Part 9. Emily yang Mencurigakan

265 16 1
                                    

   Sore harinya Hevelin dan kedua adiknya bermain di taman komplek seperti biasa. Sekolah Tifa yang jauh, memaksanya untuk menginap di rumah neneknya.

   Saat Hevelin tenggelam dalam alunan musik di earphone-nya, terdengar suara gaduh sehingga Hevelin melepas earphone-nya. Ia memandang kedua adiknya yang ada di dekatnya dengan penuh tanya. Mifa menjawab dengan menggelengkan kepalanya sambil mengangkat bahunya.

   Hevelin dan kedua adiknya langsung ke sumber suara gaduh karena penasaran. Sekerumunan orang tengah berkumpul. Hevelin menjinjit untuk melihat dari balik punggung orang-orang. Hevelin terkejut dan menengok ke adik-adiknya yang berusaha melompat-lompat agar dapat melihat apa yang ada di balik kerumunan tersebut.

   "Ada yang meninggal," ujar Hevelin mengejutkan.
   "Yang benar saja," kata Mifa.
   "Jangan bicara sembarangan," sambar Perlinda.

   Beberapa orang dari kerumunan tersebut mundur saling bertabrakan. Kini mereka bertiga dapat melihat dengan jelas. Seseorang yang tidak menyadarkan diri dibopong oleh beberapa orang lainnya.

   "Cepat antar ia ke rumahnya! Kau, orang yang tahu rumahnya, tunjukkan jalannya kepada kami!", perintah salah satu orang yang ikut membopong kepada lelaki pirang yang membawa sepeda. Bukan, bukan sepeda miliknya. Itu pasti sepeda milik wanita yang pingsan itu.

   "Ayo kita ikuti, aku ingin melihat sesuatu," Hevelin berapi-api. Kedua adiknya saling menatap kebingungan tetapi tetap mengekor Hevelin. Rumah itu cukup jauh dari Rumah Hevelin, tapi tidak terlalu jauh jika kau menempuhnya dari taman. Hevelin melihat orang-orang membopongnya ke sebuah rumah. Rumah hitam dan seram di ujung jalan. Kemudian orang-orang tersebut membuka pagar rumah itu, dan seorang wanita keluar dari rumah itu menyuruh rombongan itu masuk. Dilihat dari pakaiannya, sepertinya wanita itu adalah pembantu di rumah itu.

   "Oh sial!", Hevelin berhenti di jarak cukup jauh dari rumah itu. Ia masih dapat melihat jelas walaupun cukup jauh.

   "Itu memang benar rumah Emily," Hevelin mengernyitkan dahi.

   "Hah? Apa? E.. Emily? Hmm..," Perlinda berpikir keras. "Nama yang bagus."

   "Ah, bukan itu. Itu tidak penting. Sial, ternyata aku salah," ujar Hevelin dengan wajah lesu.

   Tanpa diminta, Hevelin menceritakan suatu peristiwa kepada adiknya. Adiknya menyimak serius.

   Hevelin menceritakan secara detil kejadian pada tiga hari yang lalu saat ibunya meminta Hevelin ke toko di pertigaan ujung jalan untuk membeli kebutuhan memasak dengan sepedanya. Ketika pulang dari toko, ia mendapati Emiliy sedang berjalan linglung di dekat gerbang rumahnya. Kemudian ia menengok ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada yang melihatnya. Beruntung Hevelin hanya mengawasi dari kejauhan dan di balik pepohonan yang besar nan rimbun. Ia berjalan mengendap-endap, membuka gerbang, lalu masuk sambil terus menengok ke belakang seakan ia takut sedang diawasi seseorang. Ia kemudian memutar gagang pintu, lalu masuk dengan perlahan dan kembali menutup pintu dari dalam secara perlahan. Tentu saja itu sangat mencurigakan. Maka ketika kelas Hevelin kehilangan uang lalu ia melihat Si Emily yang mencurigakan, Hevelin mencurigakannya karena sebelumnya ia sudah melihat Emily yang mengendap masuk ke dalam rumah orang. Hevelin berpikir ia melakukan hal yang sama pada sekolahnya.

   "Tapi ternyata itu memang benar rumahnya," gumam Hevelin mengakhiri ceritanya.

   "Mengerikan yah," ujar Perlinda dan Mifa serempak. Hevelin mengatupkan bibirnya sambil mengangguk.

   Mereka kembali ke rumah dengan berbagai pertanyaan tentang Emily mengiringi perjalanan mereka. Mereka kembali beraktivitas seperti biasa ketika sampai di rumah. Hevelin pergi ke kamarnya untuk belajar.

