Extra Part 2

26.1K 1.7K 60
                                    

Haiii bertemu lagi. Selamat membaca. Semoga suka yaa..

"Bunda! Adek bayi kenapa kecil banget?" tanya Er takjub, asyik memperhatikan dan mentowel-towel pipi adiknya yang tertidur kekenyangan dalam gendonganku.

"Dulu Er waktu baru lahir juga segini lo," jawabku.

"Iya Bunda? Er pernah sekecil ini? Dulu Er juga nangis terus?" tanyanya dengan wajah polos menatapku.

Aku tersenyum seraya membelai kepalanya.

"Iya dong. Sekarang juga masih nangis kan ... kalau bangun tidur nggak ada Bunda masih nangis kan," godaku.

"Enggak! Enggak nangis!" sewotnya sambil mengerucutkan bibirnya. Wajahnya merah hampir menangis. Aku tertawa dalam hati.

"Ck. Bunda nakal ya, Er. Masak udah punya adek masih nangis. Bunda aja yang salah dengar. Kan kalau bangun tidur  nggak nangis. Er cuma manggil Bunda. Iya kan?" suara Mas Krisna dari arah sofa ikut nimbrung.

"Iya. Er nggak nangis kok. Er cuma manggil Bunda." Merasa dibela ayahnya Er yang hampir menangis merasa di atas angin.

"Oh gitu. Oke. Sini cium Bunda." Kuraih kepalanya dan kukecup sayang. Er langsung merangsek memeluk tubuhku.

Aku menatap Mas Krisna yang sedang memperhatikan kami. Dia tersenyum dan bangkit dari duduknya, memahami bahasa tubuhku.

Diambilnya si adek dari gendonganku. Dia terlihat luwes menggendong bayi berumur satu hari.

"Adeknya taruh di box dulu ya, Er."

"Iya Ayah. Adek bobok, Yah."

"Iya, sayang. Kekenyangan habis minum ASI." Mas Krisna mencium pipi si kecil, kemudian mengalihkan perhatiannya pada Er. "Er mau dipanggil apa sama Adek? Mas atau Kakak?

"Kakak aja Ayah, kayak Fauzan juga dipanggil Kakak sama adeknya."

Er mulai berdiri diatas bed untuk melihat adiknya yang digendong Mas Krisna.

"Hati-hati, Er." Aku mengingatkannya. Anak ini sudah berat, kalau sampai lonjak-lonjak bisa ambruk bed-nya.

"Er cuma mau cium Adek!," protesnya.

Mas Krisna mendekatkan pipi adek bayi ke bibir Er dan langsung terdengar suara 'mmuaah'.  Duh, sepertinya ludahnya banyak yang menempel di pipi adiknya.

"Adek namanya siapa, Er?" tanya Mas Krisna.

"Kaivan Sadina!" jawab Er bangga.

"Artinya apa?" tanya ayahnya lagi.

Er tampak bingung. Dia merangkak mendekatiku malu-malu dan berbisik meskipun semua orang yang di ruangan ini juga akan mendengarnya. "Artinya apa ya, Bunda. Er lupa."

"Ehmm, apa ya? Bunda juga lupa. Tanya ayah coba," jawabku pura-pura lupa.

Er tidak bergerak. Dia malah menggelendot manja. Malu dia mau tanya ayahnya. Karena dari kemarin sudah diberitahu tetapi selalu lupa artinya.

Mas Krisna tertawa melihat kelakuan Er.

"Artinya adeknya Kakak Er ini ganteng dan pemilik kebaikan. Semoga ya, Kak," ucapnya seraya meletakkan Kaivan di box samping bed-ku.

Er beringsut turun dari bed dan mendekati box bayi tersebut. Ikut memperhatikan adeknya meskipun harus berjinjit.

"Mas, Er diajak makan dulu. Sudah hampir pukul dua belas. Nanti kantin keburu ramai lo. Mbak Sumi nggak bisa ke sini soalnya. Nggak ada yang bisa antar dia untuk kirim makanan. Pak Mul lagi jemput Mama Papa di Solo" ucapku.

Ketika Cinta Tak Mengenal Basa-basiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang