Part 1

3 0 0
                                    

Seperti daun jatuh yang tak pernah membenci angin. Aku pun berusaha ikhlas seperti daun yang terjatuh ke bumi . Aku tak pernah membenci kenapa harus lahir dari rahim Ibuku

Di luar hujan semakin deras, biasanya aku menikmati suara hujan di depan kantin kampus. Tetapi berbeda dengan hari ini, aku menikmati hujan di dalam kamar, sendiri. Untuk pertama kalinya, ribuan rintik hujan kurang maksimal untuk dapat kunikmati kehadirannya. Suara Ayah dan Ibu di ruang tamu masih bisa terdengar sampai kamarku yang bersebelahan.

Seperti biasanya, setiap pembagian hasil ulangan, Kak Safiya dan Tasya pasti akan mendapatkan pujian dari mereka. Berbeda denganku yang dalam akademik sangat kurang bagi mereka. Walaupun aku bisa mendapatkan peringkat kelima, itu tidak ada artinya dibandingkan dengan kedua saudariku yang selalu mendapat juara pertama di kelasnya, bahkan seringkali menjadi juara umum di sekolah mereka.

“Reina, seharusnya kamu malu dengan kakak dan adikmu, setiap kenaikan kelas. Mereka selalu bisa menjadi juara umum. Nah, kamu hanya mentok di peringkat lima. Besok waktu SMA, Ibu tidak mau menyekolahkan kamu di tempat yang sama dengan Safiya."

Kata-kata Ibu waktu pembagian raport semasa aku masih duduk di bangku putih biru 5 tahun yang lalu masih tetap terngiang di kepalaku. Benar saja, aku didaftarkan di SMA yang kurang bergengsi, tidak seperti SMA tempat Kak Safiya sekolah. Begitu pun dengan adikku Tasya, selepas dia lulus dari kelas 3 SMP, ayah dan ibuku memasukkannya di sekolah yang sama dengan Kak Safiya.

Sejak saat itu, nilai raportku tidak pernah lagi aku perlihatkan ke keluargaku. Bukannya aku takut untuk dibandingkan lagi, tetapi keberadaanku di dalam keluarga ini seolah-olah tak dianggap. Hanya Tasya yang biasanya membuatku betah berada di rumah. Tasya pun tak jarang bertanya tentang beberapa tugas sekolahnya padaku. Bahkan, Tasya lebih dekat denganku dibandingkan dengan Kak Safiya, mungkin karena usiaku dengannya tidak terlalu terpaut jauh. Ayahku sepertinya memiliki perasaan yang sama dengan apa yang dimiliki Tasya kepadaku, namun beliau jarang menunjukkannya di depan ibu dan kakakku.

Reina Hilya Nafisah, nama yang diberikan oleh Ayah dan Ibu untukku. Usiaku dan Kak Safiya hanya berselisih satu tahun. Sedangkan dengan Tasya hanya berselisih tiga tahun.

Menjadi anak tengah yang biasanya kurang mendapatkan perhatian dari kedua orang tua, membuat aku terbiasa menjadi yang berbeda dari kedua saudariku. Kak Safiya dan Tasya yang begitu feminim sangat berbeda dengan diriku yang lebih suka berteman dengan laki-laki. Tetapi aku pun memiliki beberapa sahabat perempuan yang sangat berpengaruh dalam merubah penampilanku yang agak tomboy menjadi lebih feminim ketika sudah memasuki bangku kuliah.

***
Setelah selesai makan malam, aku mengikuti Ayah dan Ibu ke ruang tengah tempat satu-satunya televisi dirumahku.

“Ayah, Ibu, dua pekan lagi Reina PPL, dan lokasi PPL Reina dekat dengan rumah Kak Raihan. Boleh ndak kalau Reina nginap di rumah Kak Raihan selama Reina PPL?"

“Kamu sudah izin sama Raihan untuk tinggal disana, Nak?” Ayah yang menanyakan tentang izin kepada Kak Raihan. Sementara Ibu masih setia duduk dan menatap televisi yang menyiarkan berita terupdate pekan ini.

“Sudah Yah. Sabtu kemaren sepulang kuliah, Reina ke rumah Kak Raihan, dan Reina diminta untuk izin dulu ke Ayah dan Ibu.” jawabku.

“Tapi setiap pekan, kamu pulang, kan?” Kali ini, ada raut kekhawatiran di wajah Ayah. Entahlah, Ayah mengkhawatirkan apa setelah aku meminta izin barusan.

“Sudahlah Yah, Reina sudah besar, diizinkan saja tinggal disana. Sekalian bantu Sofi mengurus Rifqi dan Rahmi.” Ibu ikut berkomentar setelah mendengar pertanyaan Ayah yang terakhir. Kemudian Ibu segera bangkit dan melangkah masuk ke dalam kamarnya.

Sepertinya, Ibuku lebih suka rumah ini tanpa kehadiranku. Mungkin Ayahku juga begitu, namun ada sedikit rasa khawatir yang terpancar dari wajahnya. Jarak rumah dengan Kak Raihan memang cukup jauh, butuh waktu tiga jam dengan menggunakan sepeda motor.

“Baiklah Rein, kamu tetap jaga diri di rumah Raihan ya. Kalau ada waktu, kamu pulang setiap pekan. Nanti Ayah juga akan menelpon Raihan supaya dia bisa menggantikan posisi Ayah selama kamu disana.”

“Terima kasih Ayah,” jawabku kemudian spontan aku memeluknya. “Reina sayang Ayah,” sambungku dan langsung melepaskan pelukanku, ada rasa canggung ketika memeluk Ayah. Inginku berlama-lama memeluknya, namun rasa canggung lebih mendominasi saat ini.

“Kak Reina mau nginap di rumah Kak Raihan berapa lama?” Tiba-tiba Tasya duduk di sampingku dengan pelukan manjanya.

“Sebentar kok, Dek. Hanya tiga bulan, intinya sebelum kamu bagi raport, Kakak sudah balik,”

“Yaahhhh, lama dong, Kak. Berarti Tasya belajar sendiri kalau Tasya ulangan. Ndak ada yang bangunin Tasya jam tiga untuk belajar.” Protes Tasya sambil memonyongkan mulutnya dan membuat raut wajah yang tidak setuju.

Ibu yang baru keluar dari kamarnya ikut duduk di samping Ayah. Sebentar lagi, jadwal tayang sinetron kesayangannya, ibu tidak pernah mau melewati setiap episodenya. Pandangan Ibu mengarah kepadaku dan Tasya, namun hanya beberapa detik kemudian ibu fokus kembali menonton acara televisi.

“Kan ada Kak Safiya yang lebih pintar dari Kakak. Dia kan selalu juara kelas.” Sengaja aku menekankan kata ‘juara kelas’ di depan Ayah dan Ibuku. Dan benar saja, ibuku reflex melihat ke arahku setelah kalimat yang aku ucapkan barusan.

“Walaupun Kak Safiya lebih pintar dari Kakak, tapi Tasya lebih cepat paham kalau di jelaskan sama Kak Reina.” Tasya sedikit berbisik kepadaku, sepertinya dia takut didengar Kak Safiya, sungguh lucu adikku ini.

“Sepertinya ada yang menyebut namaku. Ada yang perlu dibantu, Rein?” Tiba-tiba Kak Safiya keluar dari kamarnya membawa sebuah buku yang kutahu itu novel. Dia duduk di samping Ibu.

Aku berlalu meninggalkan ruang tersebut tanpa menjawab pertanyaan Kak Safiya. Bukannya aku mau menghindar, setiap Kak Safiya ikut duduk. Biasanya dia akan menceritakan kegiatan-kegiatannya di kampus yang akan membuat ayah dan ibu selalu memujinya. Bukannya aku cemburu, namun jika itu yang aku dengar setiap malam rasanya seperti sesuatu yang hambar. Yang penting Ayah sudah memberikan izin untuk tinggal di rumah Kak Raihan selama PPL, jadinya keberadaanku di ruangan ini sudah tidak ada lagi. Biarkanlah mereka memuji Kak Safiya tanpa memikirkan keberadaanku.

“Kak, malam ini Tasya tidur bareng Kak Reina ya?” Ternyata Tasya mengikuti masuk ke dalam kamar.

"Bolehlah, tapi ada syaratnya."

"Ihhh, tumben banget pakai syarat."

Tasya memasang wajah yang dibuat-buat seperti tidak setuju karena aku memberikan syarat untuknya malam ini.

"Syaratnya, besok selama Kakak tinggal di rumah Kak Raihan, kamu yang bersihin kamar Kakak. Minimal sekali sepekan, deh."

"Kalau syaratnya yang itu, sih, gampang banget, Kak."

"Baiklah. Kamu memang adik yang paling aku sayang. Oh ya, sepulang dari rumah Kak Raihan nanti, kakak mau kasih tau kamu rahasia. Tapi rahasianya hanya kamu yang boleh tau ya."

Cinta Tak Pernah SalahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang