Cerita Esperanza

266 46 4
                                    

"Emang gue anak baik-baik."

Aku mengerutkan kening. "Kalo lo anak baik-baik, kenapa bisa ada di ruangan detensi? Lo tau fungsi ruangan ini, kan?"

Esperanza berdecak. "Taulah. Ruangan hukuman buat murid yang poinnya di atas 150, kan?"

Aku menjetikkan jari. "Nah. Jadi, apa yang ngebuat lo berada di sini?"

Cewek itu bergeming, tampak berpikir sejenak. Hingga akhirnya, ia mengendikkan bahu bimbang. "Gue terjebak."

"Terjebak?" ulangku, memastikan.

"Iya, gue terjebak di bawah meja." Lagi, ia menunjuk meja berdebu yang berada di dekat pintu masuk ruang detensi.

Meski bingung dengan pernyataannya, aku tetap mengiakan.

"Sejak kapan lo terjebak di sana? Perasaan pas gue masuk sama Pak Husein, ruangannya sepi. Kenapa lo nggak minta bantuan aja ke Pak Husein kalo emang terjebak?"

Raut wajah Esperanza mendadak murung. Aku seketika diliputi perasaan bersalah.

Eh.

Apa tadi salah ngomong, ya?

"Maaf," sahutku refleks menyadari suasana berubah canggung.

Esperanza mengulum seulas senyum lebar. "Nggak. Nggak papa. Sans aja. Iya, gue daritadi di bawah meja. Kenapa nggak minta tolong ke Pak Husein ... gue takut."

"Takut kenapa?"

"Aduh, susah dijelasinnya, deh. Pokoknya gue takut kalo Pak Husein tahu."

"Emang bukan Pak Husein yang ngebawa lo di ruangan ini?"

Ia menggeleng. "Bu Agni."

"Bu Agni yang mana? Maaf, gue anak baru."

"Bu Agni guru Kimia yang kecil pake kacamata."

Hening sejenak. Aku berusaha mencerna penjelasannya meski kebingungan merayapi benakku.

Pertama, apa hubungannya terjebak di bawah meja dengan takut jika Pak Husein tahu?

Kedua, Bu Agni adalah guru Kimia, bukan BK. Lantas, kenapa beliau bisa membuat Esperanza berada dalam ruangan ini?

"Terjebak di sini ngebuat gue khawatir setengah mampus sama nyokap," sahutnya tiba-tiba seraya meremas ujung rok abu-abunya.

"Nyokap lo kenapa?" Rasa penasaranku mulai tergelitik.

Cewek berambut sebahu di sampingku itu menghela napas berat. "Gue anak tunggal. Bokap udah pergi sejak gue berada dalam kandungan. Sejak saat itu, nyokap nggak pernah menikah lagi, ia menjalankan peran sebagai Ibu sekaligus Ayah dengan sangat baik. Nyokap memberikan nama Esperanza Filosofia. Lo tau maknanya?"

Aku menggeleng. Raut wajah Esperanza seketika berbinar cerah. Mengamati wajah cewek itu dari dekat, sukses menjalarkan kehangatan di benakku.

"Esperanza diambil dari Bahasa Spanyol yang artinya 'harapan'. Sedangkan Filosofia itu dari Bahasa Yunani philosophia. Terdiri atas dua kata, philein dan sophia. philein artinya cinta dalam arti yang luas. Kalau sophia artinya kebijaksanaan."

"Love of wisdom. Cinta kebijaksanaan," celetukku teringat buku Filsafat Periode Socrates penulis Frederick Copleston yang baru selesai kubaca dua minggu lalu.

Esperanza mengarahkan kedua jempolnya kepadaku. "Seratus buat lo. Jadi, kalau digabung, gue sebagai harapan nyokap untuk menjadi seseorang yang cinta kepada kebenaran. Mencintai atau mencari kebijaksanaan dalam arti yang mendalam atau mencari kebenaran sampai ke dasar-dasarnya. Seseorang yang mengabdikan hidup bagi perkembangan ilmu pengetahuan."

"Maka dari itu, sebagai harapan nyokap pula, gue bertekad untuk selalu berprestasi di bangku sekolah. Eh, tapi malah terjebak di ruang detensi ini. Buruk banget! Gue takut nyokap kecewa karena hal ini."

Aku berdecak kagum. "Pantes sih, kecium bau ambis. Liat seragam lo, rapinya kebangeten!" pujiku, tulus.

"Sialan lo." Esperanza terkekeh. Tawanya terdengar renyah sekaligus bersahabat di telingaku.

Aku sontak tergelak. Tawa kami seketika mengudara mengisi kekosongan ruang detensi yang sunyi. Seru juga mendapat hukuman di ruang detensi. Setidaknya, jika ada Esperanza Filosofia di sampingku.

•••

a/n
Oh yaa Sayf itu bacanya Saif ya wkwkw. Bukan say-ef.
Kira-kira, kalian mikir apa nih tentang Esperanza? 🙈

Cheers,
Diffean

Ruang DetensiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang