0.7 Hubungan yang Terlalu Menarik Jika di Lewatkan

4 7 2
                                    

Menangis adalah seumpama oksigen yang datang di saat rongga dada sesak, menangis adalah seumpama BAB ketika sudah tiga hari tidak membuang air. Lega.

Begitupun yang dirasakan oleh Andra. Ia tidak pernah menahan diri untuk tidak menangis di saat ada masa yang tepat, alih-alih melarikan diri ke club dan meneguk alkohol hingga tepar, ia lebih memilih menyumbat telinganya dengan earhphone, duduk di depan jendela dan memeluk lututnya sembari memandangi apa yang ada di luar jendela kemudian membiarkan air matanya menetes deras begitu saja.

Oke, ini bukan tutorial menangis dengan gaya.

Membiarkan lagu-lagu Indie— apa saja yang enak didengar, mengalun memenuhi gendang telinganya yang kemudian bercampur dengan ramainya isi kepala, yang saking ramainya, Andra tidak tahu harus mendengarkan yang mana dulu. Pikiranya begitu kalut, dari hal-hal kecil yang semula mengetuk pintu dirinya, hingga lama-lama ketukan itu menjadi gedoran yang amat memekakan telinga dan berujung menjadi ketakutan yang selama ini Andra rasakan. Ketakutan yang kemudian mendarah daging, mengalir di nadinya layaknya darah.

Berjam-jam lalu, setelah semua anggota keluarganya tidak lagi ramai menghangatkan ruang keluarga, ia masih saja duduk di kursi kamar itu. Mengusap matanya yang sedikit bengkak akibat terlalu lama menangis, ia berdecak keras saat melihat pantulan dirinya di cermin, ujung hidungnya memerah bagai terkena flu.

Perutnya terasa sedikit perih, asam lambungnya naik. Maklum, sedari siang ia tidak menelan apapun. Ia melirik jam di HP nya yang menunjukan pukul satu dini hari.

Mencopot earphonenya, bangkit dan merenggangkan otot-ototnya yang kaku.

Bukurku lara cok!

Ia mengusap-usap bokongnya yang baru terasa kram. Mendecak sebal dan beranjak ke dapur, di meja makan hanya tersisa capcay yang sudah dingin dan sambal terasi. Lagi-lagi, ia mendecak. Membuka frezer, mengambil sebungkus sosis, telur, cabai rawit dan dua bungkus ramen instan. Bisa saja ia berteriak pada asisten rumah tangga di rumah ini dan menyuruhnya memasak, tetapi ia terlalu malas untuk melihat tampang-tampang orang rumah ini yang pasti nantinya ikut terbangun. Memuakan, bisa-bisa nanti selera makanya raib!

Lagipula, Andra sejak dulu mandiri. Bukan perkara sulit jika hanya menggodok makanan instan ini.

Mula-mula, ia memotong satu bungkus sosis rasa sapi yang berisi kira-kira sepuluh batang menjadi dua, kemudian menceplok tiga telur sekaligus, mengiris cabai rawit dan mulai merebus ramen. Saat hendak mengambil air mineral di dalam kulkas, tiba-tiba saja ia dikagetkan dengan sosok laki-laki jangkung yang lebih muda darinya.

Nadeo, adik tiri sulungnya. Ia terbengong-bengong kala mendapati dua piring besar berisi ramen dan topingnya di atas meja. Gila ni orang! Mukbang apa ya!?

Laki-laki dengan kaos oblong maroon dan celana kolor bola— satu server selera berpakaianya seperti Andra, kini berdiri di sebelah orang yang lebih tua itu yang memandanginya dengan tatapan seolah ingin menguliti.

"Ngapain mas Andra masak banyak banget? Dimakan sendiri itu?" tanya Nadeo, menunjuk makanan di atas meja dengan mengedikan dagunya.

Setelah mengambil air mineral, Andra bergegas duduk di meja dan meneguk airnya, "Iye, lo kalo mau ambil mangkok baru aja."

"Kagak makan berapa hari si mas? Ngga yakin gue segitu bakal abis sendiri." Tanya Nadeo tanpa menjawab tawaran Andra. Anak laki-laki berumur 17 tahun itu gantian membuka kulkas dan mengambil sebotol susu yougurt.

"Bacot amat, mau kagak?" Tawar Andra sekali lagi dengan eskpresi wajah dongkol.

"Mau, dikit aja deh gue juga dah makan tadi." Ia bergegas mengambil mangkok baru. Agaknya ia sedikit tergiur dengan berbatang-batang sosis gorengnya.

"Dih, siapa yang nawarin lo banyak-banyak, rugi dong gue dah cape-cape masak." Cibir Andra dengan bibir mencong-mencong.

Hening setelah Nadeo hanya membalas perkataan Andra dengan mencibir. Bermenit-menit lalu, mereka mulai mbadog dengan tenang, lebih tepatnya hanya  Andra yang makan seperti kuda lumping kesurupan, Nadeo hanya menghabiskan beberapa suap saja. Diam-diam, ia memandangi laki-laki di seberangnya yang sedang mengunyah satu sosis sekaligus dengan gamang.

Mereka tidak lahir dari separuh gen yang sama, tetapi Andra tidak pernah memperlakukan ia maupun Niel— adik bungsunya, layaknya saudara atau saudari tiri yang harus dimusnahkan. Andra tetap memperlakukan mereka seumpama temanya. Walaupun tidak gamblang Andra mengakui bahwa mereka adalah saudara, ia tetap bersyukur, padahal Nadeo jelas tahu apa konflik yang selama ini keluarganya alami dan tentu saja yang paling banyak mendapat luka adalah Andra.

Jika menjadi Andra, mungkin Nadeo akan membenci adik-adiknya yang lahir dari laki-laki yang paling ia benci seumur hidup. Tetapi Andra, tetap menerima mereka dalam hidupnya kendati laki-laki itu tak jarang amat sangat menyebalkan setengah mati dan tak jarang pula Nadeo menyerapahinya kala ia dan Andra bertemu. Seperti sekarang contohnya.

Ia berkedip kala Andra balik menyorotnya dengan mata menyipit dan mulut mengunyah penuh, "Mau lagi? Masih banyak nih, kalo abis masak lagi. Mak lo kagak bakal marah juga kalo stoknya abis."

Nadeo hanya menggeleng, "Kenyang."

Andra hanya manggut-manggut sebagai jawaban. Kemudian lanjut makan lagi.

"Kapan lo nyampe sini? Kok gue taunya pas bokap nanyain lo?" Nadeo bertanya kala ia terlalu risih dilanda keheningan.

"Jam delapan tadi, ngapain gue bilang ma lo. Ga penting juga." Jawab Andra sambil menyeruput kuah ramenya langsung di bibir mangkok, kemudian bersendawa kuat tepat di depan wajahnya.

"Anjing" Refleks, Nadeo sampai merem, kemudian mengibas-ngibas tangannya di udara kala aroma naga tercium di hidungnya.

Andra keparat! Tambah ringsek aja hidung gue nyium jigong lo yang bau naga.

Dilihatnya Andra sedang ngakak sambil mengelap wajah dan sekitar bibirnya yang berminyak dengan tisu.

Nadeo melirik piring-piringnya, menganga karena bersih tanpa sisa. Jancuk! Drakula amat si Andra!

Saat sedang sibuk terheran-heran dengan perut karet Andra, satu tisu bekas mendarat masuk ke mulutnya.

Menjelang jam tiga pagi, rumah mewah itu dihebohkan dengan suara Andra yang memekik keras karena tititnya ditendang oleh Nadeo.

***

Bersambung...


"Menangis itu dapat menetralisir rasa sakit. Jadi, nggak papa kalau mau nangis."

-Alfeandra Putra

Kita | Sagara PanduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang