01 || Tawuran Lagi?

58 9 3
                                    

Terima kasih sudah mampir ke sini, semoga suka ceritanya.

RINDU •

.

.

"Dasar nggak berguna!"

Satu tamparan kembali mendarat di pipinya. Berhasil merobek sudut bibir seorang gadis yang tengah meringkuk di lantai kamar. Menahan sakit di sekujur tubuh.

Dingin mulai menyergap ujung jari, mengalir perlahan menuju nadi, siku, terus mengalir hingga berakhir di dadanya.

"Bangun Rindu! Kamu tuh harus sekolah, biar pinter. Supaya bisa diandelin nantinya!"

Rindu mengepalkan tangan. Tak ada air mata lagi yang mengalir, selama ini Rindu terlalu banyak menangis. Namun, tak ada yang berubah.

Wanita yang melahirkannya itu malah semakin gencar menyakitinya. Padahal Rindu hanya izin sehari karena merasa tidak enak badan.

"Ma, Rin capek. Rin butuh istirahat," ucap Rindu dengan suaranya yang serak.

Dania menggigit bibirnya geram. Lalu menarik untaian rambut Rindu. "Heh, kamu pikir saya nggak capek besarin kamu sendirian?! Saya juga capek, Rindu, capek jadi orangtua kamu!"

"Ampun Ma, kepala Rindu sakit." Rindu meringis. Berusaha melepaskan tangan Dania dari rambut panjangnya.

"Bangun sekarang, ambil seragam kamu dan pergi ke sekolah. Saya nggak mau tau gimanapun caranya, ngerti?!"

Rindu mengangguk pelan. "Ngerti Ma."

Dania akhirnya melangkah keluar. Ia sudah terlambat ke kantor dari sepuluh menit lalu, karena harus mengurus Rindu. Putri satu-satunya. Putri yang ia lahirkan berapa belas tahun lalu.

Ayah Rindu merupakan seorang pengusaha. Pria itu belum pernah bertemu dengan Rindu walaupun hanya sekali.

Bagi Dania, Rindu hanyalah masalah dalam hidupnya. Anak yang tak seharusnya ia lahirkan. Sebab semua kebahagiaannya telah direnggut habis oleh anak itu.

Bisma Wijaya meninggalkan dirinya ketika tahu ia sedang hamil. Saat itu posisi Dania hanya sebagai istri simpanan, mereka menikah sirih karena pria itu memiliki istri sah dan dua anak perempuan.

Ada banyak hal yang Bisma janjikan, tapi tak ada satupun yang dia tepati. Termasuk memberikan sebagian sahamnya pada Dania.

Setiap kali melihat wajah Rindu, Dania selalu terbawa emosi dan tak bisa menahan diri untuk tidak memukul putrinya.

Kata tetangga sekitar, Dania memiliki tempramen yang buruk sebagai seorang ibu.

Beberapa kali mereka melihat Rindu dengan wajah babak belur. Sempat ada yang ingin melapor ke polisi. Namun, Rindu menahan mereka. Memohon agar tidak melakukannya.

"Ya ampun, Non Rindu. Kok bisa bibirnya berdarah gitu?" tanya seorang wanita baya yang merupakan asisten rumah tangga Pak Radeya.

Namanya Mbok Mirna.

Rindu memaksakan senyum meski ia merasa sakit di sudut bibirnya. "Petir udah berangkat, Mbok?"

Mbok Mirna melihat ke arah garasi rumah. Motor besar Petir sudah tidak ada, itu artinya anak dari majikannya itu sudah berangkat ke sekolah.

"Kayaknya Non. Mbok nggak lihat Mas Petir dari tadi."

Rindu mengangguk. Ia pun memperbaiki tas punggungnya, lalu berpamitan dengan Mbok Mirna.

RINDUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang