Bab 2: Gadis bermata bulan sabit.

514 46 8
                                    

"Kata Mami di kos-kosan kita bakal ada penghuni baru." Anarghya menyeruput es tehnya sampai habis di sela-sela pembicaraannya. Dia menyenderkan punggungnya di tembok rumah Digdaya yang bercat kuning gading.

"Seriusan? Cewek atau cowok?" tanya Habin. Sebiji bakso bakar ia jejalkan ke mulutnya yang masih penuh. Tak lupa es tehnya ia sedot sedikit.

"Bilangnya sih cewek. Dia bakal nempatin kamar kosong di sebelah kamar Hanu ama Are."

"Awas nanti ternyata boti kayak orang di sebelah gue nih." Ajey melempar kulit kacang pada Digdaya di sampingnya yang tengah memainkan Playstation bersama Hanura.

"Jangan ngotorin rumah gue!" sungut Digdaya tetap memfokuskan diri pada layar monitor alih-alih memberi Ajey tatapan membunuh.

Hanura memutar bola matanya malas. Sejenak ia lupa bahwa kericuhan yang biasanya terjadi bukan hanya disebabkan Magani, namun juga teman-temannya. Bahkan ketidakhadiran Are dan Magani tidak mengurangi kebisingan yang mereka buat.

Kepergian Magani dan Haren yang ingin membeli cat akrilik menyebabkan Hanura menjadi menyibukkan dirinya dengan menyelesaikan pekerjaan rumah di kamar sendirian. Sampai ketika kegiatannya terganggu oleh Habin yang mendadak mengajaknya pergi ke rumah Digdaya.

Hanura tidak mengabari Mitra lebih dulu karena ibunya sedang mengantar Alung berkonsultasi ke dokter Renja dan tentunya sekalian membawa Girilya bersamanya. Anggap saja adik perempuan Maja itu sudah dianggap sebagai keluarga hingga tak mungkin membiarkan dia seorang diri.

Kemungkinan Haren dan Magani pun akan mencari-cari keberadaannya sesudah mengetahui bahwa ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

"Tumben nggak ada kembaran lo, Da? Biasanya dia paling sensi kalo kita ada di sini." Hanura menerka-nerka setiap pojok ruangan barangkali menjumpai cewek galak yang pernah memukulnya dengan buku paket setebal 4 cm di sekolah.

Dua anak kembar Mpok Anur yang berlainan sifat itu cukup memenuhi hari-hari Hanura di sekolah. Sahabatnya Digdaya yang selalu menemani dirinya suka maupun duka. Serta Dignaya, cewek tersebut malah menjadi saingannya soal peringkat ataupun nilai.

"Ada di kamar. Paling lagi ngeliat dramanya Isal," jawab Digdaya asal.

"Bisa-bisanya dia suka ama Isal, padahal ada cowok seganteng gue?"

Anarghya melakukan gestur seperti ingin muntah kala mendengar kalimat yang Ajey lontarkan.

"Hanu sialan, gue kalah!" Digdaya menjambak rambutnya frustasi.

"Lo nggak pinter mainnya. Sini gue yang main." Ajey merebut stick PS dari tangan Digdaya. Belum sempat Ajey menekan tombol start, dirinya langsung mendapat serangan berupa tarikan di rambutnya secara tiba-tiba. Ajey mencekal tangan Digdaya yang mencengkram kuat rambutnya sampai rasanya seluruh rambutnya hampir rontok. "Akh! Sakit woy! Lo lagi ngapain anjir?!"

"Lagi ngasih hair care biar lo nggak jadi orang narsistik dan suka ngejulid."

Tuk!

"Dada nggak boleh berantem," tegur sosok pria paruh baya yang barusan menyentil kening Digdaya.

"Eh, Bapak. Darimana, Pak?" Digdaya tersenyum kikuk, ia melepas jeratan jarinya di rambut Ajey saat memperoleh jentikan di dahinya dari Pak Danang. Membiarkan Ajey bernafas lega lagi.

"Bapak abis ke Trisur Sop. Bapak beli tas buat kamu. Bapak keinget kamu sering kesel tiap kali mau buka tas kamu yang resletingnya macet itu." Pak Danang menyerahkan sebuah tas warna biru tua polos yang ia beli di Treasure Shop.

"Tasnya bagus, Pak." Digdaya tersenyum hingga menampilkan rentetan giginya. Ia membolak-balikkan tasnya tanpa henti dengan manik yang berbinar.

"Ada satu lagi yang mau Bapak tunjukin." Pak Danang merogoh sakunya, mengeluarkan secarik kertas yang telah ia lipat menjadi kecil. Dia menyerahkan selembar poster lecek yang ia kelupas dari pintu masuk Treasure Shop untuk ditunjukkan pada putranya.

4 Kebanggaan BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang