Happy reading :)
"Pacaran sama adek kelas?"
Ara yang sibuk chatingan mendadak menghentikan kegiatan nya. Ia mendongak menatap Valdo yang berdiri di belakang nya.
"Kok lo tau gue pacaran sama adek kelas?" tanya Ara kaget. Padahal ia dan sahabat nya ini kan beda sekolah. Kenapa Valdo bisa tahu? Ara aja belum mempublikasikan hubugan nya dengan si pacar ke sosial media. Apakah sahabat nya ini anak indigo?
Valdo mengernyitkan keningnya. Padahal ia tadi bertanya. Bukan menebak. Saat hendak menjawab. Suara Valdo tertahan di tenggorokan karena Naldi menyalip ucapan nya.
Naldi melototkan matanya. "Apa? Lo pacaran sama adek kelas?"
Ara memutar bola matanya malas. "Huhh.. Kebiasaan kan. Kek baru sekali aja mendengar gue pacaran."
"Iya." jawab Ara dengan nada malas.
"Nggak boleh. Lo putusin cowok lo itu sekarang." titahnya seenaknya.
"Apasih. Main suruh-suruh putus aja. Baru juga pacaran." keluh Ara yang sebal dengan ucapan Naldi.
"Huuh.. ngeyel banget sih jadi orang. Kalo gue bilang putus ya putus." keukeh Naldi
Naldi yang tadi nya sibuk main game. Kini tatapan nya beralih ke Ara. Ia beranjak dari tempat duduk nya, lalu merebut ponsel Ara secara paksa.
"Apa apaan main rebut hape gue. Balikin, Nal." pinta Ara. Ara mencoba merebut ponselnya dari genggaman Naldi, dan ternyata, kecepatan refleks menghindar Naldi sangat cepat. Membuat gadis itu cemberut.
Melihat wajah Ara yang cemberut. Naldi mencoba bernegoisasi. "Nah, coba lo ambil hape lo di tangan gue. Kalo bisa lo ambil nanti gue traktir beli es dung dung!" seru Naldi seraya mengangkat tangan kanan nya tinggi tinggi.
Ara menatap tangan Naldi sejenak. "Posisi tangan nya diam aja ya. Nggak usah banyak gerak." entah mengapa mendengar embel embel kata traktir, membuat Ara tergiur.
"Oke." sahut Naldi dengan mantap.
Ara berusaha mengambil ponselnya dari jangkauan Naldi. Saking tinggi nya sahabat nya itu, Ara sampai berjinjit. Ia mencoba meraih ponsel dari genggaman Naldi, tetapi Ara masih saja tidak bisa menggapai ponsel miliknya itu.
"Padahal tangan gue diam aja lo dari tadi. Masa gitu aja nggak bisa ngambil ponselnya?" ledek Naldi melihat tangan Ara bergerak kesana-sini mencoba meraih ponsel yang berada di genggaman nya.
Ara menatap Naldi dengan kesal. "Ya salahin tinggi badan lo lah. Suruh siapa tinggi menjulang kayak tiang. Gue yang pendek, kan susah ngambilnya." rengut Ara yang masih berusaha menggapai ponselnya.
"Makanya, banyakin minum susu hilo biar tinggi."
"Biar tinggi nya tuh ke atas. Nggak kesamping." bisik Naldi tepat di telinga Ara.
Ara mendelik mendengarnya. Sahabat nya yang satu ini emang paling bisa buat dirinya makin kesal.
"Awas aja ya kalau suatu saat gue tinggi. Nggak mau lagi gue temenan sama kalian." sungut Ara.
"Nggak mau temenan? Cuma karena level tinggi nya udah beda?"
Ara mengangguk.
"Kalau beda dikit dari gue. Itu masih pendek namanya. Hahahahaha."
Ara makin merengut mendengar ejekan Naldi. "Diem, Nal. Tawa lo ngeselin." sungutnya.
"Saya ganteng dan nggak pernah rese. Mulai detik ini saya diam."
Ara membeo. Bagus sih Naldi nurut dengan ucapan nya. Tapi yang bikin janggal itu kenapa ia mengatakan dirinya nggak pernah rese? Kekurangan kaca kah di rumah nya ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Ultimate Happines
Teen FictionPacaran harus minta persetujuan. Sudah minta persetujuan di suruh nolak. Pacaran tanpa persetujuan disuruh putus. Di kisah hidup orang lain, ada abang yang tukang ngatur dan nggak ngebolehin adiknya pacaran. Di kehidupan Ara ada kelima sahabatnya...