   Pada malam harinya, Hevelin sampai di Hutan Rhejutjams. Ia turun dari bus sekolah di barisan paling depan. Ketika semua siswa sudah turun dengan rapi, Bu Raisha mengatur kelompok-kelompok agar dapat disusun barisannya dengan rapi. Hevelin ditunjuk sebagai ketua kelompok karena pandai dalam hal memimpin dan baris berbaris. Kemudian ditunjuk Jinka, Uliva, Gendi, Renafa, dan Nina sebagai anggota kelompok bersama Hevelin. Masing-masing kelompok bergiliran untuk berjalan memasuki batas kawasan hutan tersebut. Kelompok harus membawa dua senter. Ikuti petunjuk sampai ke tempat tujuan dan ambillah yang harus diambil. Waktu paling lama hanya 30 menit. Kelompok yang belum mendapat giliran harus masuk ke tendanya.

   Ada tiga jalur berbeda untuk sampai ke tujuan. Jadi waktu tiga puluh menit diisi oleh tiga kelompok sekaligus. Kini saatnya kelompok Hevelin. Hevelin berjalan di paling depan sedangkan di paling belakang adalah Jinka. Tentu saja yang memegang senter harus Hevelin dan Jinka. Banyak hantu tipuan yang mereka lewati. Bisa berupa boneka, kain yang sengaja dilempar, kentongan yang dililit kain putih lalu digantung, patung, bahkan beberapa orang menyamar. Saat mereka sudah melewati dua pos, dan kini tinggal tiga lagi, mereka dikagetkan oleh sesosok memakai baju putih dan dengan bedak tebal. Ya, mereka tahu pasti itu hanya tipuan tapi angin yang berhembus kencang dan menusuk di sumsum tulang seakan mendukung tipuan itu untuk membuat mereka merinding.

   "Ayo cepatlah!", seru Hevelin berjalan cepat melewati tipuan itu. Mereka mengikuti Hevelin dengan tergesa-gesa.

   "Aaaahhh...," teriak Jinka histeris saat tipuan itu berdiri di belakang Karen dengan tangan diulur ke depan untuk menghalangi Jinka berjalan. Dengan sigap Jinka melempar senternya ke kepala tipuan itu. Beruntung tidak mengenai tepat di wajah tipuan itu. Hevelin berjalan ke belakang untuk menenangkan Jinka.

   "Hei! Ada apa dengan kau? Aku hanya tipuan, tenanglah..," tipuan itu membuka wignya sambil menyeka sedikit bedak di sekita hidung dan mulut.

   "Andrew? Kau tidak ikut berkemah? Mengapa kau menjadi tipuan? Kau ini kan murid," ujar Uliva gusar. Andrew menengok ke belakang untuk berjaga-jaga.

   "Ssstt..," Andrew memperingatkan. Kemudian ia berbalik badan dan jalan begitu saja ke sembarang arah. Mereka hanya diam masing-masing saling berpikir. Mereka meneruskan jalannya sampai ke pos keempat. Mereka tidak berjalan berbaris lagi tapi sejajar karena hanya satu senter yang mereka miliki. Mereka bisa melihat disana sudah terdapat sekelompok yang telah mengambil harta karun dan tengah berbagi.

   Mereka mempercepat langkah kaki agar lebih cepat sampai ke tujuan. Mereka sudah didahului satu kelompok, kini mereka tidak mau terlewat lagi. Mereka sudah hampir sampai. Tiba-tiba muncul Emily dari balik pohon besar menghalangi jalan mereka. Ia menarik kerah baju Hevelin yang berada di tengah untuk memegang senter. Ia menyeret Hevelin menjauhi teman-teman sekelompoknya.

   "Ambillah ini," kata Hevelin sambil melempar senter ke arah tanah yang kelompoknya pijak. Ia pasrah ditarik oleh Si Emily konyol.

   "Hevelin! Hevelin!", seru teman-temannya melihat Hevelin menjauh.

   "Hevelin, Hevelin! Bangunlah!", Ibu menggoyang-goyangkan tangan Hevelin. Hevelin membuka matanya. Ia tersadar itu hanyalah mimpi. Melihat Hevelin sudah bangun, ibu pun keluar dari kamar Hevelin.

   Banyak sekali hal-hal yang harus kupikirkan akhir-akhir ini. Pencuri, Emily, dan sekarang mimpi ini. Apa arti dari mimpi itu? Ah sudahlah tidak semua mimpi mengandung arti. Toh, mimpi teman sekelas itu sudah sering. Lalu hutan itu.. Hutan.. Rha.. Ah sial aku lupa. Padahal dalam mimpi itu aku sudah tidak asing dengan hutan itu. Lalu tiba-tiba Emily muncul. Siapa sebenarnya Emily yang mencurigakan itu. Mimpi memang..

Makasih banyak yg udah baca cerita aku. Maaf kalo jelek dan byk banget typo soalnya bikinnya dari HP jadi auto text nyaa sangatlah menganggu. Ohiya kalo suka vote yash thankss, kalo ada yg kurang atau mau saran comment aja sekali makasih dan maaf karena jelek. Maaf juga kebanyakan ngomong hehee

Hevelin (Pengungkap Misteri)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang