Bagian 13

1.2K 102 5
                                    


Waktu aku masih remaja, aku sering bingung dengan sikap Om Yusrizal pada Nadine dan Kak Febri. Di tengah padatnya jadwal praktik di sebuah rumah sakit swasta besar di Jakarta, ia tetap mau mendampingi kedua putrinya. Menunggu Nadine mengikuti lomba sains yang memakan waktu seharian. Aku melihat Om Yus sama sekali tidak terlihat bosan. Ia menunggu di pelataran universitas tempat Nadine lomba. Ia tidak memiliki teman sebaya yang dapat diajak mengobrol. Berbeda denganku yang datang dengan beberapa teman.

Kini, aku memahami alasan itu. Bagaimana kebosanan bukanlah hal yang ditakuti saat harus sendirian menunggu putrinya. Bahwa, perasaan cinta dan sayang akan mengalahkan segalanya. Karena saat ini, aku melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Ayah. Menunggui Aurel yang sibuk membuat stand bazar di sekolahnya di akhir pekan.

Aku mengantarnya ke sekolah di Sabtu pagi. Setelah Mami datang untuk mengajak Hanum jalan-jalan. Meninggalkan Nadine dan kedua putraku yang akan menghabiskan waktu berjalan-jalan ke tempat wisata. Niatku yang akan meninggalkannya terhenti saat melihat seorang remaja laki-laki menarik tangan Aurel untuk bergabung dengan teman-temannya. Pikiranku langsung waspada melihatnya. Aku tahu jika laki-laki itu menyukai Aurel. Jadi, aku bersedia duduk di kursi panjang untuk mengamati kegiatan mereka.

Sekolah Aurel akan mengadakan bazar sebelum libur kenaikan kelas. Kelas sepuluh yang bertugas sebagai peserta bazar. Mereka dibagi menjadi beberapa kelompok dan mendirikan stan sebagai tempat berjualan. Kelompok Aurel memilih berjualan pernak-pernik. Kata putriku karena terinspirasi kegiatan yang sering kami lakukan.

Bazar itu sendiri adalah salah satu kegiatan yang dilaksanakan di samping lomba akademik, seni, dan olahraga. Mengundang sekolah lain sebagai peserta-yang membuatku terheran adalah sekolah yang diundang hanya sekolah swasta elite dan sekolah internasional. Aku senang melihat Aurel berbaur seperti ini.

"Malik."

Seseorang memanggil namaku. Aku menoleh dan mendapati sosok Miranda berdiri tidak jauh dariku. Ia menggunakan pinafore dress yang dipadukan dengan t-shirt denim. Ia menutupi kakinya dengan jins hingga betis. Lantai, ia berjalan ke arahku.

Aku duduk di kursi panjang dekat gazebo besar yang ada di dalam taman sekolah ini. Di hadapanku, ada lapangan yang cukup luas untuk nantinya dijadikan tempat bazar. Di pinggir, di bagian lorong, Aurel dan teman-temannya membuat hiasan untuk stan bazar kelompok mereka.

Katanya, "Ngapain elu di sini?" Ia lantas duduk di sampingku.

Ia mengatakan itu bahkan tanpa basa basi. Sangat khas dengan Miranda. Itu membuatku seringkali bingung. Bagaimana bisa ia dapat berteman akrab dengan Nadine dan Bening yang karakternya sangat berbeda jauh dengannya.

"Nunggu Aurel," balasku. Mataku melihat sosok putri sulungku yang masih asyik dengan menghias stan bazarnya.

Tapi, perempuan dewasa di sampingku justru membalas dengan tawa yang cukup keras. Beruntung, suasana yang agak bising membuat tawanya meredam hingga sepertinya tidak sampai terdengar oleh Aurel dan teman-teman kelompoknya.

"Astaga, Papa Malik," katanya akhirnya berkata. "Aurel mau kerja kelompok bukan pesta bikini." Katanya yang membuatku melotot ke arahnya. "Ngapain pakai ditungguin segala. Elu lihat, deh, enggak ada orangtua yang nunggu anaknya selain elu."

"Enggak apa-apa, gue lagi senggang."

"Emang Bright Sa lagi sepi sampai elu bisa senggang. Bukannya kalau weekend justru ramai pengunjung," ledeknya.

"Habis dari sini, gue juga ke sana," balasku. "Dan, gue bos, Miranda. Gue bayar orang buat memastikan usaha gue lancar."

Miranda malah menanggapi dengan tawa. Kali ini lebih pelan dari sebelumnya.

After Divorce-Cerita MalikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang