Alfeandra jelas tahu, bahwa sejauh ini hidupnya memang terlalu rumit, antara ia hidup atau tidak pun masih menjadi pertanyaan besar di kepalanya.
Andai mereka tahu, Alfeandra juga ingin didengar, andai mereka tahu bahwa Alfeandra juga ingin dimengerti. Ia rasanya ingin berteriak sekuat-kuatnya pada bumi agar seisinya tahu bahwa ia pun sangat lelah.
Malam ini, setelah beberapa jam lalu ia tiba di Jakarta, harusnya ia diperlakukan sebagaimana sang anak yang benar-benar 'Pulang'. Tapi kenyataan terlalu jahat memihak pada anak kecil ini, kedatanganya disambut perihal perjodohan klise dengan iming-iming dua saham perhusahaan yang di matanya sama sekali tidak penting, bukan sambutan hangat seperti; "Mama kangen nak", atau "Cape yah? Mau makan apa? Mama masakin." jangan harap. Bahkan tatapan mamanya menjelaskan bahwa ia datang seperti sumber malapetaka.
Alfeandra tidak akan setiap saat menjadi laki-laki yang ketawa-ketiwi ngalor-ngidul dengan celana kolor bolanya, Alfeandra tidak akan setiap saat menjadi laki-laki yang meringis konyol hampir setiap detik. Ia juga punya busuk yang ia simpan rapat-rapat jauh di dalam dirinya.
Ia nekat memasuki kediaman keluarga baru Ibunya, tak peduli walau satpam di rumah itu sudah terseok-seok mengejar langkahnya yang lebar-lebar.
"Mas, tunggu, mas nggak bisa sembarangan masuk aja." Satpam yang berusia setengah abad itu menarik bahunya hingga Andra berbalik dan menatap malas orang tua ini.
Andra menarik sedikit dasinya yang terasa mencekik leher, mengembuskan napas lelah, "Kenapa pak Irwan? Saya juga anak dari salah satu tuan rumah di sini, kenapa saya nggak berhak masuk?" Tanya Andra dengan alis yang naik setengah.
Pak Irwan—Satpam berumur setengah abad yang menjaga rumah keluarga baru mamanya, hanya mengalihkan netranya kesana kemari. Resah.
"Pak Irwan balik ke depan aja, biar Andra di sini."
Orang tua itu segera mengangguk setelah mendapat perintah dari wanita yang datang dengan gaun tidurnya yang modis beserta senyum ramahnya. Wanita yang menurunkan kesamaan wajahnya, baik mata, hidung, bibir dan lainya. Wanita yang harusnya setiap pagi kala ia membuka mata ada di rumah, setiap sore menyambutnya pulang atau hanya sekadar mengobrol kecil ditemani secangkir teh layaknya anak dan ibu. Tapi sekali lagi, kenyataan terlalu jahat untuk anak kecil ini.
Satpam itu berjalan keluar meninggalkan Andra dan nyonya pemilik rumah ini, "Apa kamu dateng ke sini dengan pikiran terbuka, setuju mau menikahi Nahya? Empat bulan terakhir kayaknya lebih dari cukup buat kamu hitung berapa untungnya kita kalau bisa bersatu dengan perusahaan ayahnya?"
"Cuih!"
Andra meludah, menatap wanita itu tenang. Tidak ada perubahan ternyata selama empat bulan terakhir kali ia menginjakan kaki di rumah ini. Semua masih tentang uang, uang, dan uang.
"Nggak akan pernah aku nikahi jalang yang udah ditidurin sama ayah tiri aku sendiri—oh maaf, maksudnya suami baru mama. Ayah aku cuma satu dan aku nggak akan mati kelaparan cuma karena nggak menjilat perusahaan mereka, uang yang papa tinggalin lebih dari cukup buat beli banyak jalang kayak Nahya. Sepeser pun aku nggak sudi makan uang mereka."
"PLAK!"
"Bajingan! Apa maksud kamu!? Anak sialan! Sejak dulu kamu memang beban! Sama sekali nggak berguna! Andai kamu tahu, saya sangat menyayangkan rahim ini mengandung anak seperti kamu!" Teriakan mamanya menggelegar seantero di rumah megah ini.
Pipi kiri Andra panas bukan main, rasanya hingga kebas. Bahkan warna kulit putihnya seketika berwarna merah padam. Ia memandang wanita di depanya itu, kemudian terkikik geli, ia menggulung lengan kemeja navy nya, menarik koper ukuran kecilnya dan melewati mamanya, "Aku mau tinggal di sini. Walaupun aku beban, aku nggak berguna, aku tetep berhak tinggal di sini."
Andra melewati mamanya yang masih mengatur napasnya yang memburu serta wajahnya yang memerah— menahan marah.
Sebelum langkah kakinya menuju kamar tamu, seorang anak kecil yang mungkin kisaran usia lima sampai tujuh tahunan datang dengan boneka kelinci kecil di pelukanya, mata dengan manik Almond jernih yang sama seperti miliknya, menatap Andra sebentar kemudian ia menghampiri mamanya yang masih berdiri di tempat.
"Maa, kenapa mama teriak-teriak? Kata bibi nggak baik berisik malem-malem." Anak perempuan itu menarik ujung baju mamanya. Andra masih setia menatap kejadian itu. Mamanya berbalik, menghapus cepat air di ujung matanya, berjongkok, "Enggak kok, kenapa Niel belum tidur, hm? Udah mau tengah malem loh, besok kalau telat ke sekolah gimana?"
Andra memalingkan kepalanya. Melanjutkan langkahnya kembali ke kamar tamu hingga suara adik tiri dan mamanya tidak terdengar lagi setelah ia makin menjauh.
Air matanya meluruh begitu saja.
*****
Dengan jelas, Andra mendengar dentingan suara sendok dan piring yang beradu tak jauh dari tempatnya duduk kini.
Gelak tawa kedua adik-adik tirinya memenuhi ruangan, suara mamanya yang amat memperhatikan keluarga barunya. Andra geming, sekujur dadanya sangat sesak, ada banyak hal yang mulai bermunculan di dalam kepalanya.
Diam-diam, ia tiba-tiba merindukan papanya. Jauh sebelum laki-laki bajingan itu merampas dan mengganti posisi papanya juga kebahagiaanya, mungkin Andra tidak akan tumbuh seperti sekarang. Gelenyar nyeri di dadanya kian hari kian menjadi. Mustahil sembuh. Dahulu, Andra pun pernah memiliki keluarga kecil yang hangat, sebelum papa seberhasil ini, mereka punya kehidupan yang jauh dari kata mewah. Setiap pagi mereka akan sarapan ala kadarnya orang-orang kasta biasa, tahu-tempe dan sambal terasi menjadi lauk paling nikmat, kemudian mama yang tidak tahan akan ekonomi yang makin mencekik di desa memutuskan untuk merantau di Jakarta, papa mulai berinisiatif kursus batik juga pembutan kain jarik. Usaha papa melonjak drastis, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, akhirnya Industri kain batik papa meningkat pesat hingga diekspor ke luar negri.
Dan mama hilang kabar hingga tujuh tahun.
Andra adalah anak laki-laki tunggal, wajar jika ia betul-betul terganggu dengan mamanya yang tak kunjung pulang. Akhirnya Andra nekat mencari mama di Jakarta tanpa restu papa, hampir satu bulan lamanya ia mencari wanita itu, hingga ia hampir menyerah dan pulang ke Jogja, ia menemukan wanita tersayangnya.
Sayangnya, mamanya sudah hidup bahagia dengan bajingan itu.
Tiga tahun di Jakarta, mama menikah lagi hingga melahirkan adik tiri sulungnya, Nadeo. Tanpa mengatakan apapun terhadap keluarganya, terhadap anak tunggalnya. Andra sempat dimaki habis-habisan oleh bajingan itu— ayah tirinya, bahwa Andra mengaku-ngaku sebagai anak mamanya, menganggap ia penipu.
Ia pulang, membawa kabar paling buruk yang pernah papanya dengar. Selang dua tahun kemudian, papa sakit kemudian meninggal. Papa meninggalkan banyak kenangan, sayangnya jejak-jejak itu papa tinggalkan lebih banyak untuk mama.
Papa terlalu dalam menaruh hati pada mama sehingga kepercayaanya mudah ia taruh begitu saja, bahkan ketika hatinya diremukan dan kepercayaanya dipatahkan, do'a papa setiap malam selalu sama dan hanya satu; Mama bersedia kembali ke keluarganya.
Salah satu alasan Andra lebih mencintai papa alih-alih mama, adalah karena ia lahir dan memiliki gen dari laki-laki setulus papanya. Do'a papa dahulu setiap malam ia lanjutkan; Semoga mama tidak pernah menelan kecewa sepahit ia dan papa merasakanya. Bohong jika hatinya tetap baik-baik saja ketika mama mencecarnya dengan hinaan yang lagi-lagi ia dengar kala datang ke rumah ini.
Apalagi ketika ia tahu ketika seorang ibu menyesal pernah mengandung anak seperti dirinya.
"Andra nggak diajak makan bareng, ma?" sayup-sayup, ia mendengar bajingan itu mulai berdrama dalam keluarga ini.
"Nggak, udah makan duluan dia." Sahut mama yang jelas-jelas bohong, Andra sama sekali tidak menelan apapun setelah sampai di Jakarta.
Andra berjanji, ia akan membuat bajingan itu merasakan bagaimana rasanya dicampakkan oleh orang yang disayang.
Berambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita | Sagara Pandu
Fiksi RemajaBerbagai macam keadaan hidup jelas jatuh kepada berbeda-beda orangnya. Namun hidup jauh lebih menyenangkan jika didampingi oleh Sagara Pandu. Pria dengan apa adanya, dengan segala yang melekat pada Sagara Pandu, Eza menyukainya. Entah bagaimana bagi...