BAB 9 - Perempuan Tanah Rencong

354 32 1
                                    

Caiden keluar dari kamarnya dengan piyama dan sepuntung rokok pagi. Dia meminta Gandi-pelayan pribadinya untuk membawakannya secangkir kopi hitam panas di teras taman. Caiden membuka koran dan membaca nama Mr. Chadwyck yang lagi-lagi masuk ke dalam surat kabar dengan pemberitaan telah berhasil melegalkan perjudian kuda di Senopati. Caiden menghembuskan asap rokoknya dan menarik sudut bibirnya.

Gandi datang dengan secangkir kopi hitam yang Caiden inginkan. Pria itu mengedipkan matanya sebelum Gandi pergi, dan wanita pelayan itu tersipu malu dengan pipi kemerahannya.

"Gandi," panggil Caiden.

"Ya , Tuanku."

"Kemarilah sebentar," ucap Caiden dan menyuruh wanita itu duduk di hadapannya. Caiden mengerut tidak suka. "Ada apa dengan kakimu?"

Gandi menutup kakinya dengan kain jarik yang melilit pinggangnya. "Ah, aku tidak sengaja menumpahkan air panas, Tuan."

"Apa masih sakit?" tanya Caiden khawatir.

"Tidak, Tuan. Aku sering mengobatinya."

"Jangan bawakan aku kopi panas besok, sampai lukamu sembuh."

"Baik, Tuan." Gandi menunduk sopan dan pergi dari hadapan Caiden ketika pria itu menyuruhnya.

Caiden menyeruput kopi hitamnya. Ada apa dengan pikirannya, kenapa wanita itu terus berkecamuk di dalam kacang kenarinya. Cut Aghnia Saad, nama itu, wanita itu, segala sesuatu tentangnya menarik.

Wanita itu berbeda dari perempuan lainnya, dia seperti mawar. Indah dan berduri. Caiden merasa tertantang untuk mendapatkannya. Seperti apa rasanya mengejar wanita yang tidak menginginkanmu, Caiden yakin dia bisa menaklukan wanita itu. Harimau benggala yang lucu, Caiden akan menjinakkannya.

***

Pesta dansa di kediaman Widjaja begitu megah. Rumah kaca yang diisi oleh rangkaian-rangkain bunga dengan dekorasi antik pahatan kayu dari tangan seorang pemahat terkenal, Sunarso yang akhir-akhir ini namanya diperbincangkan karena berhasil memahat sebuah ornamen kayu khas untuk Ratu Isyana. Pahatan-pahatan kayu itu kini mengelilingi lantai dansa rumah kaca Nyonya Widjjaa.

Nyonya Abrata hadir di tengah keramaian, membawa ketiga anak lelakinya yang belum juga memiliki perempuan untuk dilamar. Haniya terlihat sangat khawatir, jika ketiganya tidak memiliki perempuan yang pantas untuk mereka, mungkin ketiga anak lelakinya itu tidak akan mendapatkan calon istri mereka lagi.

"Pergilah menari bersama Nona Poernomo, Bhalendra," ucap Haniya mendorong Bhalendra ke lantai antik dengan keramik yang cukup mewah.

"Caiden, menarilah dengan satu perempuan malam ini. Setidaknya kamu memiliki pegangan," bisik Haniya menggaet Caiden. Sementara Arsya memilih untuk tidak ikut ke dalam ajang perjodohan ibunya. Pria itu sibuk dengan relasi yang terus ditemuinya. Walaupun dia seorang duda, tidak menutup kemungkinan antrean perempuan-perempuan itu jika saja Nyonya Abrata mengumumkan bahwa pengusaha teh itu kini sedang mencari calon istri. "Dan Adipati sepertinya sedang mencari calon istrinya!" Haniya sengaja meninggikan suaranya. Sehingga para elit Batavia itu buru-buru berkerumun di hadapan Sang Adipati.

"Mama ini terlalu sesak," bisik Caiden dan menanggapi satu persatu pertanyaan  perempuan itu.

"Apa benar, Tuan Abrata kamu akan mencari calon istri?"

"Tuan Abrata maukah kamu menuliskan namamu di kertas tanganku?"

"Menarilah bersamaku, Tuan Abrata."

Aroma Kencan Abrata - Tamat | Abrata Series #02Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang