"Gue belum selesai ngomong, Ri. Kalo lo gak ketemuan sama gue dua kali dalam sehari, mau gak mau, suka gak suka, lo harus teraktir gue lagi seminggu penuh."
Aku mengaggukkan kepala, dari pada uang jajanku mengurang, lebih baik membuang waktu beberapa menit untuk si Farhan ini.
"Ini pertemuan ke satu hari ini, mau gimana pun caranya, hari ini harus ada satu pertemuan lagi." Farhan bangkit dari duduknya.
"Dan makasih buat traktirannya." Farhan kini sudah berjalan keluar dari kantin.
Farhan ini begitu merepotkan. Aku menghela nafas dan melangkah keluar kantin, menuju kelas.
Aku berjalan pelan di koridoor, mataku memandang tajam kedepan, tepat pada Sindi. Ia sedang berjalan sendirian. Mungkin ia akan ke kantin atau tiolet.
Aku mengangkat dagu. Aku memandang rendah Sindi, entah alasan apa aku begitu membencinya.
"Hallo," sapanya dengan senyum tipis. Ya, dia memang sopan dan manis. Aku tak membalas sapaannya. Senyum Sindi menghilang. Pandangangan Sindi sedikit berubah.
Tiba-tiba Sindi menubrukkan tubuhnya ke tubuhku, aku kaget sendiri dengan gerakannya yang tiba-tiba. Sindi terjatuh ke lantai.
Aku menunduk melihatnya. "Aw!" rintihnya.
"Eh! Lo apain temen gue?!" Tiba-tiba ada seorang perempuan di belakangku. Aku membalikan badan menghadap belakang. Kemungkinan besar perempuan ini temannya Sindi.
"Aduh, maaf Riri tadi gak sengaja," ucapku dengan tatapan bersalah yang dibuat-buat.
Perempuan di belakangku tadi berjalan melangkah mendekat pada Sindi dan membantu Sindi untuk berdiri.
"Tadi kamu sengaja dorong aku," ucap Sindi sambil membersihkan roknya yang agak kotor.
"Lo yang ngaku-ngaku sahabatan sama pacarnya Sindi, 'kan?" tanya perempuan yang berada di belakangku tadi. Perempuan itu bernametag Karin.
"Kita emang sahabatan!" tegasku.
"Lo kayanya jangan sahabatan atau pun deket-deket lagi sama pacarnya Sindi," ucapnya dengan mata yang menatapku meremehkan.
"Kenapa?"
"Lo itu penghalang kemesraan Sindi sama pacarnya."
"Hallo, Karin itu ada urusan apa ya sama Riri? Karin itu siapanya Riri sih? Jangan sok ngatur-ngatur hidup orang deh."
"Gue temennya Sindi, apa pun yang menyangkut Sindi, apapun yang membuat Sindi sedih atau apalah itu gue harus ikut campur."
Aku mengangguk-anggukan kepalaku. "Sindi, hati-hati sama temen Sindi yang satu ini, kayanya bisa aja dia jatuhin kamu."
Kini giliranku memandang Karin dengan rendah, Karin melotot tak percaya.
"Janga. Sok tau deh, lo!" serunya sambil mendorong pundakku.
"Dari sini Riri simpulin kalo kalian itu sama-sama licik." Aku melangkah, melanjutkan perjalananku tadi. Aku membelokkan langkah, masuk kedalam kelas.
"Ari," panggilku dengan senyuman di wajahku. Ari mendongak dan membalas senyumku. Aku dengan cepat duduk di bangku sebelahnya.
"Bikin satu permintaan, yuk!" ajakku dengan mata berbinar.
"Gimana tuh, Ri?" tanynya, Ari emngubah pisisi duduknya jadi menghadap kerahku. Jadi, sekarang kita berdua saling berhadapan.
"Ari minta satu permintaan ke Riri, begitu pun Riri ke Ari, tapi harus di kabulin ya."
"Ehm ... oke!" ucapnya sepakat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Him or Him?
Teen FictionDisetiap pelukannya memberikan ketenangan, menyalurkan rasa hangat. Terbiasa dengan kehadirannya membuatku tak bisa untuk kehilangannya. "Gak bisa kaya gini, Riri. Ingat, kita sahabatan! Riri gak boleh punya obsesi buat bisa pacaran sama Ari, apala...