59|Aliansi Baru

378 48 11
                                    

Bima Wissesa berdiri dengan raut kaku sementara tim dokter sedang melakukan pemeriksaan. Sejujurnya dirinya begitu gelisah apalagi melihat putranya sendiri tampak begitu kesakitan di depan matanya. Tidak terbayangkan bagaimana dirinya bisa menangani Arjuna yang mengalami sesak napas dan hampir kejang akibat perdebatan dengannya.

Memang dasar keras kepala! Persis seperti dirinya. Atau memang... Kirana benar karena menatap Arjuna selalu membuatnya merasa bercermin atas dirinya sendiri. Sebelum berteriak dan mengancam para tim medis, dirinya sudah lebih dulu mengabari Kirana dan istrinya tersebut mungkin saja sedang terjebak perjalanan karena belum juga tiba.

"Pak Bima,"

Bima yang berdiri kaku dengan kedua tangan bersedekap segera mengalihkan atensi. Hanya dari ekspresinya saja seharusnya dokter tersebut tahu kalau seorang Bima Wissesa hanya akan menerima sebuah berita baik. "Bagaimana keadaannya?"

"Hanya serangan shock biasa, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tekanan darahnya juga sudah kembali turun dan kita hanya menunggunya kembali siuman."

Lega sekali Bima mendengarnya. Tidak bisa dirinya bayangkan kalau sampai sesuatu yang buruk terjadi pada putranya.

"Saya sudah memberikan obat agar pasien kembali beristirahat. Saya harap orang-orang disekitar pasien bisa lebih tenang dan mengusahakan situasi kondisi yang tenang juga untuk pasien. Saat ini emosinya masih belum sepenuhnya stabil. Sedikit pemicu saja bisa membuat pasien mengalami serangan sesak napas dan kejang."

Meski dikatakan dengan gerakan tubuh yang tegang, Bima yang menyadari sikap defensifnya memicu ketegangan tersebut segera melemaskan bahu. Saat ini Arjuna baik-baik saja dan itu saja sudah cukup.

Bima mengibaskan sebelah tangan dan dokter beserta timnya segera bergegas meninggalkan ruangan. Bima bergerak mendekat untuk memastikan sendiri keadaan putranya. Arjuna tampak lelap meski kini harus kembali mengenakan alat bantu pernapasan berupa masker oksigen.

Suara pintu dibuka membuat Bima mengalihkan fokus. Sebuah kursi roda yang begitu dikenalinya tampak berusaha memasuki ruangan hingga membuat Bima bergegas membantunya.

Florencia Wissesa tersenyum manis dan membiarkan Bima membantu untuk mendorong kursi rodanya masuk. "Aku lihat Dokter keluar tadi. Apa terjadi sesuatu pada keponakanku?"

Bima tidak langsung menjawab dan membiarkan Flo melihat sendiri dari dekat Arjuna yang masih lelap. "Gantengnya keponakanku..."

Bima berdehm pelan, "kamu datang sendiri? Dimana Kirana?"

"Oh! Kirana bilang akan menyusul nanti. Dia bilang masih ada urusan."

Kening Bima mengerut sempurna. Urusan? Memangnya hal apa yang lebih penting dari kondisi Arjuna saat ini?
Insting Bima langsung bekerja dan rasa-rasanya masuk akal kalau istri kesayangannya itu sedang merencanakan sesutu.

Apapun itu Bima tidak senang karena saat Kirana sendiri yang berdiri dihadapannya maka bisa dipastikan Bima akan kalah tanpa bisa melakukan perlawanan apapun. "Sebentar—"

"Jangan telepon." Flo mengedikan bahu dengan acuh. "Kirana bilang nggak mau ditelepon Abang."

Sudah diperingatkan tapi bukan Bima namanya kalau begitu saja sudah urung. "Tolong jaga Arjuna sebentar."

"Abang," Flo kembali menatap sang kakak dengan serius. "Serius deh, tadi Kirana bilang nggak boleh telepon dan nggak perlu minta orang buat lacak keberadaannya. Lagipula Kirana pergi sama supir jadi Abang nggak ada alasan apapun untuk khawatir."

Memang. Supir yang ditugaskannya saat ini untuk selalu mengantar Kirana adalah salah satu dari grde A yang tidak mudah dikalahkan. Baik secara ilmu bela diri maupun kecerdasan. Seharusnya Bima bisa tenang sekarang, tapi instingnya tidak bisa dibohongi. Istrinya sedang merencanakan sesuatu dan Bima yakin itu untuk melawannya.

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang