Airen dan Aidelore

3.5K 232 7
                                    

"APA?!" Aku benar-benar shock dengan apa yang terjadi. 

Sepertinya bukan hanya aku yang merasakannya, kedua orangtuaku pun begitu. Mereka terdiam kaget, sekilas melirikku dengan tatapan takut dan terintimidasi. Sementara laki-laki tinggi itu duduk dengan sangat santai, memandangku dengan tatapan tajam. 

"Bagaimana?" tanyanya lagi, menghilangkan kesunyian yang memuakkan. 

Aku berpandangan dengan ayah dan ibuku. 

"Maaf, tapi saya baru bertemu Anda," kataku. 

"Ada masalah dengan itu?" balasnya santai. 

Aku mendengus kesal. "Tidak ada masalah dengan itu, yang bermasalah itu otak Anda!" 

Ayah memegang tanganku, berusaha menenangkan. Aku memandang wajah ayah, terpatri jelas dalam matanya aku harus bersikap tenang. 

"Maaf. Tapi, Airen masih sangat muda, usianya baru 16 tahun dan belum menyelesaikan sekolahnya," 

"Saya tak pernah masalah dengan itu," 

Gigiku bergemeletuk hebat mendengar jawabannya. "Saya yang masalah!" selaku sambil melotot ke arahnya. Aku tidak peduli dengan beberapa bodyguard yang menatapku tajam atau dengan pandangan dingin sang presiden. Halo? Ini semua menyangkut masa depanku. 

Lagi-lagi ayah bertindak. Ia berusaha menenangkanku, kemudian dengan helaan nafas panjang, beliau memberanikan diri memandang presiden. "Maaf, jika Airen tidak bisa menerima Anda, maka saya tidak bisa menyetujuinya. Semua ini ada di tangan Airen," 

Sang presiden terdiam sejenak, memandang ayah dan beralih memandangku. Senyuman tipis terukir di wajahnya yang sekeras baja. "Bisa saya berbicara dengan putri Anda, secara pribadi?" 

Aku meneguk ludah, bisa dilihat dari tatapan pria itu, ia mengajakku keluar. Ayah mengiyakan dengan berat hati, begitupun aku yang keluar dengan berat hati pula. 

"Kita bicara di mobil saja," ucapnya. 

Aku hanya bisa membalasnya dengan mengangguk. 

Sang presiden langsung meminta supirnya keluar dari mobil dan para bodygurad-nya segera menjaga mobil itu. Ia membukakan pintu untukku, lalu masuk melalui pintu yang sama. Ia duduk persis di hadapanku. 

"Mobil ini kedap suara, sehingga kupastikan tak ada yang mendengar percakapan kita," katanya sembari memandangku intens. 

Tidak kutanggapi ucapannya itu. Aku lebih memilih memandang keluar jendela dan menyaksikan rumahku yang damai. 

"Airen," panggil sang presiden dengan suara beratnya yang nyaris membuatku terpesona. "Aku tak mau berlama-lama, kau harus menerima lamaranku," 

"Kenapa? Apa ada alasan yang kuat bagiku untuk menerima lamaranmu?!" tantangku. 

Mata sang presiden yang bagai elang itu seketika menajam, lebih tajam dari yang ia lakukan sebelumnya. "Mungkin alasan pertama adalah Aidelore, alasan kedua kota Airen, alasan ketiga ayahku, dan alasan keempat adalah keluargamu," 

"Maksudmu?" 

"Kau tahu kan, aku tak akan menyerah hanya dengan satu keadaan? Aku akan melakukan apapun demi mendapatkan apa yang aku inginkan?" 

"Aku tak mengerti tentang alasan itu," 

"Pertama, Aidelore. Kau harus menikah denganku karena itu yang terbaik bagi Aidelore, kau tahu kan syarat menjadi pemimpin negara ini adalah memiliki pendamping hidup. Kedua, kota Airen. Kau pikir akan bagaimana kota Airen setelah kau menjadi istriku? Ketiga, ayahku. Beliau sedang sakit dan menginginkanku untuk memiliki pendamping hidup secepatnya..." 

Mr. PresidentWhere stories live. Discover now