28. Untuk sebuah alasan [Revisi]

129 10 0
                                    


***

Tiga hari. Waktu yang dihabiskan Raka  dirumah Tara. Tara tidak ingin tahu bagaimana cara lelaki itu izin dengan Nisa, atau alasan apa yang digunakan Raka untuk meninggalkan rumah hingga berhari-hari.

Jujur saja, Tara tidak peduli. Ia mengambil langkah untuk tidak ikut campur dulu dengan hubungan mereka sebelum segalanya beres. Semakin tahu banyak tentang mereka, semakin membuat hari-hari Tara terasa buruk.

Dinda mengusap lengan Mbak Taranya, seolah mencoba menenangkan hati wanita yang kembali berpisah dengan pujaan hatinya. Dinda tahu Tara sedih, tapi Dinda juga tidak paham kesedihan yang bagaimana  yang dirasakan Tara sekarang.

Usia kandungan Tara sudah tujuh bulan, itu berarti tiga bulan lagi mereka akan bisa kembali ke tanah air. Tara bisa memulai hidup normal, dan kembali menjalani hari tanpa bersembunyi. Tapi mengapa Mbak Tara nya malah bersedih seperti itu? Pikir Dinda bingung.

"Mbak sering menangis akhir-akhir ini." Ucap Dinda prihatin.

Tara tersenyum tipis. Masih memandang arah kepergian Raka. Padahal lelaki itu sudah tidak terlihat lagi.  Bahkan mungkin sudah tiba di bandara. "Tidak ada orang yang bersuka ria saat tahu ia akan berpisah dengan orang yang dicintainya."

"Kalau cinta, kenapa harus berpisah?" Pikir Dinda bingung.

"Ada beberapa hal yang membuat mereka harus terpisah. Walau itu bukan keinginan mereka."

"Kenapa tidak berjuang untuk selalu bersama? Kalau tahu berpisah itu.. membuat sedih..?"

Tara berbalik dan melangkah dengan anggun menuju kamarnya. "Perpisahan itu sendiri bagian dari perjuangan. Segala sesuatu membutuhkan persiapan, kita harus memulainya dan memperbaiki apa yang salah. Setelah semua benar dan siap, baru kita bisa menyusunnya kembali secara tertata. Dan dengan benar."

Dinda mengikuti langkah Tara sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Hehehe, Dinda nggak ngerti mbak. Maksudnya gimana yaa?"

Tara melirik Dinda dengan senyum tipis. "Maksud saya, tolong ambilkan ice cream yang saya simpan di kulkas Dinda."

"Hah? Dalam perjuangan, ada ice creamnya juga mbak?"

***

Di sebuah ruangan yang sangat rapi. Seorang lelaki berpakaian rapi lengkap dengan jas hitamnya menyederkan diri pada sandaran kursi.

Dia adalah Tama.

Lelaki dengan tingkat kecuekan tinggi yang baru pulang dari Paris, setelah menemui mantan tunangannya.

Jujur saja, sejak dulu Tama tidak pernah tertarik dengan Tara. Secantik dan sesempurna apapun wanita itu.

Saat kedua orang tuanya menjodohkan mereka, Tama tidak memiliki pilihan lain selain menerima. Karena kedua orangnya tidak pernah menyetujui hubungannya dengan Aini. Tama sendiri menerima pertunangan mereka karena ia harap setelah itu ia bebas dari banyaknya tuntutan kekuarga untuk menikah.

Tama masih muda, ia baru akan berulang tahun ke dua puluh enam di tahun ini. Sementara Tara lebih tua dua tahun darinya.

Tama kira, setelah bisa menikah dengan Aini dan memutuskan Tara, maka hidupnya akan sempurna. Ia sudah memiliki usaha sendiri jika keluarganya hendak mengusirnya karena memutuskan perjodohan secara sepihak. Lalu, ia memilih mengulur waktu karena tidak ingin pernikahannya yang baru seumur jagung dipenuhi masalah jika orang tuanya tahu. Tapi ternyata takdir tuhan luar biasa kejam padanya. Bahkan ia belum sempat mengenalakan Aini sebagai isterinya sampai Aini pergi untuk selamanya.

Tama hampir gila saat itu. Semua orang menyalahkannya. Orang tua Aini menyalahkannya karena tidak becus menjaga anak mereka, bahakan mereka juga   melabrak orang tua Raka.

Lalu orang tuanya juga menyalahkan Raka  karena telah berbuat curang dengan menikahi Aini diam-diam. Terakhir, ibu Tara. Ibu Tara juga menyalahkannya karena Tama telah membuat Tara pergi jauh.

Tama lelah. Ia hampir menyerah pada kehidupan dan ingin menyusul Aini. Tetapi tuhan selalu menggagalkan keinginannya.

Lalu wanita itu datang. Menyadarkan ia bahwa ada hal yang harus ia lakukan dari pada kematian. Wanita itu memberinya sebuah alamat, dan mengatakan ada mereka disana yang  membutuhkannya.

Padahal, Tanpa wanita itu sadari, sebenarnya Tama yang membutuhkan mereka. Tama yang sedang membutuhkan alasan apapun untuk tetap kokoh berdiri.

Tok tok tok..

Suara ketukan pintu menyadarkan Tama dari lamunannya.

"Masuk..!"

Anita, sekertaris Tama mengintip kecil setelah membuka pintu. "Ada tamu Pak, atas nama Ardan. Ingin bertemu dengan bapak."

"Biarkan dia masuk.!"

Setelah mendengar itu, Anita berlalu. Di gantikan dengan Lelaki bertubuh kurus dengan tas jinjing ditangannya.

"Bro.." Sapa Tama pada temannya itu.

"Tam, sorry agak lama. Ribet ternyata pemberkasannya." Ucap Ardan begitu duduk didepan Tama.

Ardan mengeluarkan berkas-berkas dari tasnya, lalu menunjukkan dan menjelaskan isinya secara rinci.

"Lo yakin ini aman?"

"Aman Tam."

"Lo bisa atasi ini kan? Pengacara gue akan urus sisanya."

Ardan menatap Tama serius. "Ini urusan kecil, apalagi yang bersangkutan bisa diajak kerja sama."

"Tapi lo tetap nggak boleh ceroboh. Ini  menyangkut dua pihak, apalagi yang satu cukup bahaya."

Ardan terkekeh ditempatnya. "Selagi Raka nggak tahu sampai hari itu tiba, kalian semua aman. Beda cerita kalau Raka udah tahu duluan sebelum-,"

"Karena itu, gue ngilangin jejak dulu. Gue tahu dia udah ngincer gue waktu di Paris."

"Lo tumben banget care sama mantan, mau balikan lagi?" Goda Ardan serius.

Tama menghela nafas panjang. "Nggak tau, Dan. Gue cuma mau bantu Tara aja."

Ardan mengedik. "Apapun alasan lo, pesan gue cuma satu."

"Apaan?"

"Siap-siap."

"Apaan sih lo?" Tama mendengus malas. Apa yang belum Tama persiapkan memangnya?

"Serius! Feeling gue lo bakal ketemu jodoh lo sebentar lagi."

"Ngaco, lo!" Ketus Tama.

Ardan tertawa terbahak-bahak melihat wajah kusut Tama.

"Gue nggak tahu sih, alasan gue mau bantu dia sebenarnya apa. Tapi membayangkan nantinya gue bakal punya temen hidup, ternyata gue ngarep Dan. Gue mau! Apalagi umur anak Tara nanti nggak jauh beda sama calon anak gue yang di bawa Aini."

"Lo yakin? Nantinya nggak akan bermasalah?"

"Apa yang bermasalah?"

"Yaa, kalau lo punya istri, one day, Ya. Dan dia  nggak suka sama anak lo, gimana?"

"Gue nggak berniat nikah lagi!"

***

SALAH RASATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang