Seketika nama Sana melintas dipikirannya. Teman SMA yang tak pernah lagi bertemu dengannya setelah kelulusan. Jiah masih mengingat alamat Sana. Ia meminta supir taksi untuk membawanya ke alamat yang sudah dihafalnya itu
Perjalanan memakan waktu kira-kira 20 menit. Membayar argo taksi, Jiah berjalan menuju pagar sederhana rumah itu. Ia melirik pada keadaan depan rumah. Masih sama sejak tujuh tahun yang lalu.
Memencet bel dan melirik pada kamera intercom, Jiah menemukan teman lamanya itu terpekik senang di sana. Segera setelah itu, Sana datang dengan terbirit-birit menyambut Jiah.
"Jiah-yaaaaaa!" Pekikan seperti bocah taman kanak-kanak terdengar oleh Jiah. Ia tersenyum. Sana masih tinggal disini dan akan menolongnya. Begitu pikirnya.
Sana membawa gadis itu masuk. Berbagai macam pertanyaan siap ia lontarkan. Sedikit merasa keheranan di awal, apa yang menyebabkan Jiah mendatanginya.
"Cha, minumlah." Secangkir teh hangat diberikan Sana untuk Jiah. Gadis itu meminumnya dengan perlahan.
"Jadi, apa yang membawamu ke sini?" Sana memulai aksi untuk memberantas rasa penasaran miliknya. Jiah tersenyum kecut. Terkesan tak sopan memang. Setelah enam tahun tak bersua, tiba-tiba saja gadis itu hadir di depan rumahnya.
"Sebelumnya aku ingin meminta maaf,-" Jiah memulai. "Selama tujuh tahun belakangan aku sama sekali tidak pernah mengunjungimu dan tiba-tiba saja aku datang ke sini. Aku minta maaf Sana-ya. Hanya ini satu-satunya tempat yang aku tahu dan kuyakini aman untukku."
Sana, gadis mungil itu mengernyit heran. Ada apa denganmu Lee Jiah?
"Kau pasti sudah mendengar kabar tentang pernikahanku." Lanjut Jiah lagi dan itu seketika menegang. Teman dekatnya dulu sudah menikah?
"Selamat Jiah-ya. Maafkan aku karena tidak datang memberi selamat padamu saat itu. Saat itu aku dipindahkan tugas ke Mokpo." Sesal Sana. Jiah memberi senyum tipis.
"Tak apa Sana-ya. Itu sudah berlalu." Hanya itu yang bisa Jiah lontarkan. Sana kembali menatapnya sendu. Seketika ia teringat dengan kedatangan Jiah.
"Jadi, apa kau tak ingin melanjutkan ceritamu pagi ini?" Tanya Sana lagi. Jiah mengangguk. Dan kali ini pandangannya menatap Sana penuh harap.
"Hanya kau satu-satunya orang yang bisa menyelamatkanku." Lirihnya.
Pada pertemuan yang bernilai jutaan dolar itu, Kijoon duduk dengan gelisah. Ia menyaksikan sang investor tengah menyampaikan bagian-bagian yang mereka rasa masih penting untuk ditambahkan dalam proyek tersebut.
"Jadi bagaimana Tuan Uhm?" Sang investor menanyakan pendapat Kijoon –pria yang kini tengah dilanda kegelisahan. Tersadar akan sebuah suara, Kijoon menegakkan posisinya. Menatap Yoon samcheon dengan cepat dan dengan sebuah anggukan darinya, Kijoon kembali melayangkan tatapannya pada investor. "Saya setuju." Dua kata itu sukses membuahkan senyum bagi sang investor dan rekannya. Sebuah jabatan tangan terulur ketika Kijoon dengan ketidak-fokusan atas kerjanya menerima dengan telak proyek tersebut. Rapat berakhir dan semua mengemasi dokumennya.
"Bagaimana dengan Jiah?" Pertenyaan yang langsung dilontarkan Kijoon pada sekretarisnya setelah rapat berakhir. Pertanyaan yang tak seharusnya diucapkan ketika sebuah kesepakatan telah dicapai.
Sekertaris Yoon hanya diam. Dengan sikap profesionalitas, ia berdiri. Mengantarkan sang investor bersama rekannya keluar dari ruangan besar di salah satu hotel ternama di negara itu, lalu kembali kehadapan tuannya yang kini tengah menatapnya tak suka.
"Apa yang terjadi di Seoul?" Oh, radar Kijoon akan Jiah memang tak terbantahkan.
"Jiah Agashi kabur dari bandara saat kita baru saja lepas landas." Deretan kalimat panjang dari sekertaris Yoon sukses membuat benak Kijoon seakan meledak seketika. Wajahnya memerah. Terlihat kemarahan yang sebentar lagi akan membludak keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bittersweet
RandomCinta, masa lalu dan balas dendam menjadi pupuk dalam pertumbuhan cinta kasih dua anak manusia yang buta akan cinta..