Detik ini kehidupan baru akan segera dimulai. Tentunya seorang Arin sudah beranjak dewasa. Ia juga harus bisa menentukan pilihan untuk dirinya sendiri. Tidak ada lagi kata untuk malas. Ia paham kalau satu tahap ini merupakan penentu untuk masa mendatang. Arin sangat bahagia, karena sekarang ia kembali satu kelas dengan Ayra.
Arin merasa semakin ia dewasa, maka semakin banyak beban yang akan ia tanggung. Belum lagi ia harus memikirkan ke mana tujuannya setelah ini.
"Arin ..." panggil Ayra mendekatinya.
"Arin ..." panggil Ayra menepuk pelan bahu Arin.
Ayra mengulang panggilannya, karena panggilan pertama sama sekali tidak mendapat respons dari sahabatnya.
"Eh iya, Ra. Kenapa?" tanya Arin tersadar dari lamunannya.
"Nggak, lo kenapa? Lo sakit? Dari tadi gue perhatiin kayaknya lo sering bengong deh. Emang lagi mikir apa? Ayo cerita ke gue. Mana tahu dengan lo cerita akan lebih merasa tenang," tutur Ayra ikut duduk di samping Arin.
"Gue baik-baik aja, Ra," ucap Arin santai.
"Jangan bohong. Gue tahu lo lagi mikir sesuatu dari tadi."
Ayra memutar bola matanya malas. Jujur, hal ini yang paling tidak ia suka dari sosok Arin. Ia selalu merasa baik-baik saja, padahal sebaliknya. Ia juga selalu berusaha untuk menyembunyikan bebannya sendiri.
"He he he, sebenarnya nggak penting juga sih, Ra. Gue dari tadi cuma mikir setelah ini gue akan lanjut ke mana. Gue bingung," jelas Arin.
"Nah, gitu. Lo cerita aja ke gue, jangan ngeles terus. Jujur, gue suka banget sama topik ini. Soalnya gue juga mikir itu. Iya, lo tahu kan gimana keluarga gue. Susah untuk izin keluar," sahut Ayra menghembuskan napas kasar.
Arin mengangguk pelan, ia sangat paham bagaimana kondisi keluarga sahabatnya. Sebenarnya mereka tidak jauh berbeda. Mereka sama-sama memiliki keluarga yang super ketat. Apalagi untuk izin pergi jauh. Tentu saja itu bukan hal yang mudah bagi keduanya.
"Iya, gue paham. Ooo iya, tapi apa lo udah nemu salah satu kampus impian yang mau dikejar?" tanya Arin penasaran.
Pertanyaan Arin hanya dibalas gelengan kepala oleh Ayra.
"Gimana kalau kita cari rekomendasi kampus yang bagus? Keluar negeri boleh, tapi nggak usah jauh banget," ujar Arin bersemangat.
"Wah, boleh tuh. Gue mau," jawab Ayra gembira.
"Btw, lo mau ngambil jurusan apa, Ra?" tanya Arin.
"Iya jurusan apa lagi kalau nggak kedokteran. Itu mimpi gue, Rin. Gue mau jadi dokter," jelas Ayra.
"Ternyata masih sama. Gue pikir kita udah beda haluan. IT'S MY DREAM, Ra!" ucap Arin sembari terkekeh.
Arin mulai mengeluarkan ponselnya. Ia mulai mengetik daftar fakultas kedokteran terbaik di Asia. Mereka berdua fokus memperhatikan satu persatu informasi yang didapat. Perlahan mereka membaca keunggulan dan kekurangannya. Tentu saja yang masuk ke dalam daftar urutan terbaik itu sudah terbilang hampir mencapai tingkat sempurna.
"Ra, ini kayaknya ada yang bagus deh," ujar Arin menahan jari sahabatnya.
"Bagian mana? Lo udah nemu?" sahut Ayra penasaran.
"Ini."
Arin mengarahkan jarinya menunjuk salah satu gambar universitas yang muncul di layar ponselnya. Iya, benar. Gadis itu sudah menemukan tempat yang tepat. Berada di luar negeri dan juga tidak terlalu jauh untuk dikunjungi. Ayra mengeja nama universitasnya.
"Lo yakin kita di sana? Gue rasa saingannya berat banget." Ayra mengerutkan dahinya.
"Iya, nggak yakin juga sih. Nggak ada salahnya kalau kita coba di sana. Mana tau hoki seumur hidup gue sama lo kepakai ke sana. Kita masih punya banyak waktu untuk nyiapin diri, plus mental. Jadi, jalan satu-satunya yang harus dipilih harus itu gunakan waktu dengan maksimal. Gue yakin, usaha nggak bakal ngkhianati hasil," jelas Arin.
"Gue setuju. Oke, kita pilih fakultas kedokteran yang ada di Universitas Nasional Singapura aja. Kita harus berjuang sama-sama buat mencapainya. Gue yakin kita bisa."
Ayra mengangguk yakin dengan keputusan yang mereka pilih. Mereka tidak pernah memiliki keinginan setinggi saat ini.
"Ooo iya, Rin. Sebenarnya gue masih belum yakin kita bakal bareng di sana. Bukan karena gue nggak punya keinginan penuh untuk lanjut di kampus itu, tapi faktor izin. Gue masih nggak yakin bokap sama nyokap ngasih izin untuk gue kuliah sejauh itu," gumam Ayra sedikit bingung dengan pilihannya.
"Masalah itu jangan lo jadiin beban dulu. Kita kan belum coba bilang ke mereka tentang ini. Hal penting kita usaha aja dulu. Mana tahu karena melihat kegigihan lo. Orang tua bakal ngasih izin. Kita sama, Ra. Gue juga gitu. Susah banget minta izinnya," sahut Arin menghembuskan napas panjang.
Arin berusaha menenangkan Ayra untuk bisa yakin dengan keputusan yang mereka pilih, meskipun di sisi lain ia juga terkendala dengan hal yang sama. Pastinya tidak ada orang tua yang mudah melepaskan anak mereka dengan jarak yang sangat jauh.
"Ayra, gue harap ini terwujud. Kita harus terus bareng nantinya. Oke?" ucap Arin memberikan jari kelingkingnya kepada sahabatnya.
"Oke. Gue harap juga gitu. Gue juga berharap kalau nggak hanya salah satu dari kita yang diterima di sana. Secara untuk bisa berhasil masuk ke universitas itu susah banget. Fighting!"
Ayra menautkan jari kelingkingnya dengan perempuan di sampingnya. Semoga semesta ikut memberikan restu terhadap pilihan mereka.
***
Sekolah menggelar acara yang sangat istimewa. Acaranya dihari oleh semua siswa, guru, dan beberapa tamu undangan lain. Kelas Arin ditunjuk menjadi salah satu pengisi acara. Mereka sudah mempersiapkan penampilannya dengan baik.
"Duh, gimana nih. Gue takut," decak Arin membatin ketika kelasnya dipanggil panitia.
"Tenang, Rin. Tenang. Lo harus tenang,"
Arin masih terus berusaha memberi semangat kepada dirinya. Sorot matanya beralih memperhatikan satu persatu orang yang menyaksikan penampilannya. Tenyata ia menangkap wajah Kak Arka yang turut menghadiri acara.
Arin langsung berlari mencari Ayra. Kebetulan mereka sempat berpisah selama persiapan, karena mereka mendapat peran yang berbeda.
"Ayraaa!" teriak Arin berlari ke arah Ayra.
Sewaktu berlari ia tersandung oleh sebuah pot bunga yang sengaja disusun di lorong sekolah.
"Aduh, sakit," umpat Arin kesakitan.
"Itu makanya kalau jalan hati-hati. Udah tahu lo hobi kesandung dan jatuh. Masih juga lari," ketus Ayra.
Arin mengerucutkan bibirnya mendapat omelan dari seorang Ayra.
"Iya, Ra. Gue khilaf tadi. He he he. Ooo, iya, Ra. Ada yang lebih penting yang mau gue kasih tahu ke lo," ucapnya memegang tangan perempuan di hadapannya.
"Apa?" tanya Ayra singkat.
"Kak Arka nonton kita tadi. Gue nggak sengaja nangkap wajahnya pas di depan tadi," ujar Arin bersemangat.
"Serius?"
Arin hanya mengangguk sembari tersenyum membalas pertanyaan terakhir yang dilontarkan sahabatnya.
To be Continue
Jangan lupa vote dan komen ya, Guys.
See You.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lynella (COMPLETED✅)
RomanceKita tidak bisa memilih akan jatuh cinta kepada siapa. Kita tidak bisa memaksa bahwa semua impian harus terwujud. Kita juga tidak bisa berharap selalu ada untuk mereka yang tersayang. Cerita ini merupakan bagian dari perjalanan, petualangan, dan...