"Albi!" seorang gadis berkuncir kuda menghampirinya. Sang empu nama, tentu sudah biasa akan kebisingannya ketika ia kerap memanggil dirinya.
"Ck, dasar cempreng." gumam Albi.
"Albi Gistara! Lo budeg apa gimana?! Gue panggilin loh daritadi." Mahna menarik headphone yang terpasang di kepala Albi. Kesal. Satu kata yang dapat mewakilkan perasaan Mahna terhadap Albi saat ini.
"Arunika Mahna! Coba lihat apa yang lo pegang. Gimana gue gak budeg."
Mahna menurut akan pandangan yang tertuju pada tangan Mahna. "Ah? Eh-i-iya. Hehe. Gak perhatiin."
"Eh, iya, Bi. Anter gue pulang ya? Mama udah nunggu lo juga. Biasa. Kangen sama anak keduanya ceunah."
"Gak. Gue sibuk."
"Bi, please." Mahna memasang puppy eyes andalannya. Namun, sia-sia. Albi yang biasanya lumpuh akan puppy eyes Mahna, kini tidak. "Albi, Albi, Albi. Tolongin gue kalau lo gak mau gue digorok."
Albi tetap tak peduli. Ia melanjutkan membaca bukunya yang sempat tertunda karena Mahna. "Bagus dong. Gue udah capek sama lo soalnya."
"Albi! Ih! Ya udah, gimana kalo setelah dari rumah gue, gue akan turuti semua permintaan lo. Apapun itu, gue sanggupi. Ya ya ya?"
Albi melirik sekilas. "Janji?"
Mahna tersenyum manis. Menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapan Albi. "Janji!"
Albi tersenyum simpul dan balas menautkan jari kelingking Albi dengan Mahna.
⚡
"Mama, Rui pulang! Rui bawa anak lanang mama nih."
Mahna menghambur ke dalam rumah. Albi menghela napas. Dalam hatinya, ia berharap bisa bertemu Ibu kandungnya saat ini. Ia hanya ingin memeluk Ibunya yang tak pernah ia sentuh, bahkan melihatnya sekalipun.
"Albi? Nak, apa kabar?" Sapa Ratih, Ibu Mahna yang membuat lamunan Albi buyar. "Eh, iya tante. Saya baik. Tante apa kabar?"
Bukannya menjawab, Ratih melenggang menuju dapur seraya menarik tangan Albi. Sama seperti Mahna, yang sikapnya turunan dari Ratih; watados dan hiperaktif. Ratih bergulat pada dapurnya, menyisakan wajah Albi yang bingung. "Nak Albi, Nak Albi. Kamu ini kenapa melamun tadi? Mikirin Ibumu, ya?"
Tepat. Pertanyaan yang tepat. Batin Albi.
"Hm, iya tante. Keinget sekelibat aja tadi."
Ratih hanya tersenyum. Bukan hanya sifat Ratih yang terkadang masih seperti gadis belia umumnya, namun Ratih dan Mahna juga mempunya sifat yang hampir sama; dewasa, dan peduli. "Kamu ingat kan, besok ulang tahun Ibumu?"
"Iya tante, ingat. Justru saya kepikiran itu."
"Kalau gitu, besok kamu ajak si Rui aja ya. Supaya gak sendirian. Nanti kalau sendirian, kerasa sedihnya."
Entah dengan cara apa Albi membalas segala kebaikan dan jasa keluarga Mahna. Maka saat ini yang dapat ia lakukan hanyalah menjaga Mahna, anak tunggal keluarga Baskara. "Iya, tante."
Ratih yang spontan ikut tenggelam dalam pikiran Albi pun, tanpa sadar jengah hingga melukai jari telunjuknya saat memotong wortel. "Tante, gak apa-apa? Saya bantu obatin ya, Tan."
"Gak apa-apa, Nak. Tante bisa sendiri. Tolong gantiin aja ya." Ratih mencuci darahnya dan menuju kotak P3K yang terletak di ruang keluarga. Namun, Ratih menemukan Mahna yang sedang berleha-leha dengan kaki diatas meja sambil menonton TV.
"Arunika! Kamu enak banget ya disini malas-malasan sementara Bunda dan Albi masak?! Liat tangan Bunda." Habis sudah kesabaran Ratih menghadapi putri tunggalnya yang membuat darah mendidih. Mood-nya yang sedang baik pun, lenyap.
"Hehehe maaf, Bun. Eh, tangan Bunda kenapa? Kok berdarah?" Sawan sekaligus khawatir, yang membuat ia ragu menghampiri sang Bunda.
Ratih melotot. Paham akan tanda yang diberikan, Mahna melesat lari ke dapur. "Iya Bun, ini Mahna mau bantuin Albi!"
"Anjir, Bunda suek banget dah." dumel Mahna seraya mengambil pisau dari tangan Albi.
"Kalau gak ikhlas, gak usah bantuin. Sana balik." Mahna menoyor Albi.
"Yee, digorok gue yang ada." Albi merasa kesal karena Mahna yang tak tahu diri. Sudah berbaik hati, malah ditoyor.
"Na,"
"Hm?"
"Besok jam setengah 12 malam gue jemput ya." perkataan Albi membuat kegiatan Mahna yang ulet dalam memasak terhenti. Spontan ia mengarahkan pisaunya kepada Albi.
"Na... lo kenapa? Lo kesurupan, Na? Na, maafin gue. Jangan gini, gue belum siap mati." mata bulat Mahna yang melotot membuatnya semakin sawan.
"Ini, ini yang bakal gue dapetin dari Bunda kalau lo ngajak gue keluyuran tengah malam!"
Bingung. Albi mengangkat alis sebelahnya. "Kenapa alis lo?"
"Pokoknya lo harus ikut gue. Gak usah bawel. Gue gak mau ada penolakan."
"Sinting lo!" geram Mahna seraya berkacak pinggang.
⚡
KAMU SEDANG MEMBACA
thunderstorms '21
Fiksi Remaja"You hold so much sadness in your eyes. I can almost touch the scars of your soul and cry." "So?" "Please, let me embrace you. With all of my loves that i can give for you, Gistara." "No... you can't." Albi tak kuasa menatap tulusnya dua pasang bo...