Jangan lupa vote, komen dan follow akun WP ini + IG @akudadodado yaaw.
Thank you :)
🌟
Elan mengikuti Abigail yang berlari kecil memasuki rumah sedangkan Frida sudah masuk lebih dulu setelah memberikan tatapan yang membuat jantungnya lupa untuk berdetak untuk beberapa detik. Elan kini merasakan bulu kuduknya yang berdiri begitu ia berdiri di hadapan Frida serta William, ayah dari Abigail. Pria yang di umurnya mendekati kepala tujuh, tetapi masih aktif melakukan olah raga. Jangan tanya bagaimana bugarnya pria itu jika ingin menendang bokongnya sekarang juga.
Sementara Elan mengalami ketakutan pertamanya semenjak mendatangi rumah ini sepuluh tahun yang lalu, Abigail sendiri sudah mencium pipi kiri dan kanan ayahnya lalu memberikan pelukan seakan ini adalah pertemuan hangat yang sudah lama dinantikan. Elan meneguk liurnya kasar, tenggorokannya terasa seperti gurun pasir. Ia berjalan mendekati William dan salim pada pria tua itu yang meremas tangannya. "Om," sapanya. Mencoba untuk menahan ringisan karena Elan hanya bisa pasrah tanpa perlawanan. Elan lalu bergeser pada Frida dan mengabaikan wajah jutek yang 100% diturunkan pada Abigail di perempuan dengan rambut yang hampir seluruhnya putih itu. "Tante."
Elan hanya menganggukkan kepala pada Hagia yang tengah menggendong Hanna serta Elijah yang duduk di sofa sebelah kedua orangtuanya. Isibel duduk di single sofa dan posisi seluruh sofa itu menghadap pada dua kursi yang bersisian. Ia mengumpat dalam hati saat tahu tingkat keseriusan masalah yang dihadapinya sekarang.
"Kenapa pada serius banget, sih?" Abigail mencoba mencarikan suasana dengan tawa yang tidak menular kepada siapa pun kecuali Hanna yang memang senang tertawa dan menebar senyum. Biasanya lumayan berhasil menurunkan ketegangan orang-orang dewasa di sekitarnya, tapi sayangnya sekarang sihir bocah kecil itu tidak berhasil.
Elan menarik tangan Abigail, membuat cewek itu duduk di kursi sebelahnya karena ia tahu kalau mereka adalah pesakitan yang akan disidang. "Lo diam-diam aja, jangan bikin makin runyam," bisiknya pada Abigail. Suaranya sangat pelan hingga ia yakin yang dapat mendengarnya hanyalah Abigail. Cewek itu menurut, menutup mulutnya dan duduk dengan kedua tangan di atas paha.
Lima pasang mata yang memperhatikan seluruh gerak-gerik mereka membuat Elan tidak nyaman. Tidak ada satu pun yang bersuara, bahkan untuk menjawab pertanyaan Abigail tadi. Kesunyian yang ada sekarang membuatnya tidak nyaman, karena alih-alih mendengar suara manusia, Elan justru mendengar detak jantungnya yang berderap terlalu cepat. Menulikan telinganya.William berdeham, membuat Elan sedikit berjingkat tetapi juga lega lantaran penghakimannya akan berakhir lebih cepat. Jantungnya sama sekali tidak terbiasa dengan ritme yang satu waktu berhenti tiba-tiba dan di lain kesempatan bekerja ekstra keras.
"Kalian beneran sudah bertunangan? Nggak ada acara izin dulu ke papi?"
Abigail menjawab terburu-buru. "Eh, enggak, Pi. Kita nggak tunangan."
"Tante Lidia bilang hal yang lain," William membalas dengan tenang.Abigail sedikit bersyukur karena ayahnya yang berbicara. Peraturan di rumahnya adalah tidak ada yang boleh membuka mulut selain yang ditanya jika Ayahnya sedang melakukan sesi tanya-jawab. Jika itu ibunya, sudah dipastikan dua kompor di sisi kirinya itu tidak berhenti melemparkan bara api.
"Aku nggak bilang apa-apa, Pi. Mereka yang simpulin sendiri." Abigail mengangkat jari tengah dan telunjuknya.
Alis tebal ayahna terangkat, matanya yang dibingkai kacamata tampak bingung. "Tapi kamu punya hubungan dengan Elan?" William mengangkat kelima jarinya pada Abigail agar anaknya itu tidak menjawab pertanyaannya. "Elan aja yang jawab."
Lagi-lagi jantung Elan berdentam-dentam tidak keruan. "Sa-saya sedang menjajaki hubungan dengan Abigail, Om," jawabnya terbata-bata.
"Hubungan macam apa?" tuntut William. Tentu saja, siapa yang akan membiarkan anaknya untuk berada di hubungan yang masih mengawang-awang? Detik itu juga Elan menyadari kesalahannya.
Elan mengirimkan sinyal pada Abigail, tetapi tidak ada satu pun yang ditangkap oleh cewek itu. Ia kembali ditinggalkan untuk menjawab pertanyaan William, ini sama saja seperti meninggalkannya sendirian."Kami masih pacaran, Om. Belum ada pembicaraan ke arah sana."
Kening William kini berkerut, membuat dahinya dipenuhi garis-garis yang menunjukkan usianya yang tidak lagi muda. "Kamu sudah ada kepikiran mengenai pernikahan?"
Sudah, tapi nggak sama anak Om. Jawabnya dalam hati. Elan mengambil tangan Abigail yang berada di paha cewek itu. Menggenggamnya hingga Abigail melihat ke arahnya dan mata mereka bertemu. Mata Abigail terbuka lebar dengan bibir yang sedikit terbuka, hendak mengajuka protes. "Kita masih belum bicarakan itu, Om. Abigail sendiri masih baru berdiri di kedua kakinya, baru pindah ke apartemennya. Saya pikir dia masih mau menikmati itu dulu."
Jawabannya tidak juga memberikan kepuasan bagi William karena kini orang tua itu berdecak, "Jadi, kamu ambil keputusan untuk anak saya?"
Ya Tuhan, jawaban gue kenapa salah terus, sih? Elan mengerang dalam hatinya. Ia mencoba untuk mempertahankan wajahnya agar tidak berubah masam demi sopan santun, meskipun kedua tangannya kini sudah gatal ingin meremas tangan Abigail sekuat tenaga dan membuat cewek itu berteriak. Seluruh kemampuannya untuk bernegosiasi terbang keluar jendela dan tidak ada yang tersisa sedikit pun.
Remasan di tangan Abigail membuatnya bukan hanya kesakitan, tetapi juga jantungnya jumpalitan. Ada yang salah dengan jantungnya. Atau ada yang salah dengan otaknya yang mengirimkan sinyal pada matanya untuk melihat ke arah tangan milik Elan yang menggenggam tangannya. Matanya fokus pada jemari pria itu dan juga permukaan keras tempat tangannya bersandar. Segala sesuatu yang terjadi sekarang membuat otaknya berkabut dan lupa akan sekitarnya hingga remasan Elan terasa lagi.
"Aku yang ambil keputusan, Pi," Abigail membersihkan kerongkongan dan mengalihkan tatapan ke ayahnya, "aku yang bilang ke Elan kalau aku masih mau menikmati pacaran dulu. Kita perlu kenal satu sama lain karena kan status kami berdua berbeda. Banyak hal-hal yang aku nggak tahu mengenai Elan."
Abigail dapat merasakan ketegangan Elan mulai menurun ketika ia mulai mengambil alih percakapan ini. Namun, tangannya yang digenggam masih belum juga dilepaskan. Hal yang membuat perasaannya campur aduk.
William menarik napas panjang, punggungnya menyender di sofa dan tangan kannnya kini bersandar di armrest. "Papi nggak merasa kamu perlu diburu-buru untuk menikah, kalau memang itu keputusan kamu."
Lain dengan ibunya yang kini sudah melotot dan memberikan pukulan pelan di paha ayahnya. "Kok gitu, sih? Itu beda dengan pembicaraan kita semalam."
"Itu hidupnya dia, memangnya kamu mau paksa dia untuk menikah dengan Elan sekarang juga?"
"Mereka itu sudah kenal lama, nggak ada lagi hal-hal yang mereka nggak tahu satu sama lain. Kamu nggak lihat aja mereka tadi ngapain di mobil, kalau Abigail hamil duluan gimana?" Frida melemparkan bom yang membuat Elan kembali tegang. Karena kini seluruh anggota keluarga Abigail seakan siap memakannya hidup-hidup.
Elan buru-buru meredam kesalahpahaman sebelum meningkat jadi tingkat yang lebih buruk. "Abigail tadi lagi ngambil kunci mobil aja, Tante. Kita bener-bener nggak ngapa-ngapain," jawabnya cepat.
26/12/21
BTW yang mau baca cerita Jessica sudah tamat ya di judul The honeymoon Is Over (marriage life, romcom gemes). Cerita lain yang sudah tamat dan masih lengkap di WPku juga ada Every Nook and Cranny (fake dating metropop, bf to lover), Love OR Whatnot (marriage life angst), dan Rumpelgeist (romantasy)
KAMU SEDANG MEMBACA
Every Nook And Cranny [FIN]
Literatura Kobieca[PART LENGKAP] May contain some mature convos and scenes Bagi Abigail Williams, El adalah tempatnya berkeluh kesah setelah diputus oleh para mantan pacarnya yang kurang ajar. Tempatnya meminjam kaos, sweater serta hoodie yang nyaman tanpa perlu di...