0.5 Luka

7 6 0
                                    

Terhitung hampir satu pekan lamanya, sejak ia pulang dari Belanda, Eza sama sekali tidak bertemu sang mama, atau lebih tepatnya ia pun sama tidak niatnya.

Terserah jika orang berkata bahwa ia lahir dari batu, bukan dari rahim Mama Ningsih.

Ibunya asli orang Jawa, walaupun bukan keturunan dari darah biru, kakek juga neneknya terbilang orang terpandang. Sawahnya berpetak-petak di bagian utara Jogja, hampir seluruhnya milik kakek neneknya, belum lagi hotel dan rumah makan yang tersebar di beberapa daerah.

Setidaknya, cukup untuk membuat cucu semata wayangnya ini hidup elegan.

Terbukti dari omong kosong Saga tentang beberapa hari yang lalu bahwa sang ibu menunggu di rumah, nyatannya di sana hanya ada pak Mahmud tukang kebun blok Merpati yang sedang membersihkan kebun belakang rumahnya.

Sisanya, tidak ada.

Eza tidak ambil pusing perkara itu, toh sedari kecil ia memang seperti anak yang tak memiliki orang tua.

Semuanya tampak tidak menarik, sebelum Sagara datang menyelamatkan hidupnya.

Saat ini, Eza sedang menikmati tehnya di restauran dekat rumah Saga, gadis itu sudah duduk anteng sejak limabelas menit yang lalu, bahwa mereka akan makan siang di sana.

Wangi pethrikor dari rintikan-rintikan yang menghantam apa yang ada di bawah permukaan bumi ini tercium menenangkan dari indera penciumanya . Tidak terlalu deras, namun mampu membuat para manusia menjeda aktifitasnya.

Nindya Eza adalah salah satu dari sekian pecinta hujan— Terlalu klise, ia tahu bahwa ada sejuta suasana yang berbeda kala butiran-butiran itu meluruh membasahi gersangnya sang bumi, entah tujuanya pada tumbuhan yang berteriak kehausan, tanah yang kering hingga retak-retak mengenaskan, atau sang katak yang berisik berdo'a agar hujan kunjung turun. Ia menyukai hal sesederhana hujan yang membawa berjuta suasana.

Kala ia sibuk memaku netranya ke luar ruangan, sembari meresapi lagu bertajuk; Runtuh milik Fiersa Besari yang mengalun tidak terlalu keras di telinganya dan menatap jalanan yang samar-samar terlihat sebab dinding kaca yang mengembun, jalanan Malioboro tetap ramai walau tak seramai biasanya, entah kendaraan roda empat hingga ke tukang becak. Ck! Manusia bahkan lebih hebat mengalahkan optimisnya sang alam. Ia menggulirkan pandanganya ke pintu masuk kala seorang pemuda sedang menutup payung hitamnya kemudian mengibas lengan dengan balutan kemeja panjang polos berwarna baby blue yang sedikit lembab, tangan kirinya menenteng handbag berwarna Moca. Ia menggantung payungnya di tempat yang di sediakan, menghampiri gadis yang masih mematut pandanganya bahkan ketika laki-laki itu duduk di kursi depanya.

Saga menaruh bawaanya di atas meja, "Pake."

Eza mengamati sebentar handbag yang saga sodorkan, alisnya berkerut tanda tak mengerti.

"Aku tadi mampir ke kedainya Anggun buat minjem hoodie tapi ternyata nggak ada, cuma itu aja." Jelas saga yang kemudian menunduk, merogoh HP nya di saku.

Eza merogoh isinya, ternyata Cardigan rajut lengan panjang berwarna cream.

Kala cardigan itu direntangakan, ia mencium jelas wangi parfum milik Saga.

"Kenapa aku harus pake?" Tanya Eza setelah sekian lama terdiam.

Saga mendongak dengan alis lebatnya yang ikut terangkat, sontak membuat Eza terhenyak sesaat, 'Sialan, manly banget' batin Eza seraya meutup kembali bibirnya yang terbuka kecil, "Oh, baju kamu bahanya nggak tebel. Emangnya kamu nggak dingin?"

Eza menunduk, menatap gaun berwarna Grey-nya yang hanya sebatas bawah lutut dengan lengan pendek, ia baru menyadari bahwa suhu tubunya menurun dengan menyentuh lengan kirinya, dingin. Ia menarik ujung bibirnya manis, sambil mengenakan cardigan tersebut, "Makasih Saga."

"Maaf ya, tadi aku semprot pake parfum aku, soalnya itu katanya barang barunya Anggun, dia kasih buat kamu." Jelas Saga yang kemudian menaruh ponselnya di atas meja.

"Nggak papa, aku suka. Pulang nanti, mampir ke kedainya Anggun ya?"

"Ah iya, sekalian kita balikin handbagnya, soalnya itu juga punya dia, aku mau bawa paperbagnya malah hujan, takut basah.padahal aku males bolak-balik." Laki-laki itu mendesah malas. Eza hanya tersenyum geli.

Eza ingin berterima kasih terhadap Anggun, yang merupakan salah satu keponakan Sagara. Ia membangun kedai kecilnya yang tak jauh dari tempat tinggal Sagara, kedainya merupakan tempat barang Brannd yang siap diambil, sebut saja seperti pos paket. Namun, untungnya lumayan besar, sebab Anggun memesan barang langsung dari produksinya sehingga modal belinya lumayan miring. Anggun merupakan anak dari salah satu pamanya, intinya begitu, Eza tidak terlalu hafal perkara silsilah keluarga Sagara.

"Kenapa belum pesen? nunggu lama banget ya? Maaf tadi aku harus kelarin beberapa proposal, kamu pasti udah laper banget" Ucap Sagara bersungguh-sungguh.

Eza tidak menjawab, ia bangkit dari kursinya dan duduk disamping Sagara yang merupakan sofa panjang, merogoh tas selempangnya dan mengeluarkan saputangan beserta sisir, ia mengikis jarak antara dirinya dan laki-laki itu, mulai menggosok lembut surai laki-laki itu yang sedari tadi ada sisa air menetes-netes basah, membuat fokusnya terbagi.

"Kenapa harus buru-buru, hm? Padahal aku bisa nunggu lebih lama dari ini, nggak sebanding sama sabarnya kamu yang nunggu aku bertahun-tahun." Eza menatap manik kelam milik pemuda itu yang jernih, seperti menariknya untuk menyelam lebih lama di sana. Ia tersenyum tipis sembari melanjutkan kegiatanya.

Sagara hanya terkekeh pelan yang herannya terdengar amat merdu di telinga Eza, mengalahkan lagu-lagu yang sedari tadi mengalun dan berganti. Ia berbisik pelan, "Karena kita sama-sama nggak bisa sejauh itu, Za. Kamu ngerti aku yang butuh kamu dan kamu yang ngerti kalau kamu juga butuh aku."

Eza memelankan usapanya pada surai laki-laki itu, matanya perlahan-lahan mengembun. Sagara kian mendekat, menghabisi jarak antara ia dan dirinya, merengkuh hangat gadis yang ia tahu bagaimana rapuhnya, dalam tangisnya yang kian menderas— seperti hujan di luar ruangan itu, gadis itu mencoba setengah mati menahan isakan juga kata-kata yang ia ucap lembut, "Aku nggak ngerti Ga, sesulit apa kamu selama aku pergi, aku yang harusnya ada pas kamu lagi kehilangan Mama Jingga, tapi malah aku makin bikin kamu hancur. Maaf Saga, maaf, maaf, maaf... "

Sagara meneguk pahit salivanya, mendengar kata maaf yang terus terulang dari bibir Eza dengan menahan isakan tangisnya yang hebat, tubuh gadis itu bahkan gemetar kuat dalam dekapanya.

Apa yang dikatakan Eza memang benar, pertama kali ia mendengar bahwa Mama Jingga— ibunya, dokter mengatakan sakit TBC memasuki tingkat kronis ia merasa bahwa sukmanya tidak lagi berada pada raganya apalagi selang beberapa hari, ibunya tiada. Kala ia butuh Eza sebagai tempat paling tepat untuk menumpahkan segala kepingan dirinya yang lebur, Eza ternyata pergi meninggalkan dirinya sendirian. Membiarkan Sagara memperbaiki segala hancurnya sendirian, membiarkan Sagara pulih sendirian, setengah mati menahan segala kesakitanya yang kian detik menggerogoti mentalnya.

Ternyata, Sagara Pandu tidak sekuat yang mereka lihat.

Andai mereka tahu, Sagara Pandu adalah definisi; hanya seengok daging yang terisi nyawa. Ia makin semu dimakan waktu.

Sagara hanya diam mendekap Eza yang akhirnya meloloskan isakanya, mengorek bersama apa yang membuat busuknya hubungan keduanya. Mereka ingin sembuh, mereka ingin sehat. Lagi.

Sagara tersenyum, mengecup dahi gadis itu, mengusap-usap lembut surainya, "Aku udah nggak papa, sayang."

Bahkan ketika sakit itu menikam dalam-dalam perasaanya, ia tetap mengatakan 'tidak apa-apa' sebagai jawaban.

Siang itu, di tempat yang tidak terlalu ramai, berteduh dari tetes-tetes deras, makan siang hanya menjadi wacana dan lagi-lagi hanya luka yang mereka lahap.





Bersambung...

Kita | Sagara PanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang