Perkemahan Penerimaan Tamu Ambalan merupakan satu diantara sekian banyak kegiatan yang paling aku nantikan di bangku SMA. Hidup di tengah keluarga strich parents membuat ruang gerakku menjadi terbatas. Aku sulit mendapatkan izin sekadar jalan-jalan ke mall, menonton bioskop, atau mengakhiri akhir pekan dengan pesta piyama bersama teman-teman.
Namun, lain cerita jika kegiatan tersebut merupakan kegiatan wajib dari sekolah. Salah satunya adalah Perkemahan Penerimaan Tamu Ambalan. Tentu saja orangtuaku langsung menyetujui dengan mudah walaupun kegiatannya berlangsung di luar kota.
Maka, inilah saatnya aku bisa bebas di luar jangkauan mereka. Haha-hihi bersama teman-teman. Seru-seruan tanpa khawatir ditelpon cepat pulang. Di salah satu tempat perkemahan yang lokasinya berada di dalam hutan jauh dari ibukota.
Awalnya, semua berjalan normal. Kami berangkat menggunakan bis pukul tujuh pagi, tiba di lokasi tujuan sekitar pukul sembilan, mengadakan upacara pembukaan, memasang tenda tiap kelompok ambalan yang terdiri dari 10 orang, dan break selama dua jam untuk ISHOMA.
Aku masih bisa bersenang-senang dengan teman kelompokku. Bahkan, kami sempat mengambil swafoto dengan latar hutan menggunakan kamera polaroid-ku.
"Thiffa, liat fotonya, dong," sahut Amelia seraya mengambil hasil jepretan foto di tanganku.
Ia menggoyang foto itu sejenak. Begitu foto terpampang dengan jelas, seketika aku menyadari satu hal ganjil. Sebuah tangan pucat pasi tersampir di sebelah kanan bahu Ella.
Benakku sontak dihantui tanda tanya.
Tangan siapa itu?
Jelas bukan tangan Virda karena pertama, Virda berada di sebelah kiri Ella. Sisi kanan Ella saat swafoto tidak diisi oleh siapapun. Kosong.
Kedua, kalaupun benar tangan Virda, Virda memakai gelang dan tangannya tentu tidak pucat pasi begitu.
Ketiga, kenapa Ella tidak berteriak ketika menyadari ada orang asing yang tiba-tiba menyampirkan tangan di bahunya ketika berfoto?
Belum satu hari berada di sini, logikaku dibuat berantakan.
•••
Kejadian tadi siang sedikit demi sedikit mulai terkikis seiring dengan serangkaian kegiatan seru yang kami lewati. Puncak dari acara perkemahan ini, tentu saja api unggun, berjalan meriah dengan penampilan setiap kelompok ambalan. Tidak ada kejadian aneh. Kami semua bersenang-senang menikmati acara api unggun yang paling dinanti.
Namun, segala antusias dan sorak-sorai bahagia itu tak bertahan lama ketika acara api unggun berakhir dan seluruh peserta diharuskan kembali ke tenda masing-masing untuk istirahat. Barulah saat itu aku menyadari suasana yang tak biasa. Bulu kudukku meremang, membuatku ingin segera meringkuk di dalam tenda bersama sembilan temanku yang lain. Akan tetapi, tanggungjawab sebagai ketua kelompok mewajibkanku untuk mengabsen seluruh anggota kelompok terlebih dahulu sebagai antisipasi bila ada anggota yang kurang.
Teman-temanku tampaknya sudah tertidur pulas karena beraktivitas seharian penuh. Aku mulai menghitung jumlah mereka dalam hati. Sebelas orang.
Eh.
Sebelas?
Aku mengucek mata. Menepuk-nepuk pipi perlahan. Mungkin, aku salah hitung. Efek mengantuk.
"Satu, dua, tiga, empat." Aku menghitung ulang anggota kelompok yang sedang tertidur dalam tenda menggunakan jari.
"Sembilan, sepuluh, sebelas."
Lagi-lagi, jumlahnya sebelas.
Tidak.
Tidak mungkin, anggota kelompokku hanya 10 sudah termasuk aku. Kenapa bisa lebih?
"Kok bisa kelebihan satu, ya. Apa aku lupa jumlahnya? Ah, nggak mungkin," gumamku, heran.
Kali ini, aku mengecek anggota kelompokku dengan menyebutkan nama mereka satu persatu. Dimulai dari aku sendiri. Thiffa. "Virda, Septi, Fina, Sasha, Amelia, Niluh, Bertha, Ella, Lalita...."
Ucapanku seketika terhenti ketika menyadari terdapat sosok asing yang sedang meringkuk membelakangiku persis di samping Lalita.
Batinku bertanya-tanya. Dia siapa? Kenapa bisa ada di dalam tenda kami?
Seakan tersadar oleh satu kemungkinan mengerikan, bulu kudukku sontak meremang. Jantungku berpacu di luar batas normal. Mulutku terkunci rapat. Badanku lemas terperangkap ketakutan luar biasa.
Tiba-tiba, punggung yang membelakangiku itu bergetar diiringi isak tangis memilukan. Aku ingin menjerit sekuat tenaga, tetapi nyatanya bibirku teramat sulit digerakkan. Aku hanya bisa membeku di tempat.
Tangis memilukan itu dalam seperkian detik berganti menjadi tawa nyaring. Sosok tersebut sontak memutar kepalanya 360 derajat. Dua mata nyalang dengan raut wajah pucat pasi berlumuran darah menghunus manik mataku.
Bibirnya yang pecah-pecah dan sobek berkata, "Boleh aku gabung kelompok kalian?"
TAMAT
a/n
Ini adalah cerita pertamaku dengan genre horor :') semoga sukaa dan feel-nya sampe yaa. Kritik, saran, dan masukan sangat diterimaa. First time nulis genre horor, not bad lah ya wkwkwk. Kalo menurut kalian ada yang perlu diperbaiki?
Love,
Fean
KAMU SEDANG MEMBACA
Tragedi Satu Malam di Perkemahan [1/1]
Short StoryMenjadi ketua kelompok membuat Thiffa memunyai tanggungjawab tambahan untuk mengabsen seluruh anggotanya sebelum tidur demi memastikan jumlahnya sama dari awal keberangkatan. Di sinilah hal ganjil mulai terjadi. -- @lovabies Januari, 2022