0.3 Nindya Eza

4 5 0
                                    

Sagara dengan kemeja santai dan celana pendeknya, berjalan menyusuri blok-blok rumah mewah dengan berbagai desain dan ukuran. Tangan kananya menenteng paper bag berlogo orang tua berkacamata dengan warna merah.

Blok Merpati 3 memang sehening ini. Jarang ada keramaian, bahkan hampir setengah kilo dari jalan besar. Cocok untuk penghuni yang tidak suka kebisingan seperti Eza. Namun di tiap sisi jalanya, ada berbagai macam tanaman hias dengan semak yang jelas sekali sangat di rawat yang menggambarkan bahwa tempat di sini sangat asri.

Daerah ini memang di pilihkan sendiri oleh Jovan, ayah Eza sendiri saat sang putri meminta rumah, tentu dengan harga yang tidak murah, mungkin hampir menghabiskan setengah triliyun.

Ya, walaupun seminimalis rumah yang ada di depan Sagara sekarang ini. Namun Jovan Maraco bukan seorang ayah yang pelit cuan, apalagi untuk putri semata wayangnya. Walaupun minimalis, tiap inci rumah Eza hampir diisi dengan furnitur yang tidak kaleng-kaleng, mungkin satu vas bunga ukuran kecil bisa mencapai belasan hingga puluhan juta.

Beberapa langkah sebelum mencapai gerbang, Saga berhenti menatap sang pemilik rumah yang sedang menyirami tanaman yang tumbuh subur yang beberapa bulan lalu ditanami oleh dirinya. Eza mungkin meninggalkan cangkangnya, tetapi Sagara tidak pernah ikut acuh meninggalkan Nindya Eza, sebab Sagara tahu bahwa Eza mau tidak mau akan kembali ke cangkangnya, ke rumahnya sejauh apapun ia pergi.

Krisan, kamboja, dan berbagai tanaman rambat lainya tumbuh subur apalagi setelah dirawat oleh pak Mahmud, tukang kebun blok Merpati. Bahkan kini beberapa tanaman itu sudah telihat ada yang berbunga.

Sagara membuka gerbang yang tidak di kunci, ia berjalan santai sambil memasukan tanganya ke dalam saku celana kiri. Menghampiri kekasihnya.

Eza terkesiap kala mendapati Sagara sudah beberapa meter di belakangnya. Ia melempar selang yang masih mengalirkan air dengan sembarangan.

"Kenapa kesini nggak ngabarin dulu?" Dahi Eza berkerut.

Sagara hanya tersenyum tipis "Sejak kamu ke Belanda, kita enggak pernah kontekan. Kamu lupa kalau kamu enggak pernah ngabarin aku, jadi artinya kita nggak saling tuker nomor ponsel"

Alis Eza terangkat seketika, memalingkan wajah. Ia mendengus. Kemudian berlalu meninggalkan Saga ke putaran selang untuk mematikan air.

Sagara duduk di sofa teras sambil menaruh bawaanya.

"Kamu kalau mau makan, ke dapur aja aku udah masak beef. Aku mau mandi" Eza meninggalkan Sagara sendirian di teras rumah.

Sagara jelas mengetahui gadis itu belum mandi, terlihat dari gaun tidur yang melekat di tubuhnya. Kebiasaan buruknya belum juga hilang, padahal Saga subuh-subuh sudah rapi wangi.

Akhirnya Sagara menyiapkan hidangan di meja makan, beserta fried chiken yang tadi dibelinya. Ia benar-benar jengkel sekarang, pasalnya ketika ia melirik jam di atas frizer, sudah menunjukan pukul 09.47 pagi.

Hell! Itu sudah hampir memasuki jam makan siang dan Eza pasti belum menelan apapun sedari pagi. Bagaimana Saga tahu? Beef di wajan nya masih utuh beserta sutil yang melekat.

Sembari menunggu gadis itu turun, Sagara memijit pangkal hidungnya. Sudah di duga, bahwa gadis itu pasti lebih berantakan hidupnya setelah jauh dari Sagara. Eza hanya gadis serampangan yang akan makin tersesat jika terlalu lama di biarkan sendirian.
Ia bahkan tidak tahu lagi sudah se-kronis apa maag gadis itu selama ini, apalagi dengan kondisi nafsu makanya yang rendah.

Kesal. Saga akhirnya menyusul naik karena gadis itu tak kunjung turun padahal sudah hampir setengah jam ia menunggu di dapur.

Apa memang selama itu jika para gadis mandi!?

Saat tanganya hampir meraih handle pintu, sosok dari dalam sudah membukanya terlebih dahulu.

Eza menatap bingung Saga yang berdiri menyorotnya dengan tatapan paling dinginya. Gadis itu tahu, bahwa Saga sedang kesal. "Ngapain nyusul? Enggak sabaran banget." Ucapnya kesal.

Sagara tidak sengaja melirik isi kamar gadis itu, kekesalnya semakin memuncak kala ia melihat hampir sepuluh kaleng soda dan sisa bungkus camilan. Parahnya, mungkin itu sisa bawaan dari Belanda. Sudah berapa hari gadis ini tidak mengkonsumsi karbohidrat!?

"Kamu minum soda?" Sagara jelas menahan diri agar tidak meledak saat itu juga.

"Kamu tahu kan Nindya, tiga tahun lalu terakhir kita periksa maag kamu separah apa, dan sekarang kamu berani minum soda?" lanjut pemuda itu dengan nada putus asa.

Eza hanya memalingkan pandanganya, kemana pun asal tidak menatap mata yang di selimuti kilatan murka itu.

"Aku cape waktu pulang dari bandara jadi aku makan sisa yang ada aja." Lirih gadis itu.

"Ayah kamu bangkrut sampai kamu enggak bisa pesen makanan online? atau Mama kamu udah enggak sanggup ngasih makan kamu sehari tiga kali? Atau jangan-jangan otak kamu yang udah nggak berfungsi?" Geram Saga.

"Kenapa si, lagian aku sekarang baik-baik aja. Jangan berlebihan, ini juga aku mau makan kok!"

"AKU YANG NGGAK BAIK-BAIK AJA, NINDYA!"

Eza terkesiap kala Saga memekik di depan wajahnya dengan ekspresi putus asa.

"Aku tahu kamu cuma cewek yang buta arah tanpa aku, aku tahu kamu cuma jadi cewek yang nggak berguna setidaknya buat diri sendiri tanpa aku, tapi kenapa kamu nekat ninggalin rumah kamu sendiri, Nindya. Lihat? Apa keuntungan kamu ninggalin aku? Kamu boleh marah sama aku tentang diri kamu yang nggak berguna, kamu boleh kecewa sama aku tentang seburuk keadaan yang berpihak sama kamu. Tapi kamu harus tetep inget Nindya, kalau aku tetep bisa jadi tempat kamu pulang! Aku tetep bisa kamu manfaatin, kamu enggak berguna kalau nggak sama aku!"

Eza jelas tahu, Eza tahu bahwa dirinya hanya sengok gadis yang sama sekali tidak berguna— seperti apa yang dikatakan Saga barusan, berguna untuk dirinya sendiri saja ia tidak bisa.

Ia mengerti, bahwa selama ini ia tanpa Sagara bukan apa-apa. Sebelum hidupnya di renggut banyak kesakitan juga kecewa yang menyatu dengan darahnya, mungkin ia bisa lebih kokoh untuk menopang dirinya sendiri, setidaknya.

Namun, ternyata tiga tahun memilih untuk pergi dari Sagara tetap tidak membuahkan apapun, ia tetap menjadi Nindya Eza yang sendirian, tidak berguna, berantakan, dan bukan siapa-siapa.

Sagara mendengus sambil terkekeh pelan. Ia menyadari tubuh gadis di depanya sudah gemetar bahkan hampir menangis. Ia tidak peduli. Asal Eza tahu, ia pun putus asa terhadap keadaan.

"See? Sudah seberubah apa kamu sekarang setelah tiga tahun nekat ninggalin aku yang kamu pikir cuma kamu yang nggak baik-baik aja." Ucap Sagara sambil terkekeh.

"Aku tahu aku nggak berguna setidaknya buat diriku sendiri, aku tahu aku bukan siapa-siapa. Tapi setiap aku liat kamu harus milih cewek nggak berguna kayak aku, aku sakit Sagara. Kamu bisa milih banyak cewek yang sama-sama berguna, tapi kenapa kamu milih aku?." Eza berkata lirih, air mata yang sedari tadi ditampung, kini tumpah ruah. Isakanya tidak lagi ia tahan. Ia muak.

Eza mendongak, menatap manik legam pemuda di depanya yang juga berair "Aku pikir, dengan ninggalin kamu, aku bisa bikin kamu lebih leluasa buat kamu bahagia, Ga. Karena aku tahu, aku benalu buat kamu."

Setelahnya, keduanya tidak mengatakan apa-apa lagi, memilih hening menengahi keduanya.

Tanpa sadar, air mata Sagara meluruh begitu saja. Hatinya terluka. Ia maju, mendekap gadis itu yang tengah terisak, mengecup puncak kepalanya dengan penuh perasaan. Menyalurkan perasaan satu sama lain setelah sekian lama keduanya membiarkan masing-masing dirinya terluka.

Eza semakin terisak hebat di dekapan pemuda itu, kapan terakhir kali ia menempatkan diri di dada pemuda ini? Ia lupa. Lama sekali. Ia benar-benar merindukan pemuda ini.

Eza membalas pelukan Sagara, menangis semakin keras di sana, akhirnya ia pulang, akhirnya ia melepas semuanya, akhirnya ia mengerti bahwa seharusnya ia tidak perlu mencari tempat baru, karena kini ia tahu bahwa semesta tidak mengizinkan ia mempunyai tempat pulang lebih dari satu.




Bersambung...

Kita | Sagara PanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang