Nala sedang sibuk mengerjakan tugasnya di rumah. Namun pikirannya tiba-tiba seketika jalan terus ke arah Jessi sahabatnya. Seperti ada yang tengah mengganjalnya. Dan itu sangat memberatkan pikirannya saat itu. Terlebih ia harus mengerjakan tugas dari dosen pembimbing yang kadang sangat galak itu. Harus tepat waktu ia selesaikan. Di sisi lain sepertinya ia merasa ada keganjilan didiri sahabatnya itu.
Seperti belakangan ini sudah dua hari chat dari Jessi sama sekali tidak ada di ponselnya. Di kampus juga sudah dua hari itupun ia tak melihat Jessi sama sekali. Dan bodohnya kenapa Nala tidak menanyakan lanngsung? Itu juga menjadi pertanyaan buat Nala. Karena keganjilan yang sedang Nala rasakan membuat semuanya hambar. Persahabatan mereka seperti terbengkalai dua hari belakangan ini. Meski hanya dua hari, itu amat terasa sekali buat Nala. Yang biasanya Jessi sangat cerewet, ini sama sekali tidak. Ada apa gerangan? Tanya Nala.
Nala sejak terakhir bertemu dengan Jessi sudah memblokir nomor Rio, mau tidak mau harus ia lakukan. Agar Rio tidak terus megganggunya. Supaya juga tidak membuat Jessi mengetahui bahwa cowok yang ia puja-puja itu sebenarnya brengsek, dalam arti kata dia itu cowok baik, tetapi tidak bisa bagaimana caranya menghargai hati seorang perempuan. Dengan menyukai sahabat pacarnya itu sama saja ia tidak menghargai perasaan perempuan kan? Mana memaksa Nala untuk menjadi pacarnya. Apa itu bukannya ia tidak punya perasaan dengan Jessi yang kalau sampai Jessi mengetahuinya, pasti itu amat sangat menyakitkan.
Seketika handphone Nala berdering. Jessi! Iya, nama Jessi tertera di situ. Tentu saja Nala langsung mengangkatnya kilat.
“Jes?” sapa Nala lebih dulu.
Namun di sana hening. Hanya napas Jessi yang sayup Nala dengar, langsung berubah terdengarlah sesengrukan tangis Jessi yang nyata Nala mengetahuinya.
“Jessi, sudah jangan nangis terus,” hibur Nala, agar Jessi tidak terus menangis. Sebegitu pengaruhnya seorang Rio, hingga membuat Jessi sampai seperti ini?
“Bagaimana kalau aku selesaikan tugasku hingga rampung, dan kita bisa bertemu hari ini, bagaimana?” sahut Nala.
Jawaban Jessi belum terdengar.
Dan…. Tut ... tut … telepon terputus.
Nala semakin bingung, kenapa Jessi tidak berkata apa-apa? Ia hanya diam, kemudian menangis, kemudian menutup teleponnya. Ya ampun. Nala mengacak-acak rambutnya. Pusing dengan semua ini, ia hanya khawatir tugasnya tidak selesai memikirkan hal ini. Tentu saja bukannya ia akan membiarkan masalah ini menghinggapi Jessi, tetapi masalah ini kan masalah sahabatnya dan apalagi sebenarnya menyangkut dirinya sendiri juga. Serta merta ia harus menangani hingga tuntas. Jessi juga sangat terpukul dengan Rio yang tega menyakitinya itu.
Ting nong… bunyi bel rumah Nala terdengar hingga sampai ke kamarnya paling atas. Nala segera turun untuk menengok siapa yang memencet tombol bel rumahnya. Nala menuruni anak tangga sedikit cepat. Nala tersenyum kecil, melihat dari horden, nampak olehnya gadis cantik itu berdiri tenang dengan rambut panjang halusnya yang tersisir rapi dihiasi bandana warna abu-abu polos. Di tangannya tengah memegang ponsel. Wajahnya yang tampak mulus terawat, memandang daun pintu menunggu untuk segera dibukakan. Nala segera membukanya.
“Jessi,” tegur Nala. Jessi menengok kilat dan tersenyum manis sekali. Senyum yang bukan sebenarnya.
“Sini masuk ke dalam, masa di luar saja. Kayak tamu,” celoteh Nala. Masih tanpa berbicara Jessi masuk saja ke dalam. Aroma keharuman dari tubuhnya menyebar ke seluruh ruangan, wangi yang sangat mahal. Berasal dari parfum mahal.
Nala dan Jessi bersamaan duduk di sofa ruang tamu. Bersebelahan. Mereka terdiam beberapa menit saja. Tanpa suara. Sepertinya sama-sama tidak tau harus mulai dengan kata-kata apa. Lalu Jessi menghujani Nala dengan pelukannya yang erat. Nala kaget. Langsung memeluk Jessi juga.
“Sudah Jessi, cukup. Aku ingin kamu lupakan perlahan semua ini. Agar kamu tidak terus-terusan tidak menentu seperti ini. Toh, tidak ada gunanya juga bukan?”
“Nala,” Jessi mengangkat wajahnya, dan matanya tajam memandang Nala.
“Ya?”
Diam sesaat, namun mata Jessi masih memandang tajam wajah Nala. Dibalas dengan pandangan Nala juga pada Jessi. Mereka lama berpandangan. Beberapa saat saja.
“Nala! Kau … kau … suka, Rio?”
Pertanyaan Jessi adalah pertanyaan yang Nala merasa ia salah mendengarnya dan Jessi sepertinya harus mengulangnya kembali agar memang benar itu yang ia dengar.
“Coba kau ulangi lagi pertanyaan itu Jessi,” perintah Nala lagi.
“Kau menyukai Rio?” ulang Jessi kembali.
Nala membuka mulutnya namun tak bersuara.
“Apa maksud dari pertanyaan kamu Jessi?”
“Apa aku perlu ulang lagi?” Jessi menegaskan.
“Gak perlu, aku sudah dengar dengan jelas. Hanya saja kenapa kamu pertanyakan itu padaku? Ada apa?” tanya Nala.
Jessi menarik napasnya panjang dan teratur. Lalu berdiri dan duduk di sofa yang jaraknya agak bersebrangan dengan meja.
“Aku, aku membaca pesan Rio untukmu, dan… dan, aku .. ah! Aku bingung harus berkata apa lagi Nala. Kau kan sahabatku, aku percaya padamu. Selama ini aku tak pernah berpikir macam-macam tentangmu. Tetapi sekarang?” Jessi membabi buta.
“Tenang dulu Jessi, apa kamu bilang? Kamu baca pesan Rio? Di ponsel aku? Kapan?” tanya Nala detail.
“Sewaktu kamu terakhir di rumahku Nala, dan kamu tertidur. Aku tidak sengaja membacanya dan aku hapus. Maafkan aku, Nala.”
“Tidak … tidak Jessi. Kamu pasti salah paham. Aku yakin kamu salah paham,”
“Tetapi aku membacanya jelas-jelas itu dari Rio,”
“Dan aku sama sekali gak salah lihat,” lanjut Jessi.
“Memang kamu gak salah lihat Jes,”
“Jadi kalian…?”
“Tidak, kami tidak ada hubungan apapun. Aku tegaskan sekali lagi, kami tidak ada hubungan apapun. Rio mendesak aku untuk menyukainya dan membalas cintanya. Percayalah Jessi, aku sama sekali tidak menanggapinya. Tentu saja aku menghormatimu sebagai sahabatku. Aku menolak dia mentah-mentah, tetapi dia terus saja menggangguku. Aku ingin mengatakannya padamu sejak dulu, bahwa Rio ini tidak baik untukmu. Namun aku gak tega Jes, kamu begitu menyayangi orang yang salah. Dengar aku Jes, aku tidak akan pernah menghianati persahabatan kita. Please aku mohon percaya padaku.” Nala begitu panjang menjelaskan agar Jessi paham.
Nala yakin ini salah paham, dan Jessi sepertinya mengira ia dan Rio bermain dibelakangnya. Ini sangat tidak mungkin bisa Nala lakukan. Hal murahan seperti itu bukan sifat Nala. Bagaimanapun sedikit rasa terpendam pernah singgah untuk Rio, namun itu Nala buat sebagai selingan saja. Ia tidak mungkin menjadikan itu berkelanjutan. Eh, malahan sekarang jadi runyam juga. Hal yang Nala hindari, Jessi lebih duluan tau dan memergoki dengan tidak sengaja membaca pesan Rio untuk Nala di ponsel Nala.
Jessi diam menunduk.
“Benarkah katamu Nala,”
“Tentu saja Jes,” jawab Nala pasti.
“Mulai sekarang, kamu harus mulai melupakan Rio, dia bukan cowok baik untuk kamu pertahankan, dia juga tidak menghargai kamu. Kamu harus menyadari itu Jessi. Masa ia mendekati aku, yang jelas-jelas aku adalah sahabat dekatmu. Namun jangan khawatir, aku sudah menjauhi agar ia tidak menggangguku lagi” jelas Nala kembali.
Jessi menarik napas pendek dan tersenyum kaku terlihat dibibirnya, kemudian berdiri mendekat ke arah Nala. Kemudian memeluknya erat.
“Maafkan aku Nala,” ucapnya sambil memeluk Nala.
“Aku menuduhmu sejahat itu, aku yakin kamu tidak seperti itu Nala,” lanjutnya.
Nala mengusap-usap pundak belakang Jessi.
“Aku maafkan pasti, aku juga minta maaf tidak mengatakan ini padamu sebelumnya, bahwa ia terus-terusan menghubungi aku. Bahkan ia tau aku sudah menolaknya, masih saja tidak menyerah,”
Jessi kemudian memandang Nala tajam sambil tersenyum meski matanya masih sembab.
“Karena kamu itu cantik Nala, pintar pula.” Puji nya tiba-tiba.
“Ah, lebih cantik kamu.” Balas Nala tidak mau kalah.
“Kamu cerdas juga, cantik juga, pintar.” Jessi tidak mau kalah juga.
Nala merenggut, Jessi tertawa terbahak. Nala ikutan tertawa juga. Merekapun tertawa sama-sama. Seolah sudah menyingkirkan kepelikan permasalahan, mereka terus mengeluarkan suara tawa. Saling berusaha mencoba untuk tidak melarutkan permasalahan yang membuat arti persahabatan itu menjadi hancur akibatnya.
Menyadari besarnya arti sahabat lebih dari apapun, merupakan pikiran yang tengah ada di dalam diri Jessi dan Nala. Mereka berpikir lebih dewasa, bahwa selain itu hanya akan menghancurkan suatu persahabatan yang sudah terjalin begitu lama, yang tidak akan sia-sia mereka hancurkan hanya karena seorang laki-laki.
“Maafkan aku, Nala,” ucap Jessi perlahan, sambil memegang jemari Nala lalu memberikan senyum memelas ikhlasnya.
“Sepertinya aku yang seharusnya meminta maaf Jessi, aku itu menutupi semuanya. Tapi yakinlah, aku melakukan itu untuk menjaga perasaan kamu, juga untuk supaya kamu tidak perlu tahu kebrengsekan cowok itu. Namun sudah aku atasi. Yaitu ia tidak lagi mengganggu aku maupun kamu, Jes.” Jelas Nala panjang lebar. Jessi diam namun ia paham dan mau mengerti apa yang sudah dikatakan oleh Nala.
Akhirnya mereka berpelukan. Melampiaskan cukup semuanya dengan pelukan sama saja membuat mereka berdua saling berbicara, namun di dalam hati masing-masing. Bahwa persahabatan adalah lebih penting dari apapun juga.
Nala Pramesti dan Jessica Imaniar. Persahabatan mereka masih ada, persahabatan mereka akan abadi nantinya. Karena saling memahami satu sama lain adalah kuncinya. Mengerti dan saling percaya, menjauhi penghianatan. Karena semua itu akan membuat kesalahpahaman lalu akan menghancurkan persahabatan. Jessi percaya Nala sama sekali tidak akan melakukan itu. Dengan menerima cinta Rio. Ia salah sudah menuduh Nala sembarangan. Tanpa mendengarkan lebih dahulu penjelasan dari Nala.
Nala sangat menghormati hubungan persahabatannya dengan Jessi. Dan persahabatan mereka tetap baik-baik saja. Jessi pada akhirnya mencoba untuk menjauhi Rio begitu juga Nala. Mereka pun berjanji agar persahabatan mereka tetap kuat, sekuat baja karena sahabat itu segalanya.
Persahabatan yang dimulai kembali tanpa adanya Rio lagi. Nala dan Jessi sekarang sama-sama sendiri dan mereka tidak perduli. Mereka merasa lebih indah persahabatan. Ketimbang harus berurusan dengan hal yang akan menghancurkan persahabatan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
NALA
Teen FictionNala Memendam rasa suka pada kekasih sahabatnya sendiri. Yang ternyata diapun menyukai Nala. Nala tahu itu salah. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya itu. Apalagi jika Jessi mengetahuinya. Bisa kacau. Jalan terbaik apa yang akan Nala ambil. Sem...