza tetap membawa jaket itu kemana-mana. Ya, setelah beberapa lama mereka dekat yang entah dengan proses macam apa, malam festival itu, akhirnya Saga memberikan Jaket kesasar itu untuk Eza.

Pandanganya ketika menatap awan-awan putih menggumpal itu, seketika buram. Air matanya luruh lagi.

Sambil memeluk kakinya sendiri, Eza menangis sore itu. Sendirian di balkon ruumahnya.  Seperti biasa. Ia sadar, sejauh apapun raganya pergi menjauhi Saga, namun hatinya sekuat itu menjadikan Sagara sebagai tuan rumahnya.

Eza bisa pergi kemanapun, sejauh apapun. Namun, tempat pulangnya adalah Sagara Pandu. Ia menyadari bahwa ia benar-benar begitu mencintai Saga, ia menyadari bahwa sekali ia mencintai Saga, maka hatinya akan tetap pulang ke pemiliknya.

Ia kini baru sadar, bahwa selama ini ia hanya merindukan dirinya sendiri, juga Sagara.

******

2 hari sejak kepulangan Eza, kini rumah minimalisnya sedang ada tamu.

Ya, ayahnya sendiri.

Jovan Maraco, kisaran pukul tiga sore pria bertubuh bongsor juga memiliki wajah kebule-bulean khas Belanda itu yang menurun kepada sang anak gadis, tiba-tiba tanpa kabar datang ke rumahnya.

"Ayah tumbenan jenguk Eza. Baru inget ya kalo punya anak?" Sindir Eza sambil menikmati cookies cokelat buatan tanganya sendiri. Ya tidak buruk-buruk amat. Hanya sedikit gosong.

Jovan hanya mencebik mendengar sindiran sang anak, kemudian ia mendorong pelan paper bag yang ia tenteng-tenteng sejak turun dari Tesla nya "Kamu kan 3 tahun nggak mau dikabarin disiapapun, ayah taunya kamu udah pulang, jadi udah kelar ngambeknya." Jawabnya balik menyindir.

Eza memutar bola matanya jengah. Tau tabiat sang Ayah, Ayahnya kapan si mau kalah.

Eza hanya melirik isi buah tangan sang Ayah yang kemungkinan kalau tidak jam tangan keluaran terbaru ya sepatu.

Ia mendlosor malas sambil menggigiti cookiesnya lagi.

Eza dan keluarganya memang tidak sedamai apalagi seharmonis keluarga orang lain di luar sana, tetapi ia akui bahwa ia mempunyai sang Ayah yang peduli walaupun tidak akrab. Alih-alih dekat dengan Mamanya, Eza lebih melekat pada sang Ayah. Buktinya, sudah hampir 3 hari ia pulang setelah 3 tahun tidak bertemu, Mamanya belum juga menunjukan diri untuk menemuinya.

Cih.

Apa Mamanya benar-benar lupa kalau ia punya anak?

"Aku kangen Saga, makanya pulang. Cuma masih ngambek aja. Memangnya siapa yang peduli sama aku selain Saga. Kan nggak ada" Jawab gadis itu santai sambil membersihkan gaun tidur putihnya yang tercecer remahan cookies.

Eza menjawab asal-asal saja, ia malas jika harus mendebat Ayahnya yang super anti kalah. Lihat kan sekarang sifat jeleknya itu menurun pada siapa?

Jovan mengerti betul, namun keadaan tidak bisa diubah. Putrinya terlanjur menganggap semua orang di sekitarnya hanya figuran, dirinya dan Sagara lah yang menjadi pemeran utama.

Hanya Nindya Eza dan Sagara Pandu.



Bersambung...

Kita | Sagara PanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang