─── ・ 。゚☆: .☽ . :☆゚. ───
LEMBAYUNG jingga menjadi lonceng pengingat hari terindah yang pernah ada. Keindahannya barangkali sanggup membuat mereka mengambil jeda sejenak guna menemuka satu persatu helaan napas berat mengudara lambat. Bertemu oranye pada penghujung bisa jadi berkah bagi sebagian orang namun juga bisa bermanifestasi sebagai kelelahan tidak berujung, bukan? Sebab, di luar penglihatan lebih dari ratusan orang sedang berjuang untuk bernapas meski raga sudah kehabisan alasan guna bertahan dalam ranjau dunia yang hanya membuat sekarat alih-alih mati.Karena Ghaitsa juga merasakannya. Dia tengah berusaha tetap waras walau ketenangannya nyaris terenggut berulang kali, oleh hal yang sama, terusik sampai barangkali orang dewasa di luaran sana takkan mengerti rasa sakitnya dan hanya akan memintaㅡ“Jalani saja, semuanya akan lekas membaik.” Hah! Ghaitsa pikir semuanya bisa saja lekas luluh-lantak.
Belasan menit terakhir denting ponsel yang serupa teror menjadi salah satunya. Ghaitsa berusaha mengabaikan, memblokir seluruh akses tetapi percuma. Aubrey agaknya kerasukan, seberusaha itu dia mencoba berhubungan kembali dengan Ghaitsa yang jelas-jelas takkan pernah mau diperbodoh dua kali.
Ghaitsa selesai menata meja belajarnya dengan buku-buku baru agar pemandangan kamarnya sedikit menarik. Setelah belanja bulanan rasanya energi sang puan terkuras untuk hal-hal tidak penting lantaran harus menghentikan Yaziel dalam membeli benda-benda yang tidak diperlukan. Laki-laki itu mau diam setelah Ghaitsa berkata, “Satu langkah lagi lo gerak, jangan salahin gue lo kehilangan telur, El, hehe.”
Ah, sial. Bisa-bisanya dia satu darah dengan psikopat aneh itu.
Sang nona berhenti menonton serial film komedi-thriller tatkala pintu kamar terbuka dan sosok jangkung Jeviar berbalut seragam basket berjalan gontai menaiki kasur guna menjatuhkan kepala pada paha lawan. Jeviar beringsut menenggelamkan wajah semakin dalam menuju perut Ghaitsa dengan sebelah tangan melingkari pinggang ramping sang gadis. Ghaitsa sontak mengernyit, tidak seperti Yaziel yang senang merajuk serupa aturan obat diminum tiga kali sehari dan bermanja-manja seolah gender bukanlah penghalang. Jeviar itu mendidik dirinya jauh lebih keras dari apa yang Ghaitsa sendiri ketahui, sebab alih-alih mengoceh serupa Yaziel, Jeviar memilih memeluknya tanpa suara seperti sekarang.
“Je?”
“Aisa~” panggilnya lemah. Suaranya terdengar putus-putus, dia mengusak hidungnya pada perut si bungsu saat berujar. “Gue capek.”
Ghaitsa menarik napas dan mengangguk bersama satu lengkungan. Tangannya mulai mengusap surai legam separuh basah milik Jeviar. “Lo baru masuk tapi latihannya udah intens gini, yakin nggak lagi dikerjain?”
“Enggak.” Jeviar semakin mendekatkan diri. “Beneran latihan. Selesai pemanasan langsung tanding dua tim, dua sesi seri dan akhirnya tim gue menang.” Jeviar mengusap pinggang Ghaitsa lembut lewat tangan besarnya tersebut, memberikan sensasi hangat bagi sang puan. “Aisa, udah mandi, ya? Harum, gue suka wanginya,” ujar si tuan, samar-samar agak serak. Obsidian elangnya menutup rapat kala melanjutkan. “Gue tempelin dulu ya, Sa. Gue capek, capek banget lari, Sa.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Ghaitsa | Zoo Unit
Novela JuvenilLembaran demi lembaran kisah akan terisi penuh lewat setiap jejak kaki pada kenangan yang diciptakan. Kendati demikian Ghaitsa tidak begitu menikmati hidup 17 tahun seorang gadis versinya. Nomor dua pernah berujar, "Hidup itu seperti kolor. Awalnya...