Kata orang, Tuhan hanya memberi ujian berat kepada orang-orang kuat. Lalu, sekuat apa aku di mata-Nya sampai ujian yang mampir padaku hampir nggak ada jeda?Ah, aku jelas berlebihan. Setahun belakangan, jelas nggak ada ujian berat yang datang padaku. Tapi nggak ada juga kesenangan yang menghampiriku. Hidupku datar, lurus tapi nggak mulus.
Aku kangen Kinan, kangen Amira, kadang-kadang kangen Mbak Sesil dan Bu Pita juga, kangen ibu, ayah dan Hana. Banyak yang bikin kangen tapi nggak sedikit juga alasan untuk nggak kembali.
Setahun lalu, tepat sehari setelah pertunangan Mas Reyhan, aku pergi. Meninggalkan kontrakan, meninggalkan pekerjaan, meninggalkan teman, cinta dan luka tanpa berpamitan pada siapapun.
Kukira, pergi berarti menutup buku, melupakan luka dan membuka lembar baru. Nyatanya, sejauh apa pun aku pergi, sakit hatiku nggak bisa langsung sembuh. Pertunangan Mas Reyhan benar-benar mengukir luka dalam di hatiku. Mungkin, lebih dalam daripada sakit yang pernah Revan berikan.
Kali ini lebih sakit, karena aku sadar semuanya adalah salahku. Luka kali ini adalah akibat kebodohanku sendiri. Jika saja aku lebih cepat menyadari, kalau saja aku nggak terlalu naif dan menutup diri, pasti dulu aku bisa mencegahnya pergi, berkata dengan yakin kalau hatiku telah dia miliki, menjelaskan bahwa selama ini aku hanya terjebak dalam imaji masalalu dan nggak bisa membaca hatiku sendiri.
Tapi semuanya sudah terlambat, saat aku sadar dengan perasaanku, semuanya sudah berubah, ada sosok lain yang menunggunya, ada wanita lain yang mendapat dukungan keras dari ibunya. Dan aku, perempuan yang sudah menyia-nyiakan cintanya, jelas nggak punya kesempatan untuk merebut restu itu. Jadi, aku sadar diri, memintanya untuk tetap berdiri di samping pilihan ibunya, menyelamatkan dia dari gelar anak durhaka, dan berharap dia selalu bahagia. Meski nggak akan ada lagi aku di dalam setiap tawanya.
Aku sudah bertekad untuk melupakan masa lalu, merelakan Mas Reyhan dan mencari sendiri kebahagiaanku, kalau saja reminder diponselku nggak muncul, menampilkan tanggal ulang tahun Mas Reyhan. Aku jadi sadar, kalau hari pertunangannya sekaligus hari patah hatiku sama dengan tanggal lahirnya.
Aku sampai bingung harus melakukan apa hari ini. Apa aku harus mengadakan pesta untuk merayakan ulang tahun Mas Reyhan? Atau aku harus menggelar pengajian untuk memperingati hari matinya hatiku?
"Indira!" Aku menoleh ke sumber suara, menarik senyum begitu melihat siapa yang memanggilku.
"Ya, Mbak?"
"Laporan hari ini udah jadi?" Aku menatap layar laptop yang masih menyala, meneliti sejenak pekerjaan yang sempat kutinggal melanglang buana.
"Udah, Mbak. Mau di cetak langsung apa aku kirim ke email dulu buat Mbak periksa?" Tanyaku.
Dia adalah Mbak Siska, atasanku selama setahun terakhir. Dia orang yang baik, ramah tapi tegas. Nggak jarang rekanku yang lain mendapat ceramah gratis kalau pekerjaan mereka nggak beres, untungnya selama ini aku bisa bekerja dengan baik. Dan malam ini, kepalaku sudah cukup pusing, jadi aku sama sekali nggak berniat untuk mendengarkan Omelan Mbak Siska.
"Kirim ke email dulu ya In. Kamu melamun terus daritadi, aku jadi takut kamu salah masukin angka." Aku hanya meringis mendengar kejujurannya. Sedikit sungkan karena ketahuan melamun di jam kerja.
"Habis kirim email, kamu boleh pulang duluan In. Nanti kukabari kalau kita perlu sesuatu."
"Loh, Mbak. Malam ini bukannya anak pembukuan lembur ya?" Tanyaku.
"Harusnya gitu. Tapi kulihat dari tadi kamu nggak fokus banget. Daripada ngerusak kerjaan yang lain, mending kamu pulang. Istirahat yang cukup. Besok kerja lagi." Tandas Mbak Siska.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lajur Rasa - [END]
General Fiction"Ra, aku tau aku salah. Tapi sekarang aku udah disini, kita bisa mulai semuanya dari awal lagi."- Revano "Kamu nggak salah, aku yang egois. Dan si egois ini, nggak pantes ada disisi manusia sempurna seperti kamu."- Indira **** Antara cinta dan cita...