“Mbak, mohon maaf. Hari ini nggak bisa pemotretan.”
“Kenapa, Fay?” tanya Ayu dari seberang. Seharusnya, hari ini memang jadwal pemotretan.
“Ini, mbaknya Mas Rian, ‘kan mau nikah, aku mesti bantu-bantu gitu, Mbak. Maaf banget mendadak.”
“Oke, tak apa, Fay. Mbak izinkan, mudah-mudahan lusa bisa datang, ya.”
“Insya Allah, Mbak. Makasih.”
Tut ....
“Bisa, Mbak. Mau pergi sekarang?”
Pernikahan Diana dan Fandy sudah di depan mata, hari ini semua orang sibuk mendekor rumah Adinata. Sederhana sebenarnya, karena hanya beberapa orang yang datang menyaksikan ijab qabul.
“Tapi, Fay. Aku nggak bisa ikut, ya, aku masih ngurusin yang lain. Kamu bisa pergi sendiri, kan?”
“Boleh, nggak apa-apa, Mbak. Aku cari bunga apa, ya?”
Diana menyerahkan nota berisi pesanan bunga yang ia titipkan pada Fay.
“Nanti aku telepon Adrian biar dia nyusul, jam ini masih ada operasi. Kemungkinan satu jam lagi, Fay.”
“Iya, Mbak. Aku pamit, assalamu’alaikum.”
°•°
“Mau bunga apa, Mbak?”
Di toko bunga tempat Fay berada sekarang. Gadis itu menyerahkan nota Diana pada penjaga toko itu.
“Mohon tunggu sebentar, ini terlalu banyak. Kami membutuhkan waktu.”
Terlihat dari seberang, lelaki berperawakan tinggi tegap berjalan dengan gagahnya. Dengan kaca mata yang bertengger indah di hidungnya yang bangir, lelaki itu berdiri di toko bunga. Berjarak dua meter dari tempat Fay berdiri.
Lelaki itu merogoh saku ponsel, menelepon seseorang dan berbincang singkat di telepon.
“Mbak, saya mau bunga yang indah, buat pacar biar romantis.”
Fay menoleh, memandang lelaki yang tengah memegang bunga mawar putih besar. Suara lelaki itu benar-benar tidak asing, tapi karena melihat separuh wajahnya. Fay menggeleng. Tidak mungkin itu Erwin.
“Oke, terima kasih, ini uangnya. Kembaliannya ambil saja.”
Lelaki itu berjalan membawa bunganya, saat berbalik. Erwin terperangah melihat Fay yang tengah berada di depannya.
“Fay,” sapanya lirih, belum yakin jika gadis dengan pakaian syar’i itu merupakan gadis tomboi yang dipuja.
Fay tidak menjawab, gadis itu tak acuh dengan keberadaan Erwin, rupanya tebakannya tadi memang benar.
“Kamu percaya takdir?”
“Saya muslim, saya percaya takdir karena itu adalah salah satu rukun iman.”
“Kamu berubah, saya makin cinta kalau gini.” Erwin berdeham sebentar, “apa kamu juga percaya bahwa jodoh bisa bertemu kapan saja?”
Pandangan sinis terlontar, lewat tatapan itu, Erwin mengerti. Dia diam. Menyodorkan bunga, Fay mengernyit. “Untuk, kamu.”
“Nggak usah, nanti pacar Anda cemburu.”
“Saya belum ada pacar.”
“Sudah belum, Mbak?” Fay bertanya pada penjaga toko, tak menghiraukan Erwin, gadis itu membuka ponsel mengalihkan perhatian.
“Fay, terimalah.”
Fay mengedarkan pandangan. “Apa, sih! Enggak mau! Anda, kalau ngasih bunga ini kepada saya. Anda salah orang. Jika pacar anda tidak cemburu, maka calon suami saya yang cemburu.”
YOU ARE READING
Jodoh untuk Faynara (TAMAT-BELUM REVISI)
RomanceKesakitan yang didapat dari kedua lelaki yang pernah dipanggilnya ayah juga kematian sang ibu dua tahun lalu, membuat Gilsha Faynara membenci seorang laki-laki. Pertemuannya dengan dokter muda melalui sebuah peristiwa membuat hatinya goyah. Dengan...