Bab 22

278 31 3
                                    

Setiap rumah mewah dan megah memanglah menjadi impian semua orang. Dengan fasilitas yang mencukupi setiap keinginan. Menimbulkan rasa betah dan nyaman akan rumah itu.

Tapi apa jadinya jika rumah yang menjadi idaman itu tidak sesuai dengan keinginan? Memang semua kebutuhan telah tercukupi, namun jika rumah dan segala fasilitasnya bak mainan remote control, apa kalian masih betah?

Itulah yang dirasakannya. Semua seperti mainan. Semua patuh akan pemegang remotenya. Semua tunduk pada Kijoon. Tak pernah bisa ia bayangkan menghabiskan masa mudanya menjadi tawanan millioner muda.

Kijoon memang mengajaknya untuk menikah. Tapi itu semua tidaklah mungkin untuk dikabulkan dalam satu detik. Begitu banyak rasa heran, benci, takut, dan iba –terkadang muncul kala Jiah menatap mata itu.

Apa yang terjadi sebenarnya pada pria itu? Siapa yang membuatnya menjadi pribadi tak terprediksi seperti ini? Dan masih banyak tanda tanya lainnya berada dibenak Jiah.

Uhm Kijoon. Oke, untuk paras memang benar tak ada yang bisa menyangkal. Wajah tegas, kulit pucat dan tatapan bagai dewa memang ada pada dirinya. Tapi semua yang terlihat diluar tidaklah mudah untuk menebak bagian dalamnya.

Dalam sedetik ia bisa berubah menjadi kucing yang baik dan begitu ingin dimanja oleh majikan. Namun beberapa detik kemudian, ia bisa bagaikan singa yang siap menerkam karena buruannya dilirik hewan lain.

Jiah tak tahan dengan semua itu. Kijoon memang pernah melakukan kekerasan padanya. Membuat tubuhnya gemetar ketakutan. Namun sedetik kemudian, Kijoon berubah menjadi malaikat tak bersayap. Mengasihi, menyayangi, bahkan mengemis ampun padanya. Apakah mungkin jika ia menjadi seorang istri dari pria yang berkepribadian jamak layaknya Kijoon?

"Joesonghamnida Agashi." Lamunan Jiah terhenti kala seorang pelayan datang. Jiah berbalik. Ia melihat senampan makanan sudah berada di nakas samping ranjang miliknya.

"Tuan besar meminta anda untuk segera makan." Ucap pelayan itu ketika ia sudah selesai menata makanan. Jiah mengangguk dan pelayan segera keluar. Diliriknya makanan itu tak selera. Ia sudah terlalu kenyang pagi ini. Kenyang akan semua tingkah laku Uhm Kijoon.

Ingin sekali ia melompat dari balkon kamar yang memang tak pernah dikunci Kijoon. Akan tetapi rasa itu, rasa penasaran mengganjal ditenggorokannya dan menyesakkan dadanya. Ia harus bisa membuka tabir dibalik kekelaman jiwa pria yang begitu menginginkannya itu.

Jiah bergerak. Berjalan menuju makanan di atas nampan. Ia begitu penasaran, apakah ada hal lain yang ditakuti Kijoon selain terancamnya kebahagiaan dirinya?

"Aku harap aku yang menjadi makanan itu." Berbalik, Jiah menemukan Kijoon yang sudah bersandar dengan santai di depan pintu. Pria itu masuk dan menutup pintu dibelakangnya.

"Apa aku harus memeriksamu dahulu agar kau makan-makanan itu Jiah-ya?" Kali ini ia sudah berada di belakang Jiah. Memeluknya dan mengecup pipi wanita itu dengan sayang.

"Aku tidak lapar,-"

"Aku tahu kau akan berkata begitu. Kumohon, makanlah walaupun hanya sesuap nasi." Pintanya.

Nafas wanita itu mulai terasa sesak, kala Kijoon menekan perutnya dengan kuat. "Kuharap kau makan Jiah-ya." Sekali lagi Kijoon berbisik ditelinganya. Menyampaikan permohonan diiringi dengan tekanan kuat pada perutnya.

"Baik, aku akan makan. Lepaskan aku!" Kembali menyerah, Jiah tak berdaya.

Pelukan erat itu terlepas. Jiah dengan segera duduk di ranjang miliknya, dan mulai membawa masuk semua makanan yang ada dihadapannya ke perut.

Kijoon mengawasi dengan santai. Kedua mata itu meneliti setiap pergerakan tubuh Jiah. Membuat yang ditatap merasa risih dan semakin kehilangan selera makan.

Acara makan dan menatap tetap berlanjut, hingga dentingan sendok dan mangkuk nasi mulai terdengar. Menandakan bahwa Jiah sudah menghabiskan semua makan malamnya.

"JINMI SSI!" Kijoon berteriak. Meneriaki nama seorang pelayan. Tak perlu menunggu waktu lama, Jinmi si pelayan hadir dengan wajah ketakutan.

"Bawa semua peralatan makan ini keluar dan jangan biarkan ada orang yang medekat ke sini, termasuk Sekertaris Yoon." Perintah Kijoon. Jinmi mengangguk. Dengan segera pelayan itu mengangkat semua perlatan makan milik Jiah dan membawanya keluar. Menutup pintu dengan rapat lalu menyampaikan pesan dari majikan.

Kembali lagi dengan dua manusia di kamar. Mereka hanya berdiam diri. Kijoon mendekat dan mulai duduk disamping Jiah. Mengalungkan tangannya dipinggang wanita itu.

"Aku ada kabar baik untukmu." Bersandar di bahu Jiah, Kijoon memulai pembicaraan.

Jiah hanya diam. Tidak tertarik dengan semua berita baik dari Kijoon, kecuali jika Kijoon memberi kabar bahwa dia dibebaskan.

"Yang jibsa sudah sadar dari komanya." Ungkap Kijoon. Mata wanita itu melebar. Hatinya tertawa dan dadanya seperti bom atom yang siap meledak. Yang jibsa yang ia anggap sebagai ibunya sudah sadar, dan itu membuahkan senyum bahagia di bibirnya.

Kijoon juga tersenyum. Ia yakin Jiah akan bereaksi seperti ini meyangkut Yang jibsa.

"Kapan?" Pertanyaan terlontar dari bibir wanita yang selalu bereaksi dingin terhadapnya.

"Kupikir kau tidak tertarik dengan kabar baik dariku, tapi ternyata kau menyukainya." Merapikan anak rambut milik Jiah dan menyampirkannya pada telinga, Kijoon mendaratakan ciuman lembut pada keningnya.

"Pukul 2 pagi." Lanjut Kijoon. Jiah bernafas lega. Yang jibsa masih hidup dan tentu saja ia terbebas dari rasa khawatir yang selama ini disimpannya.

"Aku merindukanmu Jiah-ya. Maafkan aku." Kijoon kembali bersuara. Dengan mata menatap dalam pada lawan bicara. Ia membawa Jiah masuk ke dalam jangkauannya. Membuat wanita dihadapannya ini memandangnya dengan pikiran kosong.

"Maafkan aku." Sekali lagi kata itu terucap, dan yeah Kijoon berhasil membawa Jiah ke pelukannya.

BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang