Bab 3a

8.5K 1K 63
                                    

Laluka sakit. Badan panas menggigil dan kepala pusing. Selama dua hari ia mual dan tidak nafsu makan. Yuyun merawat dengan penuh perhatian, membuatkan bubur meski Laluka tidak bisa mengunyah dengan baik. Menyuapi obat dan menawarkan untuk mengantar ke dokter, tapi ia menolak. Laluka berharap dengan istirahat maka sakitnya akan sembuh. Nyatanya, menginjak hari ketiga, demamnya tidak juga turun.

Saat sakit begini, yang ia syukuri adalah Kaesar tidak datang. Laki-laki itu berpamitan akan ke luar negeri dan kembali Minggu depan. Laluka lega karena saat sakit begini, laki-laki itu tidak mengganggunya. Setidaknya, untuk beberapa hari ia bisa istirahat. Meski sempat terbersit di otaknya, lebih baik mati dari pada terus melayani nafsu Kaesar tapi ia berusaha tegar. Sering kali ia tidak habis pikir, di dunia ada laki-laki seperti itu, yang tidak suka dibantah perintahnya. Kemudian menyadari, kalau punya uang dan berkuasa, siapa pun bisa bersikap semena-mena.

Karena mual terus menerus, Lakuka yang ketakutan meminta Yuyun membeli alat pendektesi kehamilan. Kelegaan membanjirinya saat dinyatakan negatife. Ia bukannya tidak suka punya anak, tapi untuk saat ini tidak mau hidupnya terbebani dengan bayi.

"Badannya masih panas, kita ke dokter?" Yuyun datang untuk mengompresnya.

Laluka menggeleng. "Udah enakan, mungkin besok sembuh."

"Bolehkah aku telepon Tuan Kaesar? Barangkali beliau ingin dikabari."

Laluka mencengkeram tangan Yuyun. "Jangan, Bi. Tuan sibuk, kita jangan mengganggunya."

Bukan tidak ingin mengganggu, tapi lebih tepat tidak ingin diganggu, itu yang membuat Laluka enggan menghubungi laki-laki itu. Ia sedang menikmati kesendirian di rumah ini. Tanpa harus ketakutan dengan Kaesar.

Hampir tiga Minggu terpisah dari keluarga, Laluka yang tidak diijinkan memegang ponsel, hanya bisa merindukan keluarganya dalam diam. Meskipun sikap sang ibu mengecewakan dan membuatnya sakit hati, tapi Laluka masih sering merindukannya. Masih teringat masa kecilnya saat ibunya merawat dan mencintai sepenuh hati. Saat itu, meski serba kekurangan tapi ia merasa bahagia dan bangga punya ibu yang penyayang. Kini, waktu berlalu dan saat berjauhan seperti ini, dalam keadaan sakit ia masih merindukan sang ibu. Ingin menelepon dan berbicara dengan wanita yang melahirkannya. Menumpahkan keluh kesah dan gundah, tapi sadar itu tidak mungkin dilakukan. Selain karena tidak punya ponsel, ia juga tahu kalau sang ibu tidak akan mau mendengar ceritanya.

Meletakkan lengan di atas mata, Laluka terisak. Ia tidak suka keadaannya yang sekarang, merasa begitu rapuh dan terhina. Hidup yang dijalani jauh dari angan-angannya. Ia menginginkan kehidupan damai, kuliah atau bekerja dan menikah dengan orang yang dicintai. Nyatanya, bahkan belum sempat jatuh cinta, keadaan merenggut kebebasannya.

"Nona, ada yang sakit? Di mana?" Yuyun yang datang membawa sop panas, bingung saat melihat Lakuka terisak.

Mengusap air mata dengan punggung tangan, Laluka menggeleng. "Nggak ada yang sakit, Bi."

"Benarkah? Syukurlah kalau begitu. Sekarang makan dulu sopnya nanti minum obat. Kalau masih sakit biar saya pijit."

Laluka mengangguk, menahan diri untuk tidak terus menangis. Ia tidak mau memberikan alasan pada Yuyun menelepon Kaesar. Ia masih takut dengan laki-laki itu dan entah apa yang akan dilakukan Kaesar padanya kalau tahu ia sakit.

Meraih mangkok berisi kuah panas dengan irisan daging dan sayur, ia mencicip perlahan. Rasa hangat menjalari tenggorokannya dan ia makan perlahan.

"Kalau sudah enakkan, lebih baik kalau Nona berjalan-jalan keluar. Menghirup udara segar. Hitung-hitung mencari keringat."

"Iya, Bi. Besok pagi bangunin aku."

Yuyun meraih beberap lembar tisu dan memberikan pada Laluka. "Besok kita jalan keliling komplek. Semoga Nona sudah sehat."

Laluka tersenyum, mengunyah sayuran dan membatin, kalau boleh memilih ia lebih suka mati. Sayangnya, utang keluarganya tidak terbayar meski dengan nyawanya. Mau tidak mau, ia harus bertahan demi masa depan bersama. Meski ia sendiri tidak punya apa itu yang namanya masa depan.

**

Kaesar melangkah cepat melintasi lobi bandara yang ramai. Di belakangnya ada lima orang yang mengikuti, salah satunya seorang wanita memakai setelan jas dan celana abu-abu. Mereka menghindari kerumunan, menuju tempat di mana ada kendaraan yang akan menjemput mereka.

Sepanjang jalan, wanita berjas abu-abu tidak hentinya menerima telepon lalu memberi penjelasan pada Kaesar, yang mendengarkan dalam diam.

"Tuan, Nyonya menelepon. Ingin bertemu sekarang."

Kaesar menghentikan langkah, menatap wanita itu. "Bilang padanya, aku ke kantor dulu. Nanti malam baru pulang."

Wanita berjas abu-abu mengangguk. "Baik, Tuan." Ia mulai menelepon dan dua menit kemudian mematikan sambungan. "Maaf, Tuan. Kata Nyonya, Anda harus pulang sekarang,. Beliau tidak mau dibantah. Katanya ada hal penting."

Menghela napas kesal, Kaesar akhirnya mengangguk. Ia memberi intruksi pada orang-orang yang mengikutinya, agar kembali ke kantor dan melakukan pekerjaan yang terunda karena mereka ke luar negeri. Ia harus pulang, bertemu istrinya.

Mereka menggunakan mobil yang berbeda dan berpisah di tengah jalan. Kaesar duduk di job belakang, membiarkan sopir membawanya pulang. Ia sedikit kesal karena saat banyak pekerjaan, sang istri memintanya datang begitu saja. Padahal, apa pun masalahnya bisa dibicarakan nanti.

Saat mobil berhenti di lampu merah dan dua gadis menyeberang sambil bergandengan tangan, pikiran Kaesar tertuju pada Laluka. Selama empat hari ini mereka tidak bertemu. Ia berpamitan ke luar negeri untuk satu minggu, nyatanya pekerjaan diselesaikan jauh lebih cepat dari perkiraannya. Waktu yang harusnya satu minggu, dipangkas menjadi hanya empat hari. Ada satu keiunginan kuat untuk menemui gadis simpanannya itu, tapi harus menahan diri karena sekarang istrinya lebih penting.

Memikirkan tentang Laluka dan tubuh molek gadis itu, tanpa sadar gairahnya naik dan kejantanannya menegang. Ia mengutuk dirinya yang mudah terpancing. Rasanya sudah lama sekali ia tidak merasa begitu terhadap perempuan dan Laluka membuatnya lupa diri. Tubuh yang molek, erangan yang feminin, vagina yang ketat dan basah, Kaesar begitu menyukai gadis itu.

Ia berdehem, meraih botol air minum dan menenggaknya. Sebentar lagi ia sampai rumah dan tidak boleh bertemu istri dalam keadaan terangsang karena Laluka. Hubungannya dengan gadis itu sangat rahasia, tidak ada yang boleh tahu, apalagi istrinya. Ia akan menyembunyikan rapat-rapat, sampai nantinya harus dibuka.

Kendaraan masuk ke komplek perumahan mewah dan berhenti di depan gerbang tinggi hitam. Kendaraan melaju masuk saat gerbang membuka dan menampakkan halaman luas berumput. Kaesar turun di teras dan meminta sopir membawa barang-barangnya masuk.

Melangkah di atas lantai marmer putih mengkilat, suara sepatunya beradu dengan lantai terdengar nyaring. Ia berhenti di tengah ruangan saat dari dalam muncul seorang wanita duduk di kursi roda. Ada seorang wanita lain yang mendorongnya.

"Kamu pulang, Sayang!" Wanita di kursi roda menyapa nyaring.

Kaesar mengedip, tersenyum kecil. Ia tetap berdiri di tempatnya, sementara kursi roda terus mendekat. Ia tetap diam, saat pinggangnya dipeluk.

"Aku senang kamu pulang. Rasanya sudah tidak sanggup lagi menghadapi kelakukan anak kita."

**
Tersedia di Karya Karsa sampai bab 13

Luka (Wanita Simpanan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang