Part 8: Belum Selesai

594 48 1
                                    

Rasanya hidup berjalan begitu cepat. Semua hal terus berlalu tanpa mereka sadari. Arin tetap teguh dengan keinginannya untuk kuliah di Singapura, begitu pun dengan Ayra. Mereka sudah mulai mempersiapkan hal yang mungkin dibutuhkan untuk tes masuk ke universitas tersebut. Beda dengan hari mereka sebelumnya. Dulu mereka masih memiliki banyak waktu untuk bermain.

Ada satu perbedaan lagi yang Arin rasakan, yaitu tentang Kak Arka. Laki-laki itu tidak pernah lagu datang ke sekolah maupun ke rumah Bang Ihsan. Bahkan, pada acara penting saja ia tidak datang. Ia terlihat sedih, karena kemungkinan besar Kak Arka juga tidak akan datang lagi hingga ia dinyatakan lulus dari sekolah.

Jawaban Kak Arka selalu terngiang di telinganya. Laki-laki itu mengambil kuliah di Tokyo. Itu artinya, mereka berdua tidak tinggal satu negara lagi.

"Ayra, lo ingat nggak kata Kak Arka kalau dia kuliah di Tokyo?" tanya Arin.

"Iya, gue ingat. Kenapa?" jawab Ayra masih terus menyantap makanannya.

"Berarti dia jauh dong dari sini. Kesempatan gue ketemu lagi sama dia juga nggak ada lagi," tutur Arin menampilkan kesedihan di wajahnya.

"Hu'um. Lo yang sabar, ya."

Ayra mengelus punggung perempuan di sampingnya. Ia berusaha untuk menenangkan Arin.

"Nanti pulang sekolah gue ke rumah lo ya. Kita belajar bareng di sana, boleh kan?" ujar Ayra meminta izin.

"Iya boleh lah. Anggap aja rumah lo sendiri," sahut Arin menepuk pundak Ayra pelan.

Mereka berdua melanjutkan menyantap makanannya. Bel pulang sudah berbunyi sekitar tiga puluh menit yang lalu. Setelah makan mereka langsung menuju rumah Arin untuk belajar bersama.

"Belajarnya santai aja. Jangan terlalu tertekan. Nanti yang ada pelajarannya nggak ada yang paham," goda mama Arin mendekati mereka sembari membawa cemilan.

"Harus kayak gini, Ma. Soalnya masuknya susah. Nanti kalau nggak lulus, kami berdua nggak jadi kuliah di sana," sahut Arin.

Arin teringat bahwa ia belum meminta izin untuk melanjutkan kuliah di Singapura. Sebenarnya, dulu ia sudah menyinggung masalah ini. Hanya saja kedua orang tuanya tidak merespons ucapannya dengan serius. Mereka hanya menganggap Arin bercanda menyampaikannya.

"Oh ya, Ma. Mama masih ingat kan dulu Arin pernah bilang kalau mau kuliah di Singapura? Jadi, Arin belajar giat seperti sekarang, karena Arin mau mewujudkannya," ucap Arin bersemangat.

"Iya, mama ingat. Jadi kamu serius mau kuliah di sama? Jaraknya kan jauh banget, Rin. Papa dan mama nggak bakal bisa menjenguk kamu tiap waktu. Memangnya kamu sanggup pisah dari papa dan mama selama itu. Apa kamu bisa menjaga dan mengurus diri di sana." tanya mama lagi.

"Hu'um," jawab Arin singkat.

"Arin tahu kalau pilihan itu sangat jauh. Apalagi Arin nggak terbiasa pisah dari mama dan papa, tapi Arin ingin ke sana. Arin ingin mewujudkan mimpi untuk kuliah di sana. Mama percaya kan sama Arin? Arin pasti bisa menjaga diri dengan baik. Lagian Arin nggak sendiri di sana. Ada Ayra juga, Ma. Kami bisa saling membantu," timpal Arin menjelaskan.

Mama menghela napas panjang mendengar penjelasan yang diberikan oleh anak bungsunya. Tentu saja berat baginya untuk melepaskan anak perempuan satu-satunya ke luar negeri.

"Iya, Mama percaya sama kamu. Mama harap itu pilihan yang tepat untuk kamu. Semoga kamu sukses di sana. Ingat, Rin. Doa mama selalu menyertaimu. Mama akan selalu mendukung pilihanmu, meskipun itu berat banget," sahut Mama mengakhiri kalimatnya.

Arin mengangguk pelan. Ia tahu apa yang dirasakan mama saat ini. Ia juga selalu berharap begitu. Ia ingin membahagiakan kedua orang tuanya dengan semua pilihan yang ia ambil. Tidak ada yang lebih berharga bagi seorang Arin, melainkan keluarganya.

"Apa? Kamu mau kuliah di Singapura?" timpal Bang Ihsan kaget.

Ternyata Bang Ihsan ikut mendengar percakapan mereka sedari tadi.

"Eh, Bang Ihsan," sapa Ayra yang kaget melihat keberadaan Bang Ihsan di ruang tamu.

"Iya, Ayra."

Bang Ihsan memang merupakan salah satu guru di sekolah mereka. Ia juga pernah mengajar Ayra, tapi karena Ayra sering main bersama Arin. Ia perlahan menggunakan panggilan yang sama dengan Arin.

"Ayra juga? Jurusan apa?"

"Iya, Bang. Kami mau mengambil jurusan kedokteran," sahut Ayra santai.

"Jurusan kedokteran? Kalian serius pilih jurusan itu?"

Bang Ihsan mengerutkan dahinya tidak percaya. Bagaimana mungkin Arin dan Ayra mengambil jurusan yang berbeda jauh dengan yang mereka ambil saat ini.

"Kamu mana bisa, Rin. Jurusan kamu aja jauh beda sama yang sekarang. Kedokteran itu susah lho. Saingannya juga berat banget. Bukan cuma kamu yang mau masuk jurusan itu. Apalagi kalian memilih kampus terbaik juga."

Bang Ihsan menggelengkan kepalanya frustrasi menginga jurusan yang akan mereka pilih.

"Makanya Arin sama Ayra ikut pelajaran tambahan, Bang. Pokoknya Bang Ihsan tenang aja. Kami pasti bisa kok. Usaha nggak akan mengkhianati hasil," sahut Arin percaya diri.

Bang Ihsan hanya bisa pasrah mendengar jawaban yang disampaikan oleh Arin. Ia juga berharap semoga keinginan itu bisa terwujud, meskipun hanya ada sedikit kemungkinan bagi keduanya.

***

"Arin ... Sekarang kita udah selesai ujian. Penderitaan kita udah habis. Kita bisa bebas," teriak Ayra berlari memeluk Arin.

"Belum, Ra. Lo jangan senang dulu. Penderitaan kita masih terus berlanjut. Kita mau tes masuk kuliah," sahut Arin.

"Duh, iya. Gue baru ingat," tutur Ayra menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

Arin menarik napas dalam serta merangkul pundak Ayra. Ia menggiring perempuan itu menuju lapangan. Sebelum keluar kelas, guru sudah memberi tahu untuk berkumpul di lapangan. Mereka akan melakukan latihan perpisahan.

"Ayra, gue iri sama mereka," bisik Arin menunjuk teman-temannya.

"Kenapa lo harus iri?" sahut Ayra bingung.

"Gue iri karena melihat wajah mereka bahagia banget. Sedangkan kita masih menyimpan banyak beban," ujar Arin tersenyum miring.

"Lo nggak boleh gitu. Semua orang punya cara sendiri untuk menghibur diri. Kita nggak tahu persis perasaan mereka. Mana tahu mereka di luar ketawa, tapi di dalam ketar-ketir. Lo nggak boleh iri. Ini pilihan yang kita ambil. Jadi, apa pun risikonya harus kita ambil. Walaupun kita kelihatan tersiksa gini," jelas Ayra.

Latihan perpisahan begitu melelahkan. Mereka latihan dari pagi sampai malam hari. Ditambah latihan yang harus banyak bergerak. Itu membuat mereka bertambah lelah.

"Nggak bisa ya latihannya duduk aja? Gue capek banget," ucap Arin.

"Iya, gue juga capek banget. Lo bilang gih sama Bang Ihsan. Mana tahu khusus kita boleh duduk," sahut Ayra.

"Bang Ihsan, latihannya nggak bisa sambil duduk ya?" ujar Arin.

Bang Ihsan menggeleng. Ia tidak mengizinkan Arin atau pun Ayra untuk duduk.

To be Continue.



Lynella (COMPLETED✅)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang