Part 5: Malu

767 56 1
                                    

Ini adalah hari yang sangat Arin benci. Saat di mana ia tidak tidak memiliki kesibukan, karena sudah waktunya liburan. Faktanya, setiap kali liburan ia hanya di rumah saja dan tidak melakukan kegiatan apa pun. Saat sedang asik menonton Bang Ihsan datang.

"Arin, bantu abang dong!" ujar Bang Ihsan menghampirinya.

"Bantu apaan?" jawab Arin mendongak. .

Bang Ihsan langsung menarik tangan Arin tanpa menjawab pertanyaannya terlebih dahulu.

"Eh tunggu, aku matiin tv dan mau ambil jilbab dulu," ucapnya.

Arin berlari ke dalam rumah. Ia mematikan televisi dan mengambil jilbab.

"Ini apa, Bang?" tanya Arin kaget melihat tumpukan barang di ruang ramu.

"Ini barang untuk acara abang. Harus dibungkus sebanyak seratus bungkus, Rin. Tadi abang udah coba sih, tapi baru siap sepuluh bungkus. Masih banyak, nih. Bantu abang bungkusnya ya," ujar Bang Ihsan sedikit memelas.

Arin menarik napas panjang mendengar jawaban dari Bang Ihsan. Sudah ia tebak kalau ada banyak kerjaan yang akan menyambutnya di rumah ini.

"Jadi abang minta Arin untuk bungkus barang sebanyak ini?" tanyanya memastikan.

Bang Ihsan mengangguk sebagai pertanda ia membenarkan ucapan adiknya.

"Iya udah deh, Arin bantu. Kebetulan di rumah juga nggak ada kegiatan," ucap Arin.

Arin mulai membungkus satu per satu benda tersebut. Ia melakukannya dengan senang hati tanpa ada rasa terpaksa yang hadir dari dirinya.

"Ooo iya, ini untuk kapan?" tanya Arin.

"Untuk besok pagi," jawab Bang Ihsan santai.

Mata Arin sontak membulat sempurna. Membungkus barang sebanyak ini bukan hal yang mudah. Apalagi ada beberapa benda yang sulit untuk dikerjakan.

"Kayaknya ini nggak bakal selesai deh kalau kita berdua aja. Sekarang udah sore baru selesai lima belas bungkus. Bang Ihsan kebiasaan minta tolong mendadak gini. Kalau sampai malam Arin nggak mau bantunya. Mau istirahat," tutur Arin sedikit kesal dengan tenggat waktu yang diberikan oleh abang sepupunya.

"Udah siap celotehnya? Kalau udah giliran abang yang ngomong lagi. Tenang, bukan kita berdua aja. Abang udah hubungi yang lain untuk bantu membungkus ini. Jadi kamu tenang aja," ucap Bang Ihsan.

Arin membulatkan mulutnya membentuk huruf "o" mendengar penjelasan barusan. Setidaknya ia sudah merasa lega, karena tidak akan sampai larut malam.

"Abang minta tolong siapa saja? Bukannya mereka semua sekolah ya? Soalnya setahu Arin yang libur cuma kelas tiga dan enam aja," tanya Arin penasaran.

"Ih, kepo. Kamu lihat aja nanti siapa yang datang," sahut Bang Ihsan yang masih fokus membuat bingkisan.

"Is is."

Arin bangkit dan memutar lagu favoritnya. Bekerja hanya berdua akan membuat suasana menjadi hening dan pastinya akan membuat bosan. Arin ikut mengiringi setiap liriknya. Sambil bernyanyi ia juga menggerakkan tubuhnya ke kanan dan kiri. Tanpa ia sadari ternyata sudah banyak orang yang memperhatikannya. Apalagi suara Arin juga terbilang merdu untuk bernyanyi.

"Lanjut, Rin," ujar Bang Ihsan.

"Abang, kenapa nggak bilang kalau udah banyak orang di belakang Arin?" bisik Arin malu.

"Sorry," jawab Bang Ihsan singkat.

Wajah Arin berubah menjadi merah. Ia sangat malu. Arin melanjutkan pekerjaannya tanpa memperhatikan orang yang baru saja menyaksikannya.

"Arin, sini duduk di dekat abang. Kamu sejak tadi membelakangi mereka," ajak Bang Ihsan.

"Maaf, Arin nggak sopan," tutur Arin berbalik dan berpindah sesuai ajakan abang sepupunya.

Kini ia duduk menghadap ke semua orang. Tentu saja ia melihat jelas siapa saja yang berada di dekatnya. Ada enam orang yang sedang bersamanya. Satu per satu ia lihat wajahnya untuk mengenali mereka. Ternyata ada Kak Rizki, Kak Ahmad, Kak Zaid, Kak Zain, Kak Beni dan sorot mata Arin tertuju kepada wajah terakhir. Sosok itu membuatnya salah tingkah dan bertambah malu. Siapa lagi kalau bukan sosok Abdurrahman Arka Ramadhan.

"Bang, Arin ke belakang dulu ya," pamit nya.

"Iya, jangan lupa bawa makanan ke sini ya," balas Bang Ihsan.

Arin berjalan dengan langkah yang begitu cepat menuju dapur. Ia merasa wajahnya memanas.

'Astaghfirullah, Lo harus tenang, Rin. Ayo, lo pasti bisa bersikap biasa aja sama dia,' gumam Arin membatin.

Setelah merasa lebih tenang Arin kembali ke ruang tamu. Ia merasa dirinya sudah membaik. Terlihat mereka semua sedang meregangkan badan, karena bingkisannya sudah selesai.

"Ooo, udah selesai semua ya, Bang?" tanya Arin.

"Uda, nih. Untung aja mereka semua datang. Jadi cepat deh selesainya. Ayo kamu duduk di sini dulu," ajak Bang Ihsan.

Arin terdiam dan berpikir sejenak. Ia rasa sudah tidak ada lagi yang akan dikerjakan. Semua bingkisan sudah selesai. Tidak ada salahnya kalau dia pulang.

"Arin pulang aja deh, Bang. Mau istirahat dulu. Lagian di sini cowok semua. Nggak bagus kalau aku di sini," ucap Arin.

"Ya udah. Kamu pulang aja kalau gitu. Makasih, Rin udah mau bantu."

Arin berpamitan dengan Bang Ihsan dan kepada enam orang yang juga ikut membantunya.

To be Continue
Jangan lupa vote dan komen.
See You Guys

Lynella (COMPLETED✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang