Pagi ini cukup cerah. Awan terbentuk indah di langit. Bunga-bunga bermekaran. Daun-daun berguguran, begitupun rambut Ragafa. Laki-laki itu mengukir seringai tipis saat Fidya memakaikan beanie putih di kepalanya. Rambutnya semakin tipis. Ia harus memakai beanie untuk mencegah rambutnya bertebaran di mana-mana.
Fidya mencium pelan dahi laki-laki itu. "Anak Mama masih tampan, kok."
Ragafa terkekeh pelan. Entah mengapa kenyataan mamanya itu terdengar menusuk hatinya. Ia bisa merasakan tubuhnya semakin melemah. Wajahnya pucat pasi. Bahkan, kakinya sudah tidak bisa digerakkan lagi.
Kekehannya perlahan berhenti. Tangannya bergerak meremas perut. Rasa mual kembali menyakiti raganya. Matanya seketika memanas. Ia mendongakkan pandangan sayunya pada Fidya.
"Ma, maaf, Raga pengen muntah,"
Fidya tersenyum. Ia mengambil mangkuk di sebelahnya, lalu menyimpan mangkuk itu di depan Ragafa. Laki-laki refleks menunduk. Ia memuntah cairan putih yang sudar sedari tadi menganggu kenyamanan perutnya. Tahu rasa sakit yang tengah dirasakan laki-laki itu, Fidya pun membelai kepalanya.
"Jangan sedih, ini cuma sementara, kok." kata Fidya. "Setelah ini, kamu akam sembuh, Sayang,"
Ragafa menghapus air mata yang tiba-tiba menetes di pipinya, lalu menaikkan pandangannya menatap Fidya dengan seringai lemahnya. Ia harus tersenyum. Ini adalah hari ulang tahunnya. Ia tidak boleh bersedih di hari bahagia ini.
"Anak Mama gak pernah ngeluh, gak pernah bahagia, tapi selalu senyum," Fidya menarik Ragafa ke dalam pelukannya. "Selamat ulang tahun, Sayang,"
Ragafa memejamkan mata, merasakan setiap kepedihan yang tidak pernah menghilang dari hidupnya.
"Harus panjang umur biar bisa bahagia," lanjut Fidya.
"Harus sembuh untuk bahagiain Mama," Ragafa menarik pelan kepalanya, lalu menatap lembut Fidya. "Kebahagiaan Mama, kebahagiaan Raga juga,"
Fidya menitikan air mata, lalu berbalik, mengambil kado yang sudah ia letakkan di meja. Tangannya pun bergerak memberikan kado itu pada Ragafa.
"Maaf, Mama baru bisa beliin ini sekarang,"
Ragafa mengangkat sudut bibirnya, lalu membuka kado tersebut. Senyuman haru kembali tercetak. Bulir hangatnya kembali jatuh. Ia tidak menyangka Fidya masih mengingat mainan yang ia inginkan 6 tahun lalu.
Ragafa kecil tengah berjalan di pasar untuk menemani Fidya belanja sayuran. Anak itu tidak sengaja melihat mobil-mobilan mahal yang tengah di jual di jalanan. Ia menghentikan langkahnya, lalu menarik-narik baju Fidya.
"Ma, Raga pengen mobil itu ...." Ragafa menunjuk mobil-mobilan tersebut.
Fidya malah menggenangkan air mata. Ia ingin menuruti keinginan anaknya itu, namun uangnya tidak akan cukup. Kalaupun cukup untuk mobil-mobilan, bisa dipastikan mereka tidak akan makan.
Fidya berjongkok, membelai rambut Ragafa. "Sabar dulu, ya, Sayang. Pasti nanti Mama beliin, kok."
Ragafa tertegun.
"Nanti, ya .... Mama cari dulu uangnya,"
Ragafa langsung menaikkan pandangannya dan tersenyum. "Gak perlu, deh, Ma,"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dia dalam Karya (Terbit)
Novela JuvenilAntara pura-pura dicintai dan pura-pura dibenci, manakah yang lebih menyakitkan